Minggu, 18 Agustus 2013

Maraknya Pilkada Dinasti DiIndonesia


Foto KASTALANI IDERIS (Direktur LEKEM Kalimantan)

Oleh : Kastalani Ideris

MEDIA PUBLIK


Salah satu efek samping dari Pemilhan Kepala Derah (PILKADA) adalah melahirkan dinasti-dinasti di daerah. Banyak anak dan isteri yang menggantikan ayah dan suami mereka untuk memimpin daerah.


Fenomena politik dinasti seperti layaknya politik kartel yang menganut politik balas budi, politik uang maupun politik melanggengkan kekuasaan. "Seolah-olah kebebasan politik yang semakin terbuka ini, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang punya segala akses untuk menggapai kapitalisasi dan kekuasaan.


Makin maraknya praktek politik dinasti di berbagai pilkada dan pemilu legeslatif, diperkirakan akan terus berlanjut selama proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya alias macet.


Sebagai contoh, sebut saja politik dinasti yang terjadi dibeberapa Provinsi dan Kabupaten Kota diNegeri ini, di mana Ayah, anak, menantu, keponakan dan kerabat Gubernur ,Bupati ataupun Walikota memegang berbagai lini kekuasaan, baik eksekutif dan legeslatif.. 


"Hampir disemua ajang pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, maka sang istri seolah-olah 'terpanggil' ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik," jelasnya.


Kami menilai tidak ada yang salah dengan politik diniasti. Namun memilih pemimpin daerah yang tidak memiliki kapabilitas seperti sama saja menyerahkan nasib masyarakat ke orang yang salah. Pemilih seharusnya mendapatkan political literasi berupa pemahaman dan pengalaman mengenai sepak terjang calon kepada daerah atau calon anggota legislatif.


"Jangan lagi kita membeli kucing dalam karung. Yang kita hendaki sebenarnya kucing Anggora, ternyata yang kita dapatkan kucing buduk," terangnya.


Ke depan todak ada lagi anggapan calon pemimpin bisa dikarbit karena orang tuanya pernah menjadi Bupati, Gubernur atau Ketua Umum Partai. Pemimpin bisa saja lahir dari pondok pesantren, asrama mahasiswa, daerah perkampungan miskin atau taruna militer.


“Parpol hendaknya tidak berpikir jangka pendek dalam meraih kekuassan tetapi harusnya berpikir jangka panjang untuk kemashalatan ummat,".***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar