Sabtu, 13 Agustus 2011

NILAI LAYAKNYA SEBUAH BERITA DI MEDIA


MEDIA PUBLIK. Untuk menilai suatu tulisan memiliki nilai berita atau tidak, rekan wartawan sering memberi kiasan, “kalau anjing menggigit manusia itu bukan berita (hal biasa), tapi kalau manusia yang menggigit anjing itu baru berita, karena sesuatu tidak lazim”

Nilai berita menjadi penting bagi media publik agar tetap eksis dan dirindukan pembacanya. Sementara masyarakat menghendaki agar berita yang ingin mereka ketahui cepat dibaca untuk pelega rasa kepenasaran. Bagi kalangan tertentu, kecepatan informasi diterima amat strategis dalam mengambil keputusan maupun berspekulasi.

Anda dapat membayangkan betapa deg-degan seorang pengusaha menanti berita pengumuman kenaikan harga BBM diumumkan pemerintah, misalnya. Hal ini akan membuat perhitungan bisnisnya berubah secara total. Begitu juga kalangan pegawai negeri akan selalu menyempatkan membaca berita yang isinya memiliki kedekatan secara emosional terutama berkaitan kesejahteraan, seperti: rencana kenaikan gaji atau tunjangan penghasilan dan berita yang memuat daftar guru peserta lolos sertifikasi. Atau menanti “nyanyian” Nazaruddin yang kini terus diburu oleh sejumlah wartawan untuk menyajikan berita paling aktual, juga para Kompasianer spesialis tulisan polhukam, bukan? Anda pasti cermat mengikuti perkembangan selanjutnya dari kisah Nazarudin ini

Makna Nilai Berita

Dalam pandangan lama, menurut Christian Weise dalam Kusumaningrat (2005 : 58) mengemukakan bahwa pada tahun 1676 dalam memilih berita harus dipisahkan antara yang benar dan palsu. Tahun 1690, Tobias Peucer menulis disertasi tentang penerbitan surat kabar di Jerman. Ia menyebut kriteria yang menentukan nilai layak berita, yakni: (a) tanda-tanda tidak lazim, benda-benda ganjil, hasil kerja atau produk alam dan seni yang hebat, atau peristiwa alam luar biasa. (b) berbagai jenis keadaan, perubahan pemerintahan, masalah perang dan damai, ahli waris tahta, upacara pelantikan dan upacara resmi serupa itu, dsb. (c) masalah-masalah gereja dan keterpelajaran.

Sementara hal biasa dan tidak menarik untuk diberitakan menurut Peucer antara lain “kegiatan rutin manusia sehari-hari yang dibedakan oleh musim dan tidak seperti kejadian langka semisal badai yang disertai petir dan guntur.” Juga tidak bernilai berita adalah “kehidupan pribadi kaum bangsawan seperti berburu, menjamu tamu, kunjungan ke teater….”. Sementara yang tabu diberitakan menurut Peucer adalah “apa yang merusak moral, misalnya kecabulan, kejahatan mengerikan, penyataan bersifat atheis.”

Walter Lippmann, seorang wartawan AS menggunakan istilah nilai berita dalam bukunya Public Opinion (1922) dinilai sebagai tonggak pandangan jurnalistik modern. Disebutkan bahwa suatu berita memiliki nilai layak ditayangkan jika di dalamnya memuat unsur kejelasan (clarity), unsur kejutan (surprise), adanya unsur kedekatan (proximity) geografis dan dampak (impact) serta komplik personalnya.

Kini kriteria di atas lebih disederhanakan lagi, yakni (a) unsur aktualitas (timeliness), yakni memandang berita mirip es krim yang gampang meleleh, semakin berlalunya waktu nilainya semakin berkurang; (b) kedekatan (proximity), yaitu peristiwa mengandung kedekatan dengan pembaca, baik geografis maupun emosional. Peristiwa penindasan warga Bosnia atau Palestina akan mendapat tempat di khalayak pembaca Indonesia, karena memiliki kedekatan emosional menyatukan yakni aspek agama. (c) keterkenalan (prominence), peristiwa menyangkut tokoh nasional atau selebriti selalu mengundang kepenasaran publik; (d) dampak (consequence), peristiwa memiliki konsekuensi luas terhadap masyarakat seperti rencana pengumuman kenaikan BBM, rencana pembatasan usia kendaraan bermotor, dan lain-lain.

Termasuk postingan yang memiliki “nilai berita” yang tinggi akan selalu diburu publik. Tak heran, admin Kompasiana pun meletakkan postingan paling aktual, apalagi cukup orisinil belom dimuat di jejaring manapun di ruang HL. Sementara berita yang biasa-biasa saja, apalagi basi tak akan dilirik pembaca dan medianya secara perlahan akan ditinggalkan oleh pembaca setianya.

4 komentar: