Saya ingat dulu kata-kata Kata Bapak Ali Said, Mantan Jaksa Agung : "Jika Napoleon Bonaparte lebih takut kepada wartawan daripada 100 divisi tentara, saya justeru lebih takut kepada 10 tentara daripada 100 wartawan. Kenapa? Karena 100 wartawan bisa dihadapi dengan 100 amplop".
Dulu beberapa media santer memberitakan perkara keterlibatan oknum wartawan yang diduga melakukan pemerasan terhadap PT. Krakatau Steel Tbk terkait penjualan saham perdananya sebanyak 1.500 lot (750 ribu lembar) atau setara dengan Rp. 637,5 juta. Kini, Dewan Pers sudah mengantongi 30 nama wartawan yang disinyalir terlibat kasus tersebut.
Menurut anggota Dewan Pers, Wina Armada, para wartawan itu dipimpin empat wartawan media massa besar. Entah karena motif apa para wartawan itu melakukan pemerasan semacam ini, padahal mereka seharusnya menyadari bahwa perbuatan tersebut melanggar kode etik jurnalistik dan berisiko dipidanakan. Perbuatan pemerasan ini tentu sangat meresakan insan media dan pastinya mencemarkan kredibilitas wartawan Indonesia.
Sebenarnya, menurut sumber Tempo, penawaran pemberian saham terhadap wartawan dan redaksi sudah lumrah terjadi. Hanya saja, dalam kasus ini sang wartawan tidak melalui jalur formal prosedur pasar modal, sehingga hal ini dianggap sebagai bentuk pemerasan. Padahal, Secara logika, sah saja seorang wartawan ikut dalam bursa penawaran saham, namun perlu melewati struktur yang sesuai.
Sekelumit gambaran peristiwa di atas, hanya sebagai contoh sebuah fenomena wartawan amplop yang sudah dimulai di Indonesia sejak 1960-an. Dalam tulisan ini, saya tak akan membahas detil duduk persoalan yang terus mencuat ini, tapi saya ingin menyorotinya dari sudut kerja wartawan, dimana setiap wartawan Indonesia yang melakukan peliputan sudah punya aturan main masing-masing.
Teman-teman tentu sudah sangat familiar dengan istilah wartawan amplop, bukan? Atau mungkin sudah sering mendengar atau membaca diberbagai peringatan pers bahwa wartawan koran ini, televisi itu, dan majalah anu, tidak menerima bayaran dalam bentuk apapun selain dari ketetapan media bersangkutan.
Tapi buktinya, peringatan tersebut tak mempan. Masih saja ada wartawan yang coba melanggar rentetan peringatan itu dan menerima sejumlah bingkisan dari narasumber. Wartawan semacam ini, dalam dunia pers sangat banyak istilahnya yang sudah populer. Ada yang disebut wartawan amplop, wartawan bodrex, muntaber, dan WTS.
Istilah wartawan amplop dalam dunia pers diibaratkan penyakit alergi. Semua wartawan ingin menjauhinya, jika mendekat maka sang wartawan akan terjangkiti penyakit tamak dan rakus. Artinya, idealisme kewartawanan luntur seketika, berubah menjadi pragmatisme yang buruk. Sebutan wartawan amplop juga dianggap julukan negatif bagi jurnalis.
Selain itu, istilah lainnya adalah wartawan Bodrex. Menurut Zainuddin HM, Wartawan tipe ini, sebenarnya tak pantas disebut wartawan sebab ia tidak menjalankan tugas layaknya wartawan. Tapi perlu diingat, ada pula oknum wartawan yang bertingkah bodrex. Mereka datang untuk uang bukan untuk berita. Mereka akan mencari kelemahan narasumber, kemudian memeras dengan ancaman pemberitaan negatif. Ala mak, tega sekali wartawan tipe ini, berhati-hatilah.
Julukan lain wartawan ini adalah muntaber. Muntaber jenis ini bukanlah penyakit tapi singkatan dari muncul tanpa berita alias wartawan muntaber. Sebutan Wartawan Tanpa Surat Kabar juga termasuk tipe wartawan amplop, biasanya disingkat WTS.
Modus Operasi wartawan Bodrex
Modus operasi wartawan amplop, alias bodrex, alias muntaber, alias WTS, di antaranya berlagak sok wartawan. Dari performance, mereka nampak seperti wartawan betulan, membawa tas, kamera, recorder, booknote, pena, dll. Peralatannya lengkap, kostumnya persis wartawan, bahkan mewawancarai narasumber.
Setelah mengorek-ngorek sang narasumber dan berhasil mendapat kelemahan narasumber, si bodrex pun beraksi. Penawaran pun dimulai dari jumlah tertinggi, layaknya transaksi jual beli. Ada tarik ulur harga terkait nama baik, jika penawaran cocok dan mencapai deal maka berita negatif anda takkan tersiar di media.
Saya yakin, banyak trik-intrik yang lebih halus lagi saat para wartawan amplop alias bodrex ini menjalankan modusnya. Meski fenomena wartawan bodrex sulit diberantas, tapi saya pesankan, jangan lupa tanyakan identitas si wartawan jika anda menjadi narasumbernya. Lihat baik-baik kartu pers dan surat tugasnya agar anda tak mudah terkecoh denga wartawan amplop.
Sanggahan
Sebenarnya, fenomena wartawan amplop bukan murni kesalahan wartawan dan media karena dilain sisi terkadang narasumber pun rajin menyodorkan amplop pada wartawan. Mental jurnalis mungkin takkan bobrok jika tradisi bagi-bagi amplop dari pejabat, instansi pemerintah dan narasumber lainnya tak terjadi.
Dalam kasus amplop ini, memang banyak versi alias banyak juga yang mengartikan amplop dari narasumber sebagai uang transport atau uang terimakasih karena wartawan sudah meliput acaranya Jika narasumber memberi uang transport dan tidak berusaha menginterfensi isi berita, maka itu anggap sah-sah saja diterima oleh wartawan. Tapi sebaliknya, jika amplop itu bertujuan menginterfensi, maka wartawan berhak menolaknya.
Hal ini bukan tanpa bukti, sebagai wartawan ecek-ecek, saya pernah mengalami ini, bahkan melihat sendiri. Dalam suatu peliputan pemilihan Gubernur di Jakarta, semua wartawan yang hadir saat itu mendapat amplop. Tapi, Alhamdulillah, amplop itu sama sekali tidak menginterfensi isi berita. Ya, murni uang transport.hehe..
Lain halnya, saat dosen saya yang juga eks wartawan, bercerita pengalamannya. Dia pernah menerima amplop namun dua hari setelah beritanya terbit, si pemberi amplop telpon dan marah-marah. Katanya, mengapa berita saya biasa-biasa saja, harusnya bisa lebih bagus. Ya ampun, ini pengalaman pahit tentunya. Alhsail, uang itu pun dikembalikan lagi ke si pemberi.
Menyikapi fenomena amplop, ada juga media yang menerima amplop dari narasumber namun bukan untuk si wartawan atau media tersebut. Amplop yang diterima itu, disumbangkan lagi ke yayasan yatim piatu atau masuk dalam rekening Peduli Umat. Entahlah, siapa yang benar dalam menyikapi fenomena wartawan amplop ini, saya pun bingung.
Cukuplah kasus pemerasan wartawan terhadap Krakatau Steel ini menjadi pelajaran terakhir. Setiap wartawan harus berpegang teguh pada sumpahnya, memberitakan yang baik dan benar, menyiarkan fakta, bukan kebohongan dan mendamaikan perang dengan pena dan tinta mereka. Tidak menrima amplop-amplop siluman alias apmlop dengan modus ternetu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar