Oleh : Aspihani Ideris MH
Direktur Eksekutif LEKEM Kalimantan
Pengadilan adalah merupakan tumpuan sebuah harapan terakhir pencari keadilan atau pihak pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pegadilan mempunyai tugas-tugas utama, yaitu 1) Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, 2) Memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari kedailan dan 3) Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada pihak-pihak dan masyarakat.
Direktur Eksekutif LEKEM Kalimantan
Pengadilan adalah merupakan tumpuan sebuah harapan terakhir pencari keadilan atau pihak pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pegadilan mempunyai tugas-tugas utama, yaitu 1) Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, 2) Memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari kedailan dan 3) Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada pihak-pihak dan masyarakat.
Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa :
"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi".
Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi
hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan Peradilan
Agama mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan Islam. Dimana ia
berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara
pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan permusuhan
berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan
dasar-dasar hukum yang ada.
Peradilan Agama adalah peradilan Islam di
Indonesia, sebab dari jenis jenis perkara yang menjadi kewenangannya seluruhnya
adalah jenis perkara yang didasarkan kepada agama Islam. Selain itu Peradilan
Agama juga dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam dan/atau mereka yang
menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi
Peradilan Agama dipegang oleh Pengadilan Agama untuk tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding, yang masing masing mempunyai
kewenangan yang diatur oleh undang-undang.
Kewenangan dimaksud antara lain meliputi
kewenangan terhadap jenis perkara yang disebutkan dalam pasal 49 dan 50
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di amandemen
dengan Undang undang Nomor 3 tahun 2006 yang berbunyi:
Pasal 49
"Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan
c. wasiat
d. hibah
e. wakaf
f. zakat
g. infak
h. sedekah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Pasal 50
(1) Dalam hal
terjadi sengketa mengenai hak milik atau sengketa lain dalam perkara perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi
sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya
antara orang-orang yang
(3) Beragama Islam.
Objek sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama perkara yang
dimaksud pasal 49.
Khusus mengenai ekonomi syari'ah pada
penjelasan pasal 49 huruf (i) disebutkan bahwa : "Yang dimaksud dengan
ekonomi syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. Bank syari'ah
b. Lembaga keuangan mikro syari'ah
c. Asuransi syari'ah
d. Reasuransi syari'ah
e. Reksa dana syari'ah
f. Obligasi syari'ah dan surat berharga
berjangka menengah syari'ah
g. Sekuritas syari'ah
h. Pembiayaan syari'ah
i. Pegadaian syari'ah
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah;
dan
k. Bisnis syari'ah.
Selain itu menurut Undang-Undang No 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah bahwa penyelesaian sengketa tentang
perbankkan syariah dilaksanakan melalui Peradilan agama sebagaimana Pasal 55
yang berbunyi :
(1) Penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Dengan demikian, Peradilan Agama diberi
wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syari'ah dalam
bidang bidang tersebut di atas. Tidak terkecuali bidang Perbankan/Pegadaian/Perasuransian/Koperasi
Syariah.
UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan
atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, membawa implikasi besar terhadap
perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan
secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Amandemen ini membawa implikasi dalam
sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. wewenang untuk menangani perselisihan
atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di PN yang
notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam aplikasinya, sebelum
amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di
lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata.
Secara historis, norma-norma yang bersumber
dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari
perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis
mengikis keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Akibatnya lembaga perbankan dan
lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW
(Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu
transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali
dilakukan.
Selama ini sebelum berlaku di
Pengadilan Agama, sebelum kasus sengketa dibawa ke Pengadilan Negeri, masalah
perselisihan ditangani terlebih dahulu oleh Basan Arbitrase Syariah. Namun,
peran dan fungsi Badan Arbitrase ini tidak optimal dan tidak memadai untuk
menyelesaikan setiap kasus perselisihan, karena lembaga artbitrase tidak
memiliki daya paksa untuk menyeret orang yang digugat ke Pengadilan, sehingga
tidak mengherankan jika ratusan bahkan mungkin ribuan kasus gugatan
perselisihan di bidang ekonom syariah yang tercecer, karena berada di luar kewenangan
Badan Arbitrase Syariah. Banyaknya kasus gugatan di bidang ekonomi
syari’ah yang tidak bisa diselesaikan Badan Atbitrase Syari’ah, karena Badan
Arbitrase bukanlah lembaga Pengadilan.
Dengan demikian, untuk menyelesaikan
kasus-kasus sengketa yang senantiasa muncul, kedudukan lembaga atbitrase ini
sangat lemah Dilaporkan saat ini paling tidak ratusan kasus komplain ke bank
dan lembaga keuangan syariah yang diajukan ke Bank Indonesia yang tidak bisa
ditangani oleh Badan Arbitrase.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar