Oleh : Andi Nurdin, SH (Praktisi Hukum dan Pengamat Sosial Budaya/Wakil Direktur LSM LEKEM KALIMANTAN)
Manusia memang tidak punya apa apa kecuali amal kebajikan. Manusia yang menciptakan sejarah mempunyai nama di dalam sejarah. Gajah mati meninggalkan gading yang bermanfaat bagi manusia. Hariamau mati meninggalkan kulit belangnya yang juga bermanfaat bagi manusia.Hanya mudah-mudahan manusia mati tidak meninggalkan hutang piutang.Ataupun denda yang tidak terbayarkan karena mungkin terlalu banyak korupsi. Atau janganlah sampai manusia mati dengan meninggalkan fitnah serta terungkapnya rekayasa dan kejahatan pada ummat manusia. Atau pejabat yang merekayasa rakyatnya. Atau meninggalkan kejanggalan politik yang ternyata adalah kejahatan yang terselubung.padfa akhirnya waktu yang mengadilinya.
Seorang penyair dan sasterawan seperti WS Rendra, di dalam buku yang berjudul ”Rendra Ia tak pernah pergi”, disebutkan baginya, menulis puisi bagaikan yoga sastra dan bermain drama itu yoga drama,itu runga ibadah….Puisi bukan sebatas di atas kertas, drama bukan sebatas di atas panggung.Ia tak mau dibatasi hanya sekadar bicara embun yang jatuh dari ujung daun dan gemercik air kali, tapi mau mengerti kebijakan kekuasaan terhadap nasib rakyat. Dengan demikian, puisinya hendak terus menerus melisankan langsung kepada khalayaknya, bahkan menyiratkan ambisinya untuk mengembalikan puisi pada fungsi sosialnya yang jelas.
Oleh Emha Ainun Nadjib, juga mengatakan jika Rendra konsisten dengan penolakannya itu. Bau bau otoritas sangat dihindari dalam kehidupan Bengkel-sebab otoritas hanya milik Tuhan, dan kalau tangan manusia yang memegangnya, jelas mengakibatkan bencana-bencana.
Oleh Ignas Kleden juga mengatakan, jika Rendra tak pernah menuliskan sajak sajak gelap, jauh dari kecenderungan untuk memakai kata-kata abstrak yang tanpa warna, bunyi, atau bau hutan….Apapun ditulisnya juga dalam essai memikat selalu menyebabkan pembaca membayangkan suatu gambaran yang konkrit menyentuh pengalaman.
Kebudayaan adalah merupakan cipta,rasa dan karsa manusia. Melalui pengalaman dan sejarah yang kemudian dijadikan ritual ritual kehidupan ataupun kebiasan kebiasaan.Dengan itu manusia berpegang kepada pengalamannya tentang indah dan baik menurut sejarah selama ini.Di dalam buku yang berjudulPengantar Imu Antropologi oleh Koentjaraningrat,yang merupakan Guru besar Antropologi Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Perguruan Tinggi Hukum Militer serta perguruan Tinggi Ilmu kepolisian, ada mengatakan manusia dengan kemampuan akalbudinya telah mengembangkan bebagai sistem tindakan. Demi keperluan hidupnya, sehingga ia menjadi makhluq yang paling berkuasa di muka bumi ini. Namun demikian, berbagai macam sistem tindakan tadi harus dibiasakan olehnya dengan belajar sejak ia lahir selama seluruh jangka waktu hidupnya, sampai ia mati. Haltersebut karena kemampuan untuk melaksanakan semua sistem tindakan itu tidak terkandung dalam gen-nya. Jadi tidak dibawa olehnya bersama lahirnya.
Aspek belajar merupakan aspek yang sangat penting.Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan, artinya di dalam memberi definisi terhadap konsep “kebudayaan” atau “culture” itu ilmu antropologi seringkali sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Juga apabila dibandingkan dengan arti yang biasanya diberikan kepada konsep itu dalam bahasa sehari hari.Yaitu arti yang terbatas kepada hal hal yang indah seperti candi, tari tarian, seni rupa, seni suara, kesusasteraan, dan filsafat, definisi ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya.
Dengan demikian menurut Koentjaraningrat, menurut ilmu Antropologi, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakandan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kepenyairan Rendra di dalam buku “Rendra,Ia belum pergi,”di ulas oleh Binhad Nurrohmat, Kepenyairannya bisa jadi tak sebatas teks, namun bersentuhan langsung dengan ralitas. Puisinya menjelma aksi dan peristiwa yang penting. Kepenyairannya tidak hanya berbekal fakta sosial obyektif. Dia tidak bekerja dibelakang meja sambil melanglang buanakan khayalan ke antah berantah. Dia memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang sebelumnya tabu bagi citra romantisme kepenyairan kita. Dia tidak segan menggagas gerakan”pembangkangan nasional”, bicara tentang tata negara dan kelautan dengan fasih dan mengesankan.Di mana lagi puisinya?
Baginya sudah melampaui batas estetika dan menyentuh kepekaan rasa bersama. Nasib manusia dan kebudayaan Indonesia, seperti di dalam petikan sajaknya “sajak sebatang lisong”(1977), Apakah arti kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.
WS Rendra juga pernah berkata, di dalam ilmu silat tidak ada juara nomo dua, di dalam ilmu surat, tidak ada juara nomor satu. Diucapkannya ketika menerima hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975.
Seperti juga di dalam pendapat hukum, jika dua Pengacara berpendapat, maka ada tiga pendapat. Ilmu silat merujuk kepada persaingan kekuatan dan keunggulan.Segala petarung lain harus disingkirkan untuk menghasilkan “satu pemenang”. Sebaliknya ilmu surat atau pendapat berhubungan dengan perbedaan perbedaan dalam pandangan tentang masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian didalam persaingan kekuatan ada kalah, dan ada yang menang. Tetapi di dalam ilmu surat dan pendapat dan di dalam perbedaan, hanya masalah selera dan sudut pandang. Dua atau tiga pendapat sama sama bisa diterima.
Berulang kali WS Rendra berbicara tentang kesadaran alam dan kesadaran kebudayaan. Alam tidak diciptakan manusia, dan karena itu terhadap alam orang hanya dapat menyesuaikan diri dengan tangkas atau kikuk. Namun walaupun demikian kebudayaan dan susunan masyarakat dibuat oleh manusia sendiri,dan karena itu selalu bisa dirubah dan dapat juga diubah.
Dijelaskan juga jika padaRendra kita menemukan sebuah jalan keluar dari dilema estetik yang diajukan oleh para pemikir dari Mazhab Frankfurt, apakah estetik harus menjadi ekspresi dari konflik yang dialami orang orang yang tak mendapat tempat dalam masyarakat yang mengambil jalan kapitalis. Ataukah estetik menjadi tempat pelarian terakhir untuk mereka yang kalah bersaing?Estetik tak bisa membenarkan penyairnya melarikan diri dari politik. Lirik tak mengharamkan penyair menyampaikan kritiknya. Sajak dan puisi bukan sekadar tempat menyendiri, tetapi dapat dilibatkan perjuangan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar