Selasa, 29 Desember 2009

SEJARAH BANDARA BERAU

Oleh : Ipriani S Kaderi (Wartawan Media Publik/Aktivis LEKEM KALIMANTAN)
MEDIA PUBLIK - BERAU, Berau 31/12. Bisa jadi anak sungai yang mengalir di depan terminal bandara yang namanya sungai Kalimarau, sebagai nama yang diabadikan di bandara ini. Mungkin untuk mengambil jalan pintas. Namun, perlu dipikirkan nama baru. Perjalanan bandara, memang menarik. Banyak yang menikmati layanan penerbangan dari generasi ke generasi.

Bandar Udara (Bandara) Kalimarau terletak di Kecamatan Teluk Bayur Kabupaten Berau. Di kecamatan ini dahulu adalah sebuah kota yang berjaya pada masa lalu dan menjadi pusat industri batu bara yang ditandai dengan hadirnya perusahaan Stenkollen Matschappy Parapattan (SMP). Perusahaan penambangan batu bara milik Belanda yang berdiri pada 1912 itu menandai terbukanya Teluk Bayur bagi para pendatang.

Bandara Kalimarau berdiri tahun 1976 lalu dengan kategori bandara perintis. Kalimarau telah beberapa kali ditingkatkan diantaranya mulai peningkatan landasan pacu (run way), fasilitas navigasi yang menjadikan Kalimarau kini masuk kategori kelas 2.

Sejarah peningkatan Kalimarau dari awal berdiri, panjang run way pada 1976 hanya 650 meter. Mengingat pesawat yang mendarat hanya pesawat kecil jenis MAF 506 dengan jumlah penumpang 5 orang dan 2 awak pesawat. Pesawat jenis ini, sering disebut pesawat Capung. Apron saat itu masih menggunakan plat.

Memasuki 1990-an mulai ada peningkatan. Pesawat yang masuk jenis Cassa seperti Deraya, Pelita, Asahi, DAS dengan type 100 dan 200. Kala itu masih menggunakan run way lama yang berada tepat di sisi jalan raya Teluk Bayur. Hingga 1997 pindah ke terminal baru yang digunakan hingga sekarang.

Kendati telah banyak dilakukan renovasi mengimbangi untuk mengikuti perkembangan zaman, kelas Bandara Kalimarau masih lebih baik dibanding bandara di kabupaten lain termasuk Bandara Temindung.

Pesawat yang masuk juga sedikit lebih baik lagi pada 2002 dibandingkan sebelumnya yakni jenis ATR 42 milik perusahaan penerbangan yang beroperasi di Kalimarau seperti Deraya, DAS, Kal Star. Mengalami peningkatan sejak otonomi daerah yang sebelumnya hanya mengandalkan APBN, dengan pendanaan APBD I dan II sejak 2001, wajah Kalimarau terus berubah jauh lebih baik lagi. Juga didukung perlengkapan mulai navigasi juga turut di benahi. Pada 2006, bandara ini mulai menambah fasilitas seperti Precision Approach Path Indicator (PAPI).

Tahun 2007 dilakukan perpanjangan landasan menjadi 1.850 meter, perlengkapan navigasi Divor, penambahan kendaraan patroli 2 unit, genset 125 ditambah N 25 KVA, semua peningkatan peralatan melalui dana APBN. Di masa sekarang dengan berkembangnya Kabupaten Berau menjadi kota pariwisata, maka Teluk Bayur dengan sejarah historisnya dijadikan sebagai pintu gerbang ke Kabupaten Berau untuk mendukung kegiatan pariwisata dan perindustrian.

Di samping untuk keperluan masyarakat umum untuk kegiatan sehari hari di dengan melalui trasportasi udara dengan Bandar Udara Kalimarau. Dengan dibukanya Kabupaten Berau sebagai kota wisata maka pertumbuhan penumpang cukup spektakuler. Menurut data Masterplan Bandar Udara Kalimarau Tahun 2002 pesawat tipe B 737 diperkirakan akan berjadwal pada tahun 2012 tetapi realita di lapangan B 737 – 200 telah berjadwal pada tahun 2008. Dan pada bulan angustus 2009 telah beroperasi maskapai penerbangan Batavia Air dengan B 737 – 300 dan 16 Juli 2010 Sriwijaya Air jenis boeing 737 – 300.

Perkiraan kapasitas penumpang di lapangan pada tahun 2008 telah mencapai 107.982. dengan laju pergerakan penumpang 39,47 persen per tahun. Dari beberapa indikator diatas maka Bandara Kalimarau patutlah dikembangkan untuk mencapai target perkembangan Bandara Kalimarau mendatang.

Berdasarkan kebijakan pemerintah. Dan kondisi bandara yang ada sekarang maka pihak yang terkait telah melakukan tahapan pembangunan dengan melakukan pembangunan bandara baru dan perluasan wilayah operasional. Diketahui bahwa luas lahan bandara yang sekarang adalah seluas 56,07 ha. Luas lahan yang diperlukan untuk pengembangan bandara Kalimarau adalah seluas 183,14 Ha.***

Sabtu, 26 Desember 2009

Manusia Tertinggi Indonesia Habiskan Tiga Kg Beras




Suparwono (kiri) berbincang dengan pengunjung di kawasan wisata air The Jungle, Kota Bogor, Jabar, Sabtu (26/12). 
 
MEDIA PUBLIK - BOGOR.  Suparwono manusia tertinggi di Indonesia berdasarkan perhitungan MURI 2,42 meter, sedangkan hasil pengukuran dokter Ortopedi dari RSCM mencapai 2,74 meter ternyata mampu menghabiskan tiga kilogram perhari.

Lani manajer Suparwono, di Bogor, Jabar, Sabtu, mengatakan, sesuai bobot tinggi dan besar tubuh Suparwono, takaran makanannya juga sangat besar.

Ia yang hadir di The Jungle sebagai pengisi program liburan dikawasan wisata air terbesar se Asia Tenggara dari tanggal 25 Desember hingga 1 Januari 2010 itu terlihat melayani foto puluhan pengunjung, sambil duduk dikursi bak seorang raja.

Nama Suparwono (24) mencuat kepermukaan setelah memecahkan rekor MURI, November lalu kategori manusia tertinggi (raksasa) nomor tiga di dunia.

Pria asal Lampung Kelurahan Tritunggal Jaya Lampung Utara ini menjadi manusia fenomenal.

Kehadirannya di the Jungle membuat banyak pengujung tertarik untuk berfoto bersama meski di bandrol Rp 40 ribu perfotonya.

Parwono sapaan akrab anak ke empat dari lima bersaudara pasangan Siti Aisyah (50) dan Suyuti (60) tahun merasakan keberuntungan yang luar biasa.

Menjadi terkenal dan dikenal banyak orang merupakan jawaban atas mimpinya diusia 13 tahun.

"Saya pernah bermimpi dulunya, dan saat ini adalah jawaban dari mimpi saya," ucapnya ramah.

Pria yang hanya tamatan SD ini, kedepannya berkeinginan untuk dapat membahagiakan orang tuanya yang hanya seorang petani miskin.

"Jika jalan rezeki saya ada disini, saya ingin membahagiakan orangtua, membangunkan rumah dan jika bisa menaik hajikan mereka," harapnya.

Suparwono kini telah dikenal banyak masyarakat diseluruh penjuru Indonesia, ia pun sudah memiliki kontrak untuk pembutan film layar lebar, dan rencananya awal Januari langsung syuting.

"Memang sudah ada yang menawarkan main layar lebar dan saya sudah teken kontrak, tinggal syutingnya saja ditentukan bulan depan jika cuaca dan alam mengizinkan," ucapnya.

Suparwono putus sekolah, lantar keluarganya miskin. Kondisi tubuhnya yang tidak normal membuat ia pun tidak bisa melanjutkan sekolahnya.

"Cuma sampai SD, tidak bisa melanjutkan karena faktor ekonomi. Saya juga malu karena tidak pakai sepatu, soalnya tidak ada yang jual ukuran sepatu saya," celetuknya.

Pria yang mengenakan ukuran sepatu bernomor 63 ini pernah tinggal selama tiga tahun di Surabaya sebagai pemain basket.

Selama itu dirinya belum dikenal banyak orang, setelah mengalami cidera lutut saat bermain basket, dia pun memutuskan pulang ke Lampung.

Sampai akhirnya warga lampung menjadikannya sebagai manusia tertinggi. Sebelumnya rekor manusia tertinggi asal Indonesia dipegang oleh Nasrul.

"Berdasarkan hitungan ortopedinya tinggi Suparwono sudah memecahkan rekor dunia," jelas Lani.

Sisi lain Suparwono, pria yang tidak memiliki pekerjaan tetap ini, kini mengisi hidup barunya sebagai orang terkenal.

Dulunya, Suparwono tidak sadar kalau memiliki ukuran tubuh beda dari keluarganya dan masyarakat di kampung. Sampai akhirnya diusia 17 tahun seorang temannya mengujur tinggi tubuhnya.

"Awalnya biasa saja, sampai akhirnya saya tersadar setelah teman saya mengukur tinggi tubuh saya," katanya.

Kelainan Suparwono disebabkan ada kelainan genetika, di keluarganya Suparwono termasuk spesial.

"Seluruh pakaian saya harus dipesan ke tukang jahit, tidak ada yang menjual ukuran baju dan celana saya," sebutnya.

Hingga kinipun, ia belum bisa mengenakan alas kaki karena tidak ada yang menjual dan harus di pesan terlebih dahulu.

"Sepatunya sedang di pesan, baju dan pakaiannya juga kita pesan," jelas Lani.(TIM)

Jumat, 25 Desember 2009

SEJARAH KALIMANTAN TENGAH

Media Publik - Kalimantan Tengah. adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).

Provinsi ini mempunyai 13 kabupaten dan 1 kotamadya, yaitu Kabupaten Barito Selatan (Ibu Kota Buntuk),  Kabupaten Barito Timur (Ibu Kota Tamiang), Kabupaten Barito Utara (Ibu Kota Muara Teweh), Kabupaten Gunung Mas (Ibu Kota Kuala Kurun), Kabupaten Kapuas (Ibu Kota Kuala Kapuas), Kabupaten Katingan (Ibu Kota Kasongan), Kabupaten Kotawaringin Barat (Ibu Kota Pangkalan Bun), Kabupeten Kotawaringin Timur (Sampit), Kabupaten Lamandau (Ibu Kota Nanga Bulik), Kabupaten Murung Raya (Ibu Kota Purukcahu), Kabupaten Pulang Pisau (Ibu Kota Pulang Pisau), Kabupaten Seruyan (Ibu Kota Kuala Pembuang) dan Kota Palangka Raya (Ibu Kota Palangka Raya). 

Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.

Pada abad ke-16 Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus Negara Dipa yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Orang Biaju (sebutan Dayak pada jaman dulu) juga membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.

Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.

Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin.

Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura sampai Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda. 

Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8. Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar. 

Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. 

Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di selatan Kalimantan. 

Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris. Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. 

Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. 

Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada. Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.

Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926.

Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray, F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Selatan berdiri LEKEM KALIMANTAN atau Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan dibawah pimpinan Aspihani Ideris dan di Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, serta masih banyak lembaga lainnya yang mengarah kedaerahan.

Di Kalimantan Tengah ini terdapat beberapa suku, yaitu Suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas Dayak Hulu dan Dayak Hilir. Dayak Hulu terdiri atas : Dayak Ot Danum, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Taboyan, Dayak Lawangan, Dayak Dusun dan Dayak Maanyan. Sedangkan Dayak Hilir terdiri atas: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Katingan, dan Dayak Sampit. Suku Dayak yang dominan di Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju, suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Suku Banjar merupakan 24,20% populasi. Disamping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan lain-lain. Gabungan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90% dengan beragam bahasa yaitu, Bahasa Banjar, Bahasa Melayu, Bahasa Dayak Ngaju, Bahasa Dayak Manyan, Bahasa Dayak Ot Danum, Bahasa Dayak Katingan, Bahasa Dayak Bakumpai, Bahasa Dayak Tamuan, Bahasa Dayak Sampit. Serta memiliki agama daerah lain di Indonesia, di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat berbagai jenis agama dan kepercayaan yang menyebar diseluruh daerah ini, antara lain : Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Bali, Budha dan Kaharingan (Kaharingan merupakan sebuah kepercayaan penduduk asli Kalimantan Tengah yang hanya terdapat di daerah Kalimantan sehingga untuk dapat diakui sebagai agama maka digabungkan dalam agama Hindu. Penganut Agama Hindu Kaharingan tersebar di daerah Kalimantan Tengah dan banyak terdapat di bagian hulu sungai, antara lain hulu sungai Kahayan, sungai Katingan dan hulu sungai lainnya.***




Kamis, 24 Desember 2009

HARI HARI BESAR NASIONAL DAN DUNIA



Februari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus




September
Oktober
November
Desember