Oleh Aspihani Ideris, MH Direktur Pemerhati Lingkungan Hidup (PELIH)
MEDIA PUBLIK. Hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh manusia sejak saat pertama ia dilahirkan kemuka bumi ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subyek hukum seperti yang terdapat dalam pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan karena itu ia mempunyai hak asasi, yakni hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya, maka bayi yang dilahirkan itu demi hukum merupakan bagian dari subyek hukum lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta berhak untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga membutuhkan penalaran yang kritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran dan aktualisasinya merujuk pada konsep hubungan (interaksi) antara manusia dengan alam sekitarnya.
Bagaimana manusia melihat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat menentukan definisi hak asasi atas lingkungan tersebut. Oleh karena manusia adalah bagian dari lingkungan (alam), maka keberadaan umat manusia kapan pun dan dimana pun pasti terkait dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Secara filosofis, perdebatan mengenai interaksi manusia dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang saling berbeda kutubnya, yaitu:
Pertama, pendapat yang menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan di bawah dan di atas permukaannya, termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar dianggap mengundang perilaku manusia yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan sewenang-wenang terhadap makhluk hidup lain.
Kedua, pendapat yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta atau bagian dari salah satu dari jutaan makhluk hidup yang hidup di bumi ini.
Oleh karena itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam, generasi sekarang mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies manusia (termasuk hewan dan tumbuhan) secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu, “bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan dari nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”.
Kesimpulan di atas berarti generasi sekarang (inter-generacity) di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mereka juga harus mengakui dan melindungi hak asasi generasi yang akan datang dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak dari generasi yang akan datang (intragenerasity) ini amat bergantung dari kemampuan manusia sekarang dalam merencanakan kegiatan dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan manusia merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan datang dihormati dan dilindungi haknya.
Produk Hukum Lingkungan Hidup :
1 Surat Edaran Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 1234 Tahun 1999
2 Surat Edaran Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 1997
3 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 061 Tahun 2000
4 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 061/729/SJ
5 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri no 061/2426/sj Tahun 1999
6 Instruksi Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 951 Tahun 199
7 Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1997
8 Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1989
9 Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988
10 Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar