MEDIA PUBLIK
Pada awal tahun 1950-an, yakni sesudah selesainya Perang Kemerdekaan
Indonesia, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan mendemobilisasi para
mantan pejuang gerilya dan merasionalisasi anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang menimbulkan berbagai benturan, persoalan,
ketidakpuasan, gerakan politik dan bersenjata di sejumlah daerah,
seperti Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Persoalan yang berkaitan dengan konteks nasional itu, tidak terlepas dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan “Pengakuan Kedaulatan” (transfer of sovereignty) 27 Desember 1949, berupa serah terima pemerintahan antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Di samping itu, serah terima di bidang kemiliteran yang meliputi bidang personil, material dan aparat pendidikan.
Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), tanggungjawab keamanan seluruhnya harus diserahkan kepada Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang berintikan TNI dan meliputi orang Indonesia anggota KNIL serta kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) lainnya yang berkeinginan masuk. Sehubungan dengan itu, dalam rangka peleburan anggota KNIL ke dalam APRIS, pemerintah RIS mengeluarkan beberapa peraturan dengan tujuan agar peleburan itu dapat berjalan setertib mungkin. Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 4/1950 (Lembaran Negara No. 5/1950), maka yang dapat diterima menjadi anggota APRIS adalah warga negara RIS bekas anggota Angkatan Perang RI (TNI) dan warga negara RIS bekas anggota angkatan perang yang disusun oleh atau di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda atau NICA,
Menurut Nugroho Notosusanto (1985) usaha peleburan tersebut, didasarkan kepada kebijaksanaan Perdana Menteri Mohammad Hatta yang berkeinginan menstransformasikan TNI yang lahir sebagai tantara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi, menjadi suatu tentara profesional menurut model Barat. Untuk itu dipekerjakan suatu Nederlands Militaire Missie (NMM) atau Misi Militer Belanda sebagai pelatih prajurit-prajurit TNI. Kebijaksanaan tersebut sudah barang tentu tidak populer di kalangan TNI dan menimbulkan berbagai masalah psikologis.
Ditinjau dari segi politik militer, peleburan itu merupakan suatu kemenangan, tetapi akibat psikologis bagi TNI adalah berat. TNI dipaksa menerima sebagai kawan orang-orang yang selama perang kemerdekaan menjadi lawan mereka. Sementara itu di kalangan TNI sendiri banyak anggota-anggotanya yang harus dikembalikan ke masyarakat, sebab dianggap tidak memenuhi syarat-syarat untuk tetap menjadi anggota angkatan perang.
Di Kalimantan Selatan, benturan-benturan juga terjadi ketika diadakannya usaha-usaha pembentukan TNI dan peleburannya ke dalam APRIS. Sebagai realisasi diri dari pelaksanaan Undang-Undang Darurat No. 4/1950, maka pada tanggal 28 Januari 1950 Komandan Teritorium VI, yaitu Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala menerima bekas KNIL sebanyak 125 orang. Dalam tulisan Dhany Justian (1972) disebutkan, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala telah menerima bekas KNIL berupa 1 kompi infantri dari bawah pimpinan Letnan Satu Sualang dan 1 kompi bantuan dari bawah pimpinan Letnan Kotton.
Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikan pangkatnya, sedangkan sebagian besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS hanya berpangkat rendah dan prajurit biasa. Selain itu, utusan militer dari Pusat yang didatangkan ke Kalimantan Selatan dengan tujuan untuk menyempurnakan Divisi Lambung Mangkurat menjadi kesatuan yang modern telah menimbulkan ketegangan-ketegangan pada anggota divisi yang nota bene mantan anggota gerilya. Mereka harus menjalani pemeriksaan kesehatan untuk dilihat siapa-siapa yang tetap menjadi tentara republik dan siapa yang harus dikembalikan atau didemobilisasikan ke masyarakat. Sebagaimana dinyatakan Hassan Basry (2003) bagi mereka yang dikembalikan ke masyarakat atau yang tidak memenuhi syarat sebagai anggota APRIS, kepadanya diberikan pesangon berupa uang sebesar Rp 50,- dan selembar kain sepanjang 1,3 meter.
Persoalannya tidak hanya itu, setelah menjalani penyaringan mereka harus melaksanakan aturan-aturan militer yang ketat yang diberikan oleh pejabat-pejabat militer mantan anggota KNIL dari Jawa yang mereka pandang telah meremehkan dan merendahkan martabat mereka.
Dan lebih celaka lagi, menurut mereka, jabatan militer dan sipil yang terpenting terus diduduki oleh orang yang mereka pandang pernah bekerjasama dengan Belanda (NICA) atau diberikan kepada orang-orang dari luar daerah. Sementara itu ada usaha-usaha untuk memisahkan mantan pimpinan gerilyawan dengan anak buahnya, misalnya dengan mengirim Kolonel H. Hassan Basry ke Kairo (Mesir) dengan tugas belajar di Universitas Al-Azhar dan tinggallah bekas-bekas anak buah sebagai anak ayam kehilangan induknya.
Masuknya bekas KNIL ke dalam APRIS, menimbulkan beberapa masalah besar bagi intern APRIS pada umumnya, dan bagi pasukan TNI yang nota bene mantan pejuang kemerdekaan, seperti mantan pasukan MN 1001/MTKI dan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, atau mantan pejuang gerilya lainnya. Mereka dipaksa untuk menerima KNIL sebagai mitra atau teman sekerja, sedangkan pada masa perang kemerdekaan KNIL adalah musuh mereka. Masalah tersebut di atas juga terungkap dalam tulisan Kodam X/Lam (1970) dan tulisan Dhany Justian (1972) sebagai berikut.
Pasukan MTK/Tengkorak Putih dan MTKI/MN 1001 yang ketika didrop
ke Kalimantan adalah TRI berpendapat bahwa mere¬ka sudah menjadi Tentara
Republik Indonesia yang resmi sehingga merasa tidak perlu lagi masuk ke
dalam TNI. Badan -badan Perjuangan tersebut di atas bekerja sama dengan
tokoh-tokoh ALRI Divisi IV/PK, dan di samping itu banyak tokoh-tokoh
tidak dapat menerima penggabungan KNIL ke da¬lam TNI tersebut,
disebabkan mereka masih beranggapan bahwa bekerjasama dengan KNIL sama
dengan bekerjasama dengan musuh yang dulu membunuhi rakyat.
Adanya demobilisasi seperti dikemukakan sebelumnya, tidaklah mengecewakan, jika tidak dibarengi dengan laku lajak (over acting) Tentara Republik yang dahulunya bekas KNIL (Ideham dkk, ed., 2003) dan sikapnya meremehkan prestasi daerah dalan perjuangan kemerdekaan (Dijk, 1983). Di samping itu, kekecewaan muncul karena per¬soalan pribadi dari beberapa tokoh menyangkut perbedaan kedudukan, fasilitas, prioritas dan sebagainya.
Tidak mengherankan memang dalam masa peralihan tersebut ada sebagian
anggota Divisi Lambung Mangkurat maupun para demobilisan tidak sanggup
menghadapi kenyataan dan ingin meneruskan hidup yang avonturis.
Akibatnya timbul berbagai ekses dan konflik, seperti konflik mental,
batin dan fisik yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, misalnya
meneruskan cara hidup serobotan, penggedoran, penculikan, pemerasan, dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang dipandang mengganggu ketenteraman
umum. Aksi-aksi mereka terus berlanjut sampai munculnya Gerombolan
Suriansyah (Tan Malaka) dan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas
(KRIyT, KRJTT) yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar (Ibnu Hajar), seorang
mantan pejuang gerilya, yang karena tindakannya itu maka ia diberi
stigma (noda, cacat) oleh Pemerintah Pusat sebagai “pemberontak”.
Sejarah mengatakan bahwa Ibnu Hadjar alias Haderi
bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua TNI yang kemudian
memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagianDI/TII Kartosuwiryo. Dengan
pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang
pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan-tindakan
pengacauan pada bulan Oktober 1950.
Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hadjar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintahRepublik Indonesia masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya.
Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hadjar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara Islam. Ibnu Hadjar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan. Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli 1963. Ibnu Hadjar dan anak buahnya menyerahkan diri secara resmi ke Pemerintah dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hadjar dan anak buahnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar