Senin, 17 Agustus 2009

MEDIA MASSA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA DI KALIMANTAN SELATAN

MEDIA PUBLIK - KALSEL. Media massa khususnya surat kabar dan majalah mempunyai peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan. Pada masa pergerakan kebangsaan, media massa berperan menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme. Selama pendudukan Jepang, media massa tetap berusaha dengan berbagai siasat untuk tetap berpihak kepada perjuangan kemerdekaan meski menjadi suara pemerintah pendudukan Jepang. Dan selama perang kemerdekaan, media massa turut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, menolak ide federalisme dan pembentukan negara Kalimantan serta mendukung wilayah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
Kata kunci: media massa, perjuangan kemerdekaan

PENDAHULUAN

Sejarah lokal Kalimantan Selatan pada rentang waktu antara tahun 1900 s.d. 1950 mempunyai makna yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, karena merupakan sebuah proses kesinambungan sejarah perjuangan kemerdekaan dari tiga periode sejarah yakni periode Pergerakan Kebangsaan, periode Pendudukan Jepang, dan periode Revolusi Fisik 1945-1949 sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950.

Periode terakhir disebut juga periode Perang Kemerdekaan karena mempunyai makna bahwa ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan maka lahirlah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Manakala kemerdekaan itu ingin diambil alih lagi oleh Belanda, maka tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia, kecuali perang mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata maupun perjuangan di jalur politik.
Wartawan dan karyawan Semarak/Surat Kabar Kalimantan Berdjuang (1947-1952). Searah jarum jam, berdiri: Siti Chasrimunah, Zafry Zamzam, Yusni Antemas, Zainal, Aliansyah Luji, A. Gafar (Tata Usaha). Berjongkok: Artum Artha, anak-anak, Abdul Gani (loper), Arifin (Pembantu Tata Usaha)

Namun pada dasarnya, periode perang kemerdekaan ini melibatkan hampir seluruh unsur potensi bangsa, tidak hanya perjuangan dengan cara mengangkat senjata, melalui partai politik atau jalur diplomasi di meja perundingan, namun juga melalui jalur media massa, khususnya surat kabar dan majalah. Pada masa revolusi fisik peran media massa itu tidaklah kecil, karena melalui media massa itulah berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menyebar ke seluruh penjuru tanah air bahwa Indonesia telah merdeka.

Keberadaan dan peran media massa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, sesungguhnya dapat ditelusuri sejak dasawarsa pertama awal abad ke-20, yakni saat terjadi kebangkitan nasionalisme dan patriotisme sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah sekarang) merupakan bagian dari konstelasi pergerakan kebangsaan Indonesia itu. Pada periode yang dikenal sebagai periode pergerakan kebangsaan, media massa berperan menginformasikan pergerakan kebangsaan di Jawa dan Sumatera, memberitakan dan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, dan menyuarakan perlunya kesadaran untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat yang terjajah.

Penyemaian semangat nasionalisme dan patriotisme untuk meraih kemerdekaan yang dilakukan melalui jalur media massa di samping jalur pendidikan dan organisasi pergerakan terus mengkristal pada periode-periode berikutnya dan kemudian menjadi modal utama dalam merebut dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustustus 1945.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan tentang peran media massa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan, yakni pada periode Pergerakan Kebangsaan (Perintis Kemerdekaan), periode Pendudukan Jepang, dan periode Perang Kemerdekaan (Revolusi Fisik 1945-1949), sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950.

PENGARUH PERS POLITIK KEBANGSAAN

Di Indonesia peran media massa terutama pers berbahasa Melayu/Indonesia sangat penting dalam pergerakan kebangsaan, karena dapat bersentuhan langsung dengan penduduk bumiputera. Oleh karena itu, pers berbahasa Melayu seringkali dijadikan alat komunikasi politik oleh para elite Indonesia baru. Banyaknya kasus persdelict (tulisan yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah, hingga dapat dituntut hukuman di pengadilan) di masa Hindia Belanda, larangan terbit bagi surat kabar dan majalah antara lain karena disadari bahayanya pengaruh tulisan dalam bahasa Melayu dalam pers itu segera dapat dipahami oleh penduduk bumiputera.

Begitupula halnya yang terjadi di Kalimantan Selatan, pertumbuhan organisasi pergerakan kebangsaan juga dipengaruhi oleh perkembangan media massa. Keberadaan surat kabar dan majalah telah mendorong perkembangan kebudayaan dan kemajuan peradaban, karena melalui media massa itulah masyarakat mendapatkan informasi dan ide-ide tentang kemerdekaan, liberalisme, parlementarisme dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.

Pemerintah Hindia Belanda sangat membatasi kekebasan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan serta penyebaran surat kabar dan majalah yang dicetak dan diedarkan oleh bumiputera, namun perkembangan selanjutnya pembatasan itu tidaklah memperlemah aktivitas para tokoh pers dan organisasi pergerakan di Kalimantan Selatan.

Para pemuda dapat memperoleh berbagai informasi melalui Taman Bacaan (Het Leesgezelschap) seperti yang dimiliki oleh organisasi Srie di Banjarmasin, maupun organisasi Persatuan Pemuda Marabahan (PPM) tahun 1929. Diadakannya taman bacaan berkaitan erat dengan keinginan tokoh masyarakat setempat agar kegiatan dapat mengurangi jumlah penduduk yang buta huruf.

Pada masa itu, para aktivis organisasi pergerakan telah berlangganan atau membaca berbagai surat kabar dari Jawa yang beredar di Kalimantan Selatan seperti Harian Oemoem, Tempo, PNI Soeloeh Indonesia, Bintang Timoer, Soeara Persatoean Goeroe Indonesia, Hindia Baroe, Bintang Baroe, Bintang Islam, Kemadjoean Hindia, Terang Boelan, Soeara Parindra, majalah bulanan Taman Siswa, dan lain-lain.

Selain itu tokoh pers maupun tokoh pergerakan di Kalimantan Selatan menerbitkan pula surat kabar, harian, mingguan, bulanan baik yang berhaluan nasional, Islam, nasional sekaligus Islam, ataupun netral. Diantaranya ada yang berdiri sendiri, organ dari partai politik, atau berdiri sendiri namun redaksinya diisi oleh anggota organisasi pergerakan, seperti majalah Malam Djoema’at, surat kabar Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK), Soeara Kalimantan, Tjanang, Oetoesan Kalimantan, Pembangoenan Semangat, Berita N.Oe, Soeara Pakat Dajak, Soeara M.Th, Soeara B.I.C, Bingkisan, Kesadaran Kalimantan, Pelita Masjarakat, dan Panggilan Waktoe, dan lain-lain.

Pada umumnya isi surat kabar dan majalah yang terbit di Kalimantan Selatan tidak berbeda jauh dengan pemberitaan yang terdapat dalam surat kabar atau majalah di Jawa, yakni menginformasikan perkembangan politik kebangsaan, menyuarakan pentingnya persatuan, memberitakan dan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.

Amir Hasan Bondan dalam tulisannya di surat kabar Indonesia Merdeka edisi Nomor 99 Tahun ke VII, Sabtu 28 April 1951, berjudul “Pers di Kalimantan” menceritakan sekilas perkembangan pergerakan tahun 1920-an dengan mengangkat kembali tulisannya yang pernah terbit dalam majalah Malam Djoema’at terbitan tanggal 24 November 1927 dengan judul “Perasaan Bandjar Totok”. Amir Hassan Bondan membandingkan pemberitaan Malam Djoema’at dengan koran yang ia baca di Jawa, dan ternyata menurutnya terdapat persamaan antara isi surat kabar di Jawa dengan Borneo. Menurutnya koran-koran di Borneo tidak kalah dengan koran-koran di Jawa karena sama-sama hangat bunyi beritanya. Dalam tulisannya Amir Hasan juga menggelorakan semangat untuk maju seperti di Jawa dengan menganjurkan perlunya anak-anak Banjar bersekolah dan bergotong royong mengadakan sekolah bagi kaum perempuan (Wajidi, 2007a: 83-84).
 Pasal Karet dan Persdelict

Pemerintah Hindia Belanda memiliki KUHP (Wetboek van Straafrecht). KUHP itu memiliki beberapa ”pasal karet” karena mempunyai konotasi arti dari perkataan-perkataan yang dipergunakan tidak mengandung makna pasti tetapi bersifat elastis sehingga dapat diterapkan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh penguasa guna mengatasi pelbagai kasus yang merugikan atau mengancam sistem kolonial. Pasal-pasal dimaksud diantaranya: Pasal 153 bis; Pasal 153 ter; Pasal 161 bis; dan Pasal 171 bis. Pasal Pasal 153 bis berbunyi: “Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Perkataan-perkataan yang bersifat karet, yaitu ‘menyindir’, ‘samar-samar’ dan ‘mengganggu keamanan umum’. Pasal 153 bis sifat karetnya sama dengan isi pasal 153 ter yang berbunyi: “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Pasal 153 ter, seringkali khusus ditujukan pada para penanggungjawab media massa (termasuk redaktur) yang tidak menyebutkan nama penulis atau samaran (Wajidi, 2007a: 195).

Selain KUHP, pemerintah Hindia Belanda juga larangan bagi pegawai pemerintah untuk mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang dapat merongrong kekuasaan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Muilkorf-Circulaire (Sirkuler-Pemberangusan) yakni Surat Edaran Gubernur Jenderal Hindia Belanda bertanggal 27 September 1919 (Wajidi, 2007a: 88).

Bagi pemerintah Hindia Belanda, beberapa pasal karet itu merupakan sarana efektif untuk membatasi ruang gerak para aktivis pergerakan dalam berbicara dan menulis di media massa. Beberapa di antara mereka terpaksa meringkuk di dalam penjara karena ucapannya (delik bicara), atau tulisannya yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah sehingga terkena persdelict, atau bagi penerbitnya terkena persbreidel.
Kalau surat kabar dan majalah yang terbit dan kebetulan pimpinan redaksinya adalah seorang anggota organisasi politik, misalnya PBI, Parindra, NU, Musyawaratutthalibin, maka sudah tentu isi surat kabar itu menyebarkan semangat kebangsaan dan menjadi sorotan pemerintah Hindia Belanda.

Pada saat itu, para wartawan dan pemimpin redaksi memang umumnya adalah juga anggota organisasi partai politik, misalnya A.A. Kesuma Wira Negara pimpinan Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK) adalah juga ketua umum Partai Ekonomi Kalimantan, A.A. Hamidhan pemimpin redaksi Soeara Kalimantan adalah juga sekretaris GAPI, Merah Johansyah komisaris Parindra Kalimantan Selatan dan Timur adalah seorang wartawan ketika wafat digantikan Hadhariyah M yang juga wartawan, Achmad Zakaria ketua umum B.I.C (Bond Indonesische Chauffeur) adalah juga wartawan Soeara B.I.C, H. Ahmad Barmawi Taib, ketua cabang Parindra Kandangan sekaligus pemimpin redaksi Pembangunan Semangat, dan banyak lagi wartawan lainnya.

Oleh karena itu, untuk menghindarkan diri dari persdelict maka seorang penulis dari anggota partai atau simpatisan partai yang aktif apalagi ia seorang pegawai negeri (ambtenaar) maka ia menulis artikel dengan memakai nama samaran, sehingga ketika terjadi persdelict maka yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi (Hoofdredacteur).

Diantara aktivis pergerakan sekaligus wartawan yang terkena persdelict adalah H. Ahmad Barmawi Taib, karena sering menulis artikel yang bersifat politik melalui Pembangunan Semangat. Majalah Pembangunan Semangat nomor 8,9,10,11,12 tahun 1939 disita polisi PID (Politieke Inlichtingen Dienst) Hindia Belanda dan ia dijatuhi hukuman penjara 3 tahun oleh Landraad Kandangan. Upaya Mr. Rusbandi selaku Komisaris Daerah Parindra Kalimantan Selatan yang sekaligus sebagai pembela tidak berhasil meyakinkan hakim kolonial, sehingga H. Ahmad Barmawi dikirim ke penjara Sukamiskin di Jawa Barat.

Kasus persdelict juga pernah dialami oleh Hadhariyah M, seorang tokoh pejuang kemerdekaan di bidang politik sekaligus pemimpin redaksi mingguan Bendahara Borneo Samarindra, dan pemimpin redaksi Harian Utusan Kalimantan Banjarmasin. Karena tulisan-tulisan politiknya yang tajam, maka ia dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin sebagai seorang “Hollander Hater” (Pembenci Belanda). Ia pernah menjadi korban delik bicara dalam suatu rapat umum Parindra di Barabai dengan tuntutan melanggar pasal 151 bis dari Wetboek van Strafrecht Pemerintah Hindia Belanda dan diganjar hukuman penjara selama 3 bulan dan membayar denda f. 100.

Tanggal 17 Juni 1941 ia kembali ditangkap dan didakwa melanggar pasal-pasal 156, 157, dan 193 bis/ter Wetboek van Straafrecht (KUHP), karena telah menulis sebuah roman politik yang berjudul ”Suasana Kalimantan” dan diterbitkan di Medan dengan judul “Tersungkur Di Bawah Kaki Ibu”. Pada tanggal 1 Februari 1942 Hadhariyah M menjalani kehidupan 4 tahun penjara, setelah upaya naik bandingnya ditolak oleh Raad van Justitie di Surabaya (Wajidi, 2007a:195).

Satu-satunya pers nasional yang usianya cukup lama adalah Harian Soeara Kalimantan (1930-1942) pimpinan/dimiliki oleh A.A. Hamidhan (kelak menjadi satu-satunya utusan Kalimantan dalam keanggotaan PPKI) yang menyaingi Dagblad Borneo Post pimpinan Mr. J. Smith sebagai tameng pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Kalimantan. Soeara Kalimantan mempunyai rubrik hari sabtu bernama ”Soeara Ibu Kalimantan” yang diasuh oleh Siti Aiyah (Ny. A.A. Hamidhan). Harian Soeara Kalimantan terkenal sebagai surat kabar yang mempunyai kritik tajam.

Karena selalu menentang pemerintah Hindia Belanda, maka menjelang datangnya tentara Jepang ke Banjarmasin pada tahun 1942, percetakan Harian Soeara Kalimantan milik A.A. Hamidhan menjadi salah satu sasaran pembumihangusan AVC (Algemene Vernielings Corps) Belanda bersamaan dengan praktek pembumihangusan objek vital lainnya di Banjarmasin. Tindakan Belanda itu dimaksudkan agar pihak Jepang tidak dapat masuk atau mempergunakannya lagi.

Berdasarkan riwayat hidup yang disusun oleh A.A. Hamidhan, maka selama hidupnya A.A. Hamidhan pernah mengalami tiga kali masuk penjara karena persdelict, yakni penjara Cipinang (dahulu Meester Cornelis) di Jatinegara selama 2 bulan karena persdelict waktu bekerja di surat kabar Bendahara Borneo di Samarinda (1930), penjara Banjarmasin selama 6 minggu karena persdelict Soeara Kalimantan (1932), kemudian di tahun 1936 masuk lagi selama 6 bulan di penjara Banjarmasin (Artha, 1981:133). 

KEHIDUPAN PERS DI MASA PENDUDUKAN JEPANG
Berkuasanya tentara pendudukan Jepang bukan saja menjadi akhir dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan Selatan, tetapi juga dimaknai sebagai “awan gelap” bagi pergerakan kebangsaan, termasuk kehidupan pers yang dibatasi, dibentuk, dan dijadikan corong pemerintah pendudukan Jepang.

Dengan maksud supaya rakyat segera dapat mengetahui tentang maksud kedatangan tentara Jepang, yaitu untuk melepaskan belenggu penjajahan Belanda terhadap Indonesia, maka Jepang menugaskan A.A. Hamidhan untuk menerbitkan surat kabar. Surat kabar itu bernama Kalimantan Raya, terbit pertama kali Maret 1942. Karena harian ini adalah kepunyaan dan segala sesuatunya dibawah kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang, maka isinya dan tujuannya sudah tentu sangat bertentangan dengan surat kabar sebelumnya yakni Harian Soeara Kalimantan yang tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda.

Pengalaman pahit pernah dirasakan oleh A.A. Hamidhan, yakni dipanggil Komandan Tentara Jepang di Banjarmasin secara mendadak, terkait dengan pemberitaan yang dimuat dalam Harian Kalimantan Raya yaitu mengenai sebuah berita dari Kotabaru mengenai gerakan atau perpindahan militer Jepang dalam harian tersebut. Berita tersebut diberi tanda dengan pensil merah yang tebal, disodorkan kepada A.A. Hamidhan, dengan kata-kata keras dalam bahasa Jepang yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang maksudnya “kenapa dimuat berita gerakan atau perpindahan militer Jepang dalam koran! Ini tidak betul! Bisa dihukum potong leher!” (Artha, 1981:126).

Sudah tentu ini mengejutkan A.A. Hamidhan sebagai penanggung jawab penuh atas segala isi Kalimantan Raya. Berita yang menjadi persoalan ini adalah berita perpisahan penduduk dengan sekelompok tentara Jepang yang terpaksa meninggalkan Kotabaru dan akan ditempatkan ke lain daerah yang tidak disebutkan. Bagi A.A. Hamidhan berita ini wajar, tetapi bagi Jepang ini merupakan strategi perang. Pengalaman yang demikian pahit dan menggetirkan untuk pertama kalinya mendapat mendapat pengampunan, tetapi bila di kemudian hari ada berita yang menjurus strategi militer dimuat, tidak ada ampun lagi, demikian kata komandan Jepang (Artha, 1981: 126; Nawawi, 1991:32).

Jika A.A. Hamidhan bernasib baik karena diampuni Jepang, nasib buruk justru menimpa Andin Boer’ie (pemimpin redaksi Borneo Simboen di Balikpapan), karena menyiarkan kedudukan Jepang dan sistem pemerintahan dan juga didakwa turut dalam komplotan anti pemerintah Jepang, dia ditangkap dan dibunuh oleh kempeitai Jepang di suatu tempat di Balikpapan (Artha, 1981: 29). Nasib naas juga menimpa wartawan Housman Babu (pernah menjabat presiden Pakat Dayak dengan suratkabar Soeara Pakat Dayak) yang ditangkap dan disiksa tentara Jepang sampai meninggal dunia dan tidak diketahui dimana kuburnya.

Pada akhir April atau awal Mei 1942 dari Tokyo Harian Asahi Simboen mengirim rombongan karyawan. Dalam suatu pertemuan antara pemerintahan sipil Jepang, pihak Asahi Simboen dan Kalimantan Raya, diambil suatu keputusan untuk melebur Harian Kalimantan Raya menjadi Borneo Simboen. Penerbitan Borneo Simboen berbahasa Indonesia dipisahkan dari Borneo Simboen berbahasa Jepang.

Sebagai surat kabar corong pemerintah, maka sensor dari pihak pemerintah pendudukan Jepang yang dilakukan oleh bagian Seimuka dari kantor Minseifu di Banjarmasin diperketat sedemikian rupa, sehingga kalau semua karangan atau pemberitaan belum mendapat izin, koran tidak boleh dicetak dan diedarkan (Nawawi, 1991:34; Ideham, 2003:330).

Pada saat serangan Sekutu terhadap Jepang semakin menghebat dan pertahanan Jepang sudah mulai runtuh, maka pihak penerbitan surat kabar diperintahkan untuk mempersiapkan penerbitan darurat jika terpaksa. Karena itu sebagian percetakan dengan beberapa staf redaksi dipindahkan ke Kandangan dan kemudian diterbitkanlah Borneo Simboen edisi Hulu Sungai dipimpin oleh A. Basuni. Sebagian besar berita Borneo Simboen dikirim dari Banjarmasin atau pusat. Setelah pasukan sekutu datang di Banjarmasin untuk melucuti tentara Jepang, maka penerbitan Borneo Simboen dihentikan. 

PERAN PERS REPUBLIKEN SELAMA PERANG KEMERDEKAAN
Kalimantan Selatan pada hari-hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 mencerminkan situasi dan kondisi yang tidak menentu karena simpang siurnya berita yang sampai ke daerah ini, di samping tentara Jepang juga masih menunjukkan kekuasaannya.Berita proklamasi itu akhirnya sampai juga di Kalimantan Selatan, disiarkan pertama kali oleh surat kabar Borneo Simboen edisi Kandangan pimpinan A. Basuni yang informasinya diperoleh dari kantor berita Jepang “Domei” Banjarmasin yang menerima berita dari kantor “Domei” Jakarta. Baru kemudian Borneo Simboen edisi Banjarmasin pimpinan A.A. Hamidhan terbitan Nomor 851 Minggu 26 Hatji-Gatsoe 2605 (26 Agustus 1945) menyiarkan atau memberitahukan tentang pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka dan Bentuk Indonesia Merdeka (Wajidi,2008:1).
Keinginan A.A. Hamidhan, selaku pemimpin redaksi surat kabar Borneo Simboen dan utusan Kalimantan dalam keanggotaan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk segera menyiarkan berita proklamasi sesaat setelah ia tiba di Banjarmasin tidak terlaksana karena dihalangi oleh militer Jepang. Seminggu kemudian (26 Agustus 1945) ia baru dapat menyiarkannya, disusul Borneo Simboen terbitan tanggal 30 Agustus 1945 yang memuat tentang UUD Republik Indonesia. Menurut A.A. Hamidhan, meski tidak memuat naskah proklamasi, pemberitaan Borneo Simboen itu sudah dari cukup untuk dimengerti masyarakat bahwa Indonesia betul-betul telah memproklamasi kemerdekaannya.

Setelah penerbitan Borneo Simboen edisi Banjarmasin dihentikan pada bulan September 1945, maka sarana percetakannya ternyata lebih dahulu dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda (NICA) untuk melahirkan Soeara Kalimantan yang pro penjajah. Berbeda halnya dengan sarana percetakan Borneo Simboen yang ada di Kandangan, oleh para tokoh pers setempat dapat dimanfaatkan untuk melahirkan koran tengah mingguan yang diberi nama “Sinar Hoeloe Soengai”. Akan tetapi, perjalanan Sinar Hoeloe Soengai sebagai embrio pers perjuangan di daerah ini tidaklah berlangsung dengan mulus, karena percetakan mereka juga diambil alih oleh NICA. Oleh karena itu, pada awal penerbitannya Sinar Hoeloe Soengai berada di bawah kendali NICA, baru kemudian oleh pimpinannya, haluan diubah dari pers yang menyuarakan kepen¬tingan Belanda, menjadi pers yang menyuarakan dan membela bahkan memberikan fasilitas bagi kepentingan pejuang kemerdekaan.

Hubungan pengasuh Sinar Hoeloe Soengai yang akrab dengan tokoh-tokoh pejuang gerilya dan secara diam-diam ikut membantu lahirnya media massa perjuangan lainnya seperti Majalah Republik telah menimbulkan kecurigaan bagi penguasa NICA sehingga setiap penerbitan Sinar Hoeloe Soengai selalu dilakukan sensor yang keras oleh NICA.

Dalam bulan Desember 1948, Merah Danil Bangsawan (pemimpin umum Sinar Hoeloe Soengai) ditangkap oleh penguasa NICA dengan tuduhan telah membantu gerakan perjuangan. Beberapa waktu setelah penahanan Merah Danil Bangsawan, kemudian terjadi peristiwa tragis yang menimpa percetakan surat kabar Sinar Hoeloe Soengai, tindakan pimpinan baru yang menolak permintaan pencetakan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan perjuangan dengan alasan takut ketahuan Belanda, menyebabkan kekecewaan para pejuang di daerah tersebut. Masalah inilah yang menjadi sebab terbakarnya percetakan koran Sinar Hoeloe Soengai beberapa waktu kemudian. Bersamaan dengan hancurnya sarana percetakan tersebut,maka berakhir pula riwayat surat kabar Sinar Hoeloe Soengai yang terbit di daerah ini (Ideham, 2003:419).

Majalah Republik. Se¬suai dengan namanya mempu¬nyai misi sebagai majalah per¬juangan dan mendapat sokongan dari Sinar Hoeloe Soengai. Penerbitan pertama bertepatan dengan hari ulang tahun yang pertama Republik Indonesia 17 Agustus 1946, seolah-olah mengingatkan masyarakat akan Proklamasi Kemerdekaan yang telah berkumandang setahun yang lalu. Oleh karena itu, nomor perdananya itu memuat kembali secara lengkap teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 beserta dengan susunan kabinet RI yang pertama.

Tindakan pimpinan redaksi yang menempatkan tanggal penerbitan nomor perdana bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan, ditambah dengan nama majalah yang dipakai yakni Republik, secara jelas memberikan identitas misi perjuangan yang diemban media massa ini. Bahkan majalah ini selanjutnya secara berani memuat artikel yang menyerang tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Misalnya Isah (nama samaran dari Zafry Zamzam, PU dan Pemred Majalah Republik) dalam tulisannya terang-terangan menyerang H. Abdurrahman Siddik (ketua partai Serikat Rakyat Islam-SRI) bentukan NICA, padahal sebelumnya ia adalah seorang republiken yakni ketua pedoman besar Partai Serikat Muslimin Indonesia (SERMI), akan tetapi kemudian memihak Belanda.

Selain wartawan, Zafry Zamzam juga dikenal sebagai tokoh Partai Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), sebuah partai republiken yang menentang ide federalisme dan pembentukan Negara Kalimantan. Setelah berjalan selama lebih dari dua tahun, maka pada suatu hari dalam bulan Desember 1948 Zafry Zamzam ditahan tentara Belanda. Sesudah penangkapan Zafry Zamzam, ternyata tidak ada tenaga penggerak lainnya dalam tubuh Majalah Republik yang berani menanggung risiko, sehingga berakhirlah riwayat Majalah Republik.

Harian Kalimantan Berdjuang (pada beberapa cetakannya ditulis Kalimantan Berdjoang) disingkat Ka-Be adalah media massa yang didirikan orang-orang dalam Sinar Hoeloe Soengai dan Majalah Republik. Didirikan di Kandangan pada 1 Oktober 1946 namun kemudian berpusat di Banjarmasin. Surat kabar ini menyaingi dan mengimbangi berita-berita yang disuarakan pers NICA, yakni Dagblad Borneo Post dan Harian Soeara Kalimantan. Sebelumnya nama Soeara Kalimantan pernah dipakai sebagai nama surat kabar yang terbit pada tahun 1930-1942 yang dipimpin oleh A.A. Hamidhan yang isi pemberitaannya seringkali melawan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, ketika lahir Harian Soeara Kalimantan bentukan NICA yang dikelola bekas wartawan Soeara Kalimantan pimpinan A.A. Hamidhan dan bersikap menyuarakan kepentingan penjajah, maka surat kabar ini sempat diprotes oleh A.A. Hamidhan, sehingga kemudian surat kabar ini merubah sikap dari menyuarakan kepentingan NICA menjadi bersikap nasionalis, dan awal 1950 mengganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Sebagai surat kabar yang mendukung perjuangan kemerdekaan, negara Kesatuan dan menentang ide federalisme dan pembentukan negara Kalimantan maka Harian Kalimantan Berdjuang selalu diawasi dengan ketat oleh mata-mata NICA. Surat kabar ini secara nyata telah mendukung perjuangan gerilya yang dipimpin Letkol Hassan Basry dari kesatuan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, misalnya dengan menyiarkan naskah Proklamasi 17 Mei 1949 yang berisi pernyataan kebulatan tekat rakyat Kalimantan Selatan untuk tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau memberitakan kemajuan perang gerilya seperti yang diliput wartawannya dan diberitakan dalam Kalimantan Berdjuang, Kamis 22 September 1949 No. 806 Tahun ke V, hlm.2 berjudul “Surat2 dari Hulu-Sungai: Menindjau daerah gerilja dari dekat” (Wajidi, 2007b: 112).
Pada bulan Desember 1948 bersamaan dengan Agresi II Militer Belanda, pemerintah NICA melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan termasuk tokoh Harian Kalimantan Berdjuang seperti Haspan Hadna, Adonis Samat, dan Abdul Jabar. Mesin stensil besar bersama sheet-sheet stensil terbitan sebelumnya turut pula disita NICA, dan hanya bisa diambil dengan syarat bahan-bahan berita yang akan dimuat harus terlebih dahulu melalui sensor oleh Regeerings Voorlichting Dienst (RDV) NICA. Meski dengan berat hati, persyaratan itu diterima. Tetapi di balik itu, tetap mengambil taktik “mengakali” sensor tersebut agar berita-beritanya tetap menguntungkan perjuangan kemerdekaan (Wajidi, 2008:48).

Media cetak lainnya yang tak kalah beraninya adalah Harian Terompet Rakyat. Tokoh harian ini yakni Yusni Antemas (nama pena, Anggraini Antemas) tidak hanya bersenjatakan pena tapi juga ikut dalam orga¬nisasi perlawanan bersenjata yakni Gerpindom (Gerakan Rakyat Pengejar/Pembela Indonesia Merdeka) Amuntai. Melalui kolom pojok dan edito¬rialnyaharian ini seringkali me¬lontarkan protes, sindiran atau kritikan terhadap kebobrokan politik kolonial Belanda.

Keberanian Harian Terompet Rakyat mengkritik kebobrokan politik penjajahan menyebabkan harian ini senantiasa mendapat sorotan dari penguasa setempat. Hamran Ambrie (Pemred) dan Yusni Antemas (Wakil Pemred) dipanggil dan diminta untuk menghentikan kegiatannya sebagai wartawan Republiken dengan menawarkan bantuan berupa dana dan sarana apabila bersedia menghentikan penerbitan Harian Terompet Rakyat atau bekerjasama dengan surat kabar Belanda, namun tawaran itu ditolak mereka. Dampak lanjut dari gagalnya bujukan yang dilakukan pihak punguasa NICA kepada tokoh-tokoh Terompet Rakyat di Amuntai tersebut adalah terjadinya peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh militer NICA terhadap Yusni Antemas pada tanggal 6 Mei 1947.

Janji pihak yang berwajib untuk mengusut peristiwa Yusni Antemas ini tidak pernah berlanjut, bahkan tekanan-tekanan penguasa NICA terhadap Terompet Rakyat semakin kuat. Yusni Antemas beberapa kali ditangkap karena persdelict dari tulisan-tulisannya itu, ditahan di penjara Tanjung selama satu tahun sampai dibebaskan di tahun 1949.

Sesudah tokoh-tokohnya ditahan pemerintah NICA, maka kondisi harian Terompet Rakyat semakin memburuk karena kekurangan modal sampai akhirnya keluar pemberlakuan larangan terbit terhadap ha¬rian tersebut.

Banyak media cetak lainnya yang berhaluan republiken di masa Perang Kemerdekaan, antara lain Mingguan Kedaulatan, Islam Berjuang, Berita Merdeka, Fadjar Timoer, Mingguan Waspada, Ha¬rian Indonesia Merdeka, Politik Njata, Menara Indonesia, Pedoman Perdjoeangan, dan Majalah Pawana. Namun semuanya bernasib sama yakni berumur pendek karena kesulitan modal, terkena persbreidel, atau tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjarakan penguasa NICA .

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan melibatkan hampir seluruh unsur potensi bangsa, tidak hanya perjuangan dengan cara mengangkat senjata, melalui partai politik atau jalur diplomasi di meja perundingan, namun juga melalui jalur media massa. Perananan media massa tidaklah kecil, hal itu dapat dilihat dalam perannya pada masa periode pergerakan kebangsaan, periode pendudukan Jepang, dan periode perang kemerdekaan.

Kedua, pada masa periode pergerakan kebangsaan, media massa khususnya surat kabar dan majalah mempunyai peran penting sebagai media penanaman nasionalisme dan patriotisme kalangan bumi putera. Keberadaannya telah mendorong kemajuan kebudayaan dan peradaban, media penyampaian informasi perkembangan politik kebangsaan, penyebarluasan ide-ide tentang kemerdekaan, liberalisme, dan parlementarisme, menyuarakan pentingnya persatuan, memberitakan ketimpangan antara kehidupan masyarakat di Jawa dengan Kalimantan, dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.

Ketiga, pada masa periode pendudukan Jepang yang dikenal sebagai awan gelap bagi pergerakan kemerdekaan, kehidupan pers yang dibatasi, dibentuk, dan dijadikan corong tentara pendudukan Jepang tetap berusaha dengan berbagai siasat untuk tetap berpihak kepada perjuangan kemerdekaan dalam setiap pemberitaannya meski mendapat sensor dan ancaman hukuman mati dari tentara pendudukan Jepang. Pada periode ini, masyarakat dapat memperoleh berita-berita dari dunia luar, khususnya perang Pasifik, tanda-tanda kekalahan Jepang, dan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang disiarkan oleh Borneo Simboen.

Keempat, pada masa periode perang kemerdekaan, media massa bahu membahu dengan pejuang gerilya dan tokoh politik untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada periode ini, surat kabar dan majalah republikein tidak hanya mendukung perjuangan mempertahan kemerdekaan, namun secara tegas menolak ide federalisme dan rencana pembentukan negara Kalimantan serta mendukung Kalimantan Selatan tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

DAFTAR PUSTAKA
Antemas, Anggraini. 1988. Mutiara Nusantara Seri Kalimantan Selatan. Amuntai: Mega Sapura.
Artha, Artum. 1981. Wartawan-wartawan Kalimantan Raya. Surabaya: Bina Ilmu Offset.
Gafuri, Ahmad. 1984. Sejarah Perjuangan Gerilya Menegakkan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan (1945-1949). Kandangan: Departemen Penerangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Ideham, M. Suriansyah dkk (ed.). 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Saleh, M. Idwar dkk. 1978/1979. Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Nawawi, Ramli dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Depdikbud.
Pemda Tk.I Kalsel. 1990. Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan (Periode 1945-1949). Banjarmasin.
Wajidi. 2007a. Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942. Banjarmasin: Pustaka Banua.
Wajidi. 2007b. Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik. Banjarmasin: Pustaka Banua.
Wajidi. 2008. Glosarium Sejarah Lokal Kalimantan Selatan Periode 1900-1950. Yogyakarta: Debut Press.
Surat Kabar, antara lain
Soeara Kalimantan edisi Saptoe 7 Februari 1942 – 19 Moeharram 1361
Kalimantan Raya edisi Raboe 4 Nopember 2602
Borneo Simboen edisi Nomor 435, Jumat 28 April 2604
Borneo Simboen edisi Nomor 851, Minggu 26 Hatji-Gatsoe 2605
Kalimantan Berdjuang edisi Kamis 22 September 1949 No. 806 Tahun ke V
Kalimantan Berdjuang edisi Djumat 11 Nopember 1949 No. 847 Tahun ke IV
Soeara Kalimantan edisi Senin 29 Agustus 1949 Tahun ke V Nomor 217
Indonesia Merdeka edisi Sabtu 28 April 1951 Nomor 99 Tahun ke VII