Rabu, 09 Mei 2012

PERADILAN ISLAM

Oleh : Aspihani Ideris MH
Direktur Eksekutif LEKEM Kalimantan

Pengadilan adalah merupakan tumpuan sebuah harapan terakhir pencari keadilan atau pihak pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pegadilan mempunyai tugas-tugas utama, yaitu 1) Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, 2) Memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari kedailan dan 3) Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada pihak-pihak dan masyarakat.

Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa : "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi".

Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan Peradilan Agama mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan Islam. Dimana ia berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan permusuhan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada.

Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis jenis perkara yang menjadi kewenangannya seluruhnya adalah jenis perkara yang didasarkan kepada agama Islam. Selain itu Peradilan Agama juga dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam dan/atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam.

Dalam menjalankan tugas dan fungsi Peradilan Agama dipegang oleh Pengadilan Agama untuk tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding, yang masing masing mempunyai kewenangan yang diatur oleh undang-undang.

Kewenangan dimaksud antara lain meliputi kewenangan terhadap jenis perkara yang disebutkan dalam pasal 49 dan 50 Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di amandemen dengan Undang undang Nomor 3 tahun 2006 yang berbunyi:
Pasal 49
"Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan
c. wasiat
d. hibah
e. wakaf
f. zakat
g. infak
h. sedekah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau sengketa lain dalam perkara perkara sebagaimana yang dimaksud dalam  pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang
(3) Beragama Islam. Objek sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama perkara yang dimaksud pasal 49.
Khusus mengenai ekonomi syari'ah pada penjelasan pasal 49 huruf (i) disebutkan bahwa : "Yang dimaksud dengan ekonomi syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. Bank syari'ah
b. Lembaga keuangan mikro syari'ah
c. Asuransi syari'ah
d. Reasuransi syari'ah
e. Reksa dana syari'ah
f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah
g. Sekuritas syari'ah
h. Pembiayaan syari'ah
i. Pegadaian syari'ah
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. Bisnis syari'ah.

Selain itu menurut Undang-Undang No 21 tahun 2008  tentang perbankan  syariah bahwa penyelesaian sengketa tentang perbankkan syariah dilaksanakan melalui Peradilan agama sebagaimana Pasal 55 yang berbunyi :
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam  lingkungan Peradilan Agama.

Dengan demikian, Peradilan Agama diberi wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syari'ah dalam bidang bidang tersebut di atas. Tidak terkecuali bidang Perbankan/Pegadaian/Perasuransian/Koperasi Syariah.

UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda,  bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

Amandemen ini membawa implikasi dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah  diselesaikan di PN yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam aplikasinya, sebelum amandemen UU No 7/1989  ini,  penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata.

 Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Akibatnya lembaga perbankan dan lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

Selama ini sebelum berlaku di Pengadilan Agama, sebelum kasus sengketa dibawa ke Pengadilan Negeri, masalah perselisihan ditangani terlebih dahulu oleh Basan Arbitrase Syariah. Namun, peran dan fungsi Badan Arbitrase ini tidak optimal dan tidak memadai untuk menyelesaikan setiap kasus perselisihan, karena lembaga artbitrase tidak memiliki daya paksa untuk menyeret orang yang digugat ke Pengadilan, sehingga tidak mengherankan jika ratusan bahkan mungkin ribuan kasus gugatan perselisihan di bidang ekonom syariah yang tercecer, karena berada di luar kewenangan Badan Arbitrase Syariah.  Banyaknya kasus gugatan di bidang ekonomi syari’ah yang tidak bisa diselesaikan Badan Atbitrase Syari’ah, karena Badan Arbitrase bukanlah lembaga Pengadilan.

Dengan demikian, untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa yang senantiasa muncul, kedudukan lembaga atbitrase ini sangat lemah Dilaporkan saat ini paling tidak ratusan kasus komplain ke bank dan lembaga keuangan syariah yang diajukan ke Bank Indonesia yang tidak bisa ditangani oleh Badan Arbitrase.

            Lemahnya kedudukan arbitrase untuk menyesailan kasus-kasus sengketa karea memang atbitrase adalah lembaga tahkim, bukan lembaga pengadilan itu sendiri. Keputusan arbitrase baru memiliki kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah bersepakat membawa kasus itu ke Badan Arbitrase Syariah dan mereka sepakat pula untuk menerima keputusan badan arbitrase tersebut.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar