Minggu, 06 Mei 2012

RUSAKNYA LINGKUNGAN DAMPAK TAMBANG BATUBARA

BERITA MEDIA PUBLIK – KALSEL. Kerusakan lingkungan hidup di Satui Kabupaten Tanah Bumbu dan Rantau Nangka, Rantau Bakula Sungai Pinang Kabupaten Banjar semakin parah, dan dampak dari pola pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tak bertanggung jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan. Hampir setiap tahun berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup mewarnai ditempat ini, seperti bencana banjir, limbah sawit, limbah tambang dan lain-lain, Hal demikian terungkap ketika Petinggi Presidium Persatuan LSM Kalimantan investigasi ke beberapa pertambangan di daerah Kabupaten Tanah Bumbu dan daerah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, Minggu (6/5).

Ahmad Yani Direktur LSM F GAM TALA, angkat bicara, “Permasalahan penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup justru sangat lemah. Hukum Lingkungan Hidup nyaris tumpul dan tak berdaya menghadapi berbagai perkara kejahatan lingkungan” katanya Minggu (6/5) ketika diminta tanggapannya oleh beberapa wartawan.

Yani menjelaskan permasalahan hukumnya adalah bahwa perbuatan pelaku hanya dapat dipidana bila akibatnya sudah muncul, yaitu terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan. Perumusan materil ini dinilai sangat membahayakan lingkungan hidup dan dianggap bahwa instrumen hukum pidana terlalu terlambat diterapkan bila baru bergerak setelah timbul akibat yang berupa perusakan atau pencemaran lingkungan. Ujar aktivis yang gencar mengkretiki kebijakan pemerintah ini.

Muhammad Yusuf, S.Sos, M.AP memaparkan bahwa penegakan hukum  di beberapa daerah di Kalimantan Selatan ini terkesan tebang pilih, pungkasnya, Minggu (6/5).

“Dalam RUU dirumuskan secara formil, yaitu merumuskan perbuatannya saja tanpa merumuskan akibatnya. Artinya seseorang sudah dapat dipidana sepanjang perbuatannya sudah melanggar larangan yang dirumuskan tanpa harus ada akibat dari perbuatannya tersebut”. Ujar Yusuf yang juga Ketua Umum LSM HIMPAL Tanah Bumbu.

Lebih rinci Muhammad Yusuf  mengungkapkan “Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang Lingkungan Hidup No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah”.ujarnya.

Aspihani Ideris MH seorang Pemerhati Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan angkat bicara, Minggu (6/5) "saya rasa kerusakan-kerusakan yang timbul dari akibat tambang batubara ini perlu menjadi pekerjaan perioritas dari badan penanganan dampak lingkungan hidup kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Banjar untuk menyikapinya" katanya.

“Saya melihat seperti di daerah Rantau Nangka Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar para penambang seakan-akan tidak memperhatikan dari dampak kerusakan lingkungannya, seperti yang terjadi di lokasi tambang PT. MADANI banyaknya kebun-kebun para petani yang rusak akibat dari dampak pertambangan itu sendiri,” ujar pengacara muda ini kepada wartawan Media Publik.

Selain di Sungai Pinang kami lihat sepanjang jalan daerah pertambangan seperti di Kecamatan Pengaron dan Sambung Makmur banyaknya hasil aktivitas pertambangan yang menganga luasannya seakan-akan menjadi sebuah danau yang tak bertuan, hal ini membuktikan tidak jalannya reklamasi seperti yang di programkan dalam sebuah  peraturan pertambangan itu sendiri, nah fakta ini siapa yang bertanggung jawab dengan kehancuran alam kita ini? Apakah pemerintah daerah atau para pengusaha pertambangannya?, kesah Aspihani dengan nada keras.

"Kalau kita semua diam, saya yakin 20 tahun kedepan alam kabupaten Banjar ini akan hancur dan masyarakat akan merasakan dampak buruknya dari hasil aktivitas pertambangan batu bara ini".

Lebih lanjut Aspihani menuturkan bahwa selain di Rantau Nangka di daerah yang sama yaitu di desa Rantau Bakula Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar juga saya lihat sungai Riam Kiwa seakan-akan hilang dengan masuknya pertambangan PT. PAMA akibat dari sebuah aktivitas penambangan yang begitu sangat dekat dengan bibir sungai”, pungkasnya.

"Nah oleh karena itu juga saya berharap dari kementerian lingkungan hidup jangan sampai tutup mata dengan perlakuan buruk yang diakibatkan pengusaha-pengusaha penambang batubara ini, kan ada aturan-aturannya dalam pelaksanaan penambangan itu?, ungkap Aspihani Ideris yang juga Sekretaris Jenderal Persatuan LSM Kalimantan ketika di minta tanggapannya oleh wartawan Media Publik.

Aspihani Ideris yang juga Direktur Eksekutif LEKEM KALIMANTAN "Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan" lebih rinci menuturkan bahwa, “dalam pengelolaan pertambangan batubara itu sudah jelas diatur didalam Peraturan pemerintah (PP) terbaru seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 29, tambahan Lembaran Negara RI Nonror 5111) dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 95, tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5142)”. Pungkas alumnus Magester Hukum UNISMA Malang ini. (Tim )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar