MEDIA PUBLIK – BATU LICIN. Pemilik lahan batubara yang di garap oleh PT. TIA, Desa Sebamban Baru, Kecamatan Loban, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan merasa terzalimi dengan pengingkaran sebuah kontrak perjanjian berencana akan melakukan demo besar-besaran, Rabu (25/1) ini.
Hal ini di ungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat Tanah Bumbu, Abdullah Audah, Sabtu (21/1) ketika di hubungi via telepon oleh wartawan Media Publik, “kami akan lakukan demo besar-besaran kelokasi tambang batubara yang di garap oleh PT. Tunas Inti Abadi (PT. TIA) pada hari Rabu mendatang ini,” katanya.
Lebih lanjut mengungkapkan “Dalam aksi demo itu kami hanya satu tujuan yaitu meminta hak kami sebagai seorang warga dan pemilik lahan yang di garap oleh PT. TIA di bayarkan sebagaimana mestinya”, ujar Abdullah Audah.
Abdullah Audah yang juga mantan anggota DPRD Tanah Bumbu mengungkapkan, “Saya rasa hal ini adanya indikasi main mata antara pihak PT. TIA dan instansi terkait serta jajaran Pemkab Tanah Bumbu yang seakan-akan tidak memperdulikan hak-hak masyarakat ini” cetusnya dengan nada keras.
“Dulu kami pernah mau melaporkan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming ke Mabes Polri dan ketika itu kami sudah berada di Jakarta. Mardani dianggap sengaja menahan uang warga senilai Rp 3 Miliar sebagai ganti rugi lahan tambang dari PT. Tunas Inti Abadi dan bertindak semena-mena kepada hak rakyatnya (PT. TIA),” ujar Abdullah Audah.
“Kami tidak mengerti, kenapa Bupati sampai sekarang tidak juga mau menyerahkan dana tali asih senilai Rp 3 M itu disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalsel dari PT. TIA itu kepada warga yang berhak. Padahal dana itu sudah diberikan kepada Bupati sejak bulan Maret 2011 lalu,” kata Abdullah Audah kepada wartawan.
Menurutnya Abdullah Audah, dana Rp 3 M itu berawal dari protes warga Desa Sebamban Baru atas aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT TIA yang mencaplok lahan pertambangan milik warga Desa Sebamban Baru. DPRD Tanah Bumbu kemudian menfasilitasi hingga Pada 30 Nopember 2010 lalu dilakukan pembahasan tentang legalitas kepemilikan lahan masyarakat Desa Sebamban Baru.
Rapat dihadiri oleh Komisi I DPRD Kabupaten Tanah Bumbu, Pemilik Lahan, Dinas Pertambangan dan Energi, Bappeda, Polres, Camat Sungai Loban, Camat Angsana dan seluruh kepala desa di sekitar lokasi pertambangan. Rapat itu merekomendasikan merevisi SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 545/05/IUP-OP/D-PE/2010 tentang Persetujuan Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT. TIA karena sebagian wilayahnya mencaplok lahan warga. Rekomenasi yang pimpinan DPRD Tanah Bumbu, Burhanuddin (Ketua), Supiansyah (Wakil Ketua) juga meminta Bupati untuk menghentikan aktivitas PT. TIA, jelas Abdullah Audah.
Lebih lanjut Abdullah Audah yang juga kental panggil sehariiharinya Audah itu menuturkan, “Pada, 1 Maret 2011 kemudian dilakukan pertemuan antara PT. TIA dan Forum Komunikasi Muspida Kabupaten Tanah Bumbu. Di ruang rapat kantor Bupati Tanah Bumbu disepakati PT. TIA bersedia memberi dana tali asih sebesar Rp 6 milyar. Kesepakatan penitipan dana tali asih pertama sebesar Rp. 3 milyar dilakukan pada 7 Maret 2011 dan sisa penitipan dana tali asih Rp 3 milyar akan diserahkan empat bulan setelah dana tali asih pertama, yaitu pada tanggal 7 Juli 2011.
“Tapi sampai sekarang, dana tali asih itu belum juga dicairkan dan diserahkan kepada kami. Makanya, kami akan melakukan aksi demo besar-besaran tanggal 25 Januari ini, dan mudah-mudahan pintu hati PT. TIA bisa terbuka sehingga tuntutan kami bisa di selesaikannya dengan baik.” kata Audah.
Lebih dalam Audah memaparkan, "Jujur sudah sering pertemuan-pertemuan dilakukan antara pihak pemilik lahan, tokoh-tokoh masyarakat serta pihak perusahan PT. TIA sendiri, baik yang di fasilitasi oleh Polres Tanah Bumbu, DPRD Tanah Bumbu maupun oleh Pemkab. Tanah Bumbu sendiri, namun semua hasil dan kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan itu tidak ada satupun yang di laksanakan oleh PT. TIA," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM Kalimantan) Aspihani Ideris angkat bicara ketika dihubungi wartawan media ini via telepon, "Saya rasa tidak ada alasan lagi bagi pihak PT. Tunas Inti Abadi (PT. TIA) untuk tidak membayarkan hak-hak masyarakat pemilik lahan ini, sementara legalitas surat menyurat kepemilikan lahannya sudah sangat jelas dimiliki oleh mereka," katanya.
Lanjut Aspihani yang juga seorang pemerhati lingkungan, "Kalau kita baca dari kacamata hukum bahwa dokumen kepemilikan yang mereka miliki itu sah baik secara hukum adat maupun hukum negara," cetusnya.
Saya percaya pihak perusahaan PT. Tunas Inti Abadi bisa menyikapi permasalahan ini dengan bijak, dan saya rasa hal ini sebuah permasalah yang sangat kecil bagi perusahaan sebesar PT. TIA itu sendiri kalau tuh ada tergelintas niat baik di hati pihak petingi perusahaan," ujar Aspihani seraya menutup pembicaraan dengan wartawan Media Publik.
Sementara itu Komisi IV DPR RI dalam waktu dekat akan terjun ke wilayah-wilayah konflik lahan yang merugikan masyarakat setempat. Kunjungan segera dilakukan ke Kabupaten Tanah Bumbu-Kalsel, karena potensi konflik yang sangat besar dan potensi kriminalisasi investasi yang semakin tinggi.
Penegasan tersebut dikemukakan anggota Komisi IV DPR yang membidangi Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian, yaitu Yusran Asfar (FPD), Bahrudin Syarkawi (PDIP) dan Ian Siagian (FPDIP) ketika menerima delegasi DPRD Kab. Tanah Bumbu, Kalsel di Gedung DPR RI, Jum’at (20/1).
Para anggota Komisi IV DPR ini juga menegaskan akan mendesak pimpinan DPR untuk mengirimkan surat ke Presiden RI yang isinya mendesak agar Menhut konsisten menerapkan UU 41/1999 dan merevisi SK 435 Tahun 1999. “Saya sudah mengerti masalah ini dan secara internal akan bekoordinasi di Komisi IV untuk segera melakukan kunjungan spesifik ke Kab. Tanah Bumbu, Kalsel,” kata Ian Siagian.
Penegasan sama juga dikemukakan anggota dari Demokrat, Yusran Asfar yang sangat antusias mendengar paparan anggota DPRD dari Kab. Tanah Bumbu. “Saya juga berasal dari Kalimantan dan tahu persis permasalahan yang terjadi di sana (Kalsel, red),” kata bekas Bupati di Kalimantan Timur itu.
Dalam rapat konsultasi antara Komisi IV DPR RI dengan DPRD Kab. Tanah Bumbu, Kalsel, juga mencuat pengaduan seputar sepak terjang dari beberapa perusahaan seperti PT. Tunas Inti Abadi (PT.TIA) dan pengusaha asal Batulicin bernama Haji Syamsudin (H.Isam) yang berhasil memanfaatkan kisruh UU 41/1999 dan SK Menhut Nomor 435 untuk keuntungan yang bersangkutan. Sayangnya aparat mulai dari jajaran Polsek sampai Polda Kalsel pro kepada proses kriminalisasi investasi yang dilakukan oleh pengusaha muda asal Batulicin tersebut (H. Isam).
Sebelumnya dalam diskusi konflik soal lahan di ruang wartawan DPR, Rabu (18/1) anggoya DPR Komisi III DPR Nudirman Munir berjanji pihaknya akan memanggil pengusaha H. Isam. “Jika yang bersangkutan mangkir lagi, maka kami akan memanggil paksa,” tegas politisi Partai Golkar itu.
"Ini Tinggal Bom Waktu Aja lagi" katanya.
Sementara itu anggota DPRD Kab. Tanah Bumbu dari FPKS, Bahsanuddin mengungkapkan jika permasalahan tidak diselesaikan secepatnya, dikhawatirkan akan terjadi konflik seperti di daerah-daerah lain, apalagi issu berkembang pada hari Rabu (25/1) ini masyarakat mau berdemo besar-besaran di salah satu lahan tambang yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu, katanya.
Hal ini pun diakui anggota Komisi IV DPR Yusron Asfar. Dirinya telah lama mengamati dan menyaksikan kasus penyerobotan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik seperti di Tanah Bumbu, di Pulau Samosir dan Tobasa Sumut, dan juga di Riau. Karena itu dia mengusulkan Panja (Panitia Kerja) Pinjam Kawasan yang dibentuk DPR harus dilanjutkan, tegasnya.
Kedatangan 17 anggota DPRD yang difasilitasi Ketua Komite Tetap Investasi Wilayah Tengah, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat, M. Solikin itu mengungkapkan dan mengadukan kerisauan mereka atas kisruh perebutan lahan yang dipicu oleh tidakkonsistennya penerapan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kekisruhan ini makin dipicu lagi dengan adanya SK Menhut Nomor 435 Tahun 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalsel.
M Solikin dari Kadin Pusat yang juga pengusaha asal Kalsel menambahkan, bom waktu konflik lahan dan kawasan di Kalsel berakar dari SK Menhut 435 yang menurut UU Nomor 41/1999, terutama pasal 5 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan seharusnya melalui empat tahap. Pertama, penunjukan kawasan hutan, penata batasan kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Dalam implementasinyapemerintah dalam hal ini Menhut langsung menggunakan penunjukan kawasan hutan yang dijadikan dasar untuk tindakan hukum, padahal hal itu belum mempunyai kekuatan hukum karena tahapan yang lain tidak dilaksanakan. “Inilah yang mengakibatkan malpraktik hukum dan dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha hitam,” pungkas Solikin.
“Masyarakat resah dengan adanya prilaku para pengusaha yang berkolaborasi dengan aparat penegakan hukum dan hampir semua pengusaha di sini kebal hukum, alias hukum sudah dibeli oleh orang yang berduit dan berlaku hanya bagi kaum lemah,” tegas Solikin . (TIM)
“Kami tidak mengerti, kenapa Bupati sampai sekarang tidak juga mau menyerahkan dana tali asih senilai Rp 3 M itu disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalsel dari PT. TIA itu kepada warga yang berhak. Padahal dana itu sudah diberikan kepada Bupati sejak bulan Maret 2011 lalu,” kata Abdullah Audah kepada wartawan.
Menurutnya Abdullah Audah, dana Rp 3 M itu berawal dari protes warga Desa Sebamban Baru atas aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT TIA yang mencaplok lahan pertambangan milik warga Desa Sebamban Baru. DPRD Tanah Bumbu kemudian menfasilitasi hingga Pada 30 Nopember 2010 lalu dilakukan pembahasan tentang legalitas kepemilikan lahan masyarakat Desa Sebamban Baru.
Rapat dihadiri oleh Komisi I DPRD Kabupaten Tanah Bumbu, Pemilik Lahan, Dinas Pertambangan dan Energi, Bappeda, Polres, Camat Sungai Loban, Camat Angsana dan seluruh kepala desa di sekitar lokasi pertambangan. Rapat itu merekomendasikan merevisi SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 545/05/IUP-OP/D-PE/2010 tentang Persetujuan Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT. TIA karena sebagian wilayahnya mencaplok lahan warga. Rekomenasi yang pimpinan DPRD Tanah Bumbu, Burhanuddin (Ketua), Supiansyah (Wakil Ketua) juga meminta Bupati untuk menghentikan aktivitas PT. TIA, jelas Abdullah Audah.
Lebih lanjut Abdullah Audah yang juga kental panggil sehariiharinya Audah itu menuturkan, “Pada, 1 Maret 2011 kemudian dilakukan pertemuan antara PT. TIA dan Forum Komunikasi Muspida Kabupaten Tanah Bumbu. Di ruang rapat kantor Bupati Tanah Bumbu disepakati PT. TIA bersedia memberi dana tali asih sebesar Rp 6 milyar. Kesepakatan penitipan dana tali asih pertama sebesar Rp. 3 milyar dilakukan pada 7 Maret 2011 dan sisa penitipan dana tali asih Rp 3 milyar akan diserahkan empat bulan setelah dana tali asih pertama, yaitu pada tanggal 7 Juli 2011.
“Tapi sampai sekarang, dana tali asih itu belum juga dicairkan dan diserahkan kepada kami. Makanya, kami akan melakukan aksi demo besar-besaran tanggal 25 Januari ini, dan mudah-mudahan pintu hati PT. TIA bisa terbuka sehingga tuntutan kami bisa di selesaikannya dengan baik.” kata Audah.
Lebih dalam Audah memaparkan, "Jujur sudah sering pertemuan-pertemuan dilakukan antara pihak pemilik lahan, tokoh-tokoh masyarakat serta pihak perusahan PT. TIA sendiri, baik yang di fasilitasi oleh Polres Tanah Bumbu, DPRD Tanah Bumbu maupun oleh Pemkab. Tanah Bumbu sendiri, namun semua hasil dan kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan itu tidak ada satupun yang di laksanakan oleh PT. TIA," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM Kalimantan) Aspihani Ideris angkat bicara ketika dihubungi wartawan media ini via telepon, "Saya rasa tidak ada alasan lagi bagi pihak PT. Tunas Inti Abadi (PT. TIA) untuk tidak membayarkan hak-hak masyarakat pemilik lahan ini, sementara legalitas surat menyurat kepemilikan lahannya sudah sangat jelas dimiliki oleh mereka," katanya.
Lanjut Aspihani yang juga seorang pemerhati lingkungan, "Kalau kita baca dari kacamata hukum bahwa dokumen kepemilikan yang mereka miliki itu sah baik secara hukum adat maupun hukum negara," cetusnya.
Saya percaya pihak perusahaan PT. Tunas Inti Abadi bisa menyikapi permasalahan ini dengan bijak, dan saya rasa hal ini sebuah permasalah yang sangat kecil bagi perusahaan sebesar PT. TIA itu sendiri kalau tuh ada tergelintas niat baik di hati pihak petingi perusahaan," ujar Aspihani seraya menutup pembicaraan dengan wartawan Media Publik.
Sementara itu Komisi IV DPR RI dalam waktu dekat akan terjun ke wilayah-wilayah konflik lahan yang merugikan masyarakat setempat. Kunjungan segera dilakukan ke Kabupaten Tanah Bumbu-Kalsel, karena potensi konflik yang sangat besar dan potensi kriminalisasi investasi yang semakin tinggi.
Penegasan tersebut dikemukakan anggota Komisi IV DPR yang membidangi Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian, yaitu Yusran Asfar (FPD), Bahrudin Syarkawi (PDIP) dan Ian Siagian (FPDIP) ketika menerima delegasi DPRD Kab. Tanah Bumbu, Kalsel di Gedung DPR RI, Jum’at (20/1).
Para anggota Komisi IV DPR ini juga menegaskan akan mendesak pimpinan DPR untuk mengirimkan surat ke Presiden RI yang isinya mendesak agar Menhut konsisten menerapkan UU 41/1999 dan merevisi SK 435 Tahun 1999. “Saya sudah mengerti masalah ini dan secara internal akan bekoordinasi di Komisi IV untuk segera melakukan kunjungan spesifik ke Kab. Tanah Bumbu, Kalsel,” kata Ian Siagian.
Penegasan sama juga dikemukakan anggota dari Demokrat, Yusran Asfar yang sangat antusias mendengar paparan anggota DPRD dari Kab. Tanah Bumbu. “Saya juga berasal dari Kalimantan dan tahu persis permasalahan yang terjadi di sana (Kalsel, red),” kata bekas Bupati di Kalimantan Timur itu.
Dalam rapat konsultasi antara Komisi IV DPR RI dengan DPRD Kab. Tanah Bumbu, Kalsel, juga mencuat pengaduan seputar sepak terjang dari beberapa perusahaan seperti PT. Tunas Inti Abadi (PT.TIA) dan pengusaha asal Batulicin bernama Haji Syamsudin (H.Isam) yang berhasil memanfaatkan kisruh UU 41/1999 dan SK Menhut Nomor 435 untuk keuntungan yang bersangkutan. Sayangnya aparat mulai dari jajaran Polsek sampai Polda Kalsel pro kepada proses kriminalisasi investasi yang dilakukan oleh pengusaha muda asal Batulicin tersebut (H. Isam).
Sebelumnya dalam diskusi konflik soal lahan di ruang wartawan DPR, Rabu (18/1) anggoya DPR Komisi III DPR Nudirman Munir berjanji pihaknya akan memanggil pengusaha H. Isam. “Jika yang bersangkutan mangkir lagi, maka kami akan memanggil paksa,” tegas politisi Partai Golkar itu.
"Ini Tinggal Bom Waktu Aja lagi" katanya.
Sementara itu anggota DPRD Kab. Tanah Bumbu dari FPKS, Bahsanuddin mengungkapkan jika permasalahan tidak diselesaikan secepatnya, dikhawatirkan akan terjadi konflik seperti di daerah-daerah lain, apalagi issu berkembang pada hari Rabu (25/1) ini masyarakat mau berdemo besar-besaran di salah satu lahan tambang yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu, katanya.
Hal ini pun diakui anggota Komisi IV DPR Yusron Asfar. Dirinya telah lama mengamati dan menyaksikan kasus penyerobotan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik seperti di Tanah Bumbu, di Pulau Samosir dan Tobasa Sumut, dan juga di Riau. Karena itu dia mengusulkan Panja (Panitia Kerja) Pinjam Kawasan yang dibentuk DPR harus dilanjutkan, tegasnya.
Kedatangan 17 anggota DPRD yang difasilitasi Ketua Komite Tetap Investasi Wilayah Tengah, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat, M. Solikin itu mengungkapkan dan mengadukan kerisauan mereka atas kisruh perebutan lahan yang dipicu oleh tidakkonsistennya penerapan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kekisruhan ini makin dipicu lagi dengan adanya SK Menhut Nomor 435 Tahun 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalsel.
M Solikin dari Kadin Pusat yang juga pengusaha asal Kalsel menambahkan, bom waktu konflik lahan dan kawasan di Kalsel berakar dari SK Menhut 435 yang menurut UU Nomor 41/1999, terutama pasal 5 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan seharusnya melalui empat tahap. Pertama, penunjukan kawasan hutan, penata batasan kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Dalam implementasinyapemerintah dalam hal ini Menhut langsung menggunakan penunjukan kawasan hutan yang dijadikan dasar untuk tindakan hukum, padahal hal itu belum mempunyai kekuatan hukum karena tahapan yang lain tidak dilaksanakan. “Inilah yang mengakibatkan malpraktik hukum dan dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha hitam,” pungkas Solikin.
“Masyarakat resah dengan adanya prilaku para pengusaha yang berkolaborasi dengan aparat penegakan hukum dan hampir semua pengusaha di sini kebal hukum, alias hukum sudah dibeli oleh orang yang berduit dan berlaku hanya bagi kaum lemah,” tegas Solikin . (TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar