Masyarakat Kalimantan Selatan khususnya di
desa Lamida Bawah dan Desa Lok Batung Kabupaten Balangan Kec. Paringin,
benar-benar tertindas dan terjalimi serta dibuat tidak mengerti oleh penguasa
sebagai penyelenggara negara di Republik ini. Pasalnya adalah Desa Lamida Bawah
dan Lok Batung sesuai UU jelas merupakan bagian negara hukum, ternyata HGU
palsu / fiktif yang terdapat di sertifikat palsu / tipe ex yang dikantongi PTPN
(PT. Perkebunan Nusantara) 13 PIR Paringin yang mencaplok tanah warga dan tanah
ulayat, sampai berita ini diturunkan lagi, pelaku mafia tanah (PTPN 13) aman
dan seakan pelanggaran hukum tidak ada.
Masyarakat Balangan adalah merupakan komponen
bangsa bingung alias heran… yang dinamakan negara hukum di Republik ini,
negara hukum yang mana…? Apakah Balangan ini tidak termasuk negara hukum, fakta
bicara kalau Republik ini adalah negara hukum kenapa dan mengapa HGU palsu /
fiktif yang dilahirkan dari sertifikat palsu (type ex) tetap bercongkol di tanah
milik masyarakat, saat ini tidak ada aparatur negara yang bertindak terhadap
kejahatan tersebut. Padahal kejahatan tersebut berada di wilayah negara hukum
sebagaimana UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3.
Apakah ini pembiaran mafia tanah atau negara
hukum itu tidak ada, atau bisa disebut HGU palsu / fiktif dapat mengalahkan
negara, atau negara hukum tidak berdaya serta bertekuk lutut dengan HGU palsu /
fiktif, atau yang berkuasa di Republik ini bukan hukum tetapi adalah
kejahatan (sertifikat palsu dan HGU fiktif / palsu). Ini sebuah realita yang
diterima serta dialami oleh bangsa Indonesia khususnya masyarakat korban,
mereka tahu bahwa yang berkuasa di negara ini adalah hukum, ternyata hukum
seperti UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 terbukti tidak bisa memberikan jaminan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum, faktanya HGU palsu / fiktif tersebut
bebas mengklaim tanah masyarakat dengan cara ilegal.
Kalau memang negara hukum itu ada, PTPN 13
sebagai Badan Usaha Korporasi Milik BUMN, pasti tidak mau beraksi dengan HGU
palsu / fiktif, selanjutnya aparatur negara tanpa pandang bulu pasti melakukan
penindakan terhadap pelaku kejahatan mafia tanah yang berlindung dengan surat
haram tersebut, ini jelas diskriminasi hukum, bahkan alas hak dari pada HGU
tersebut, berasal dari tanah pencadangan dan ketika di sisir, tanah pencadangan
tersebut adalah keterangna palsu dan penipuan publik, karena sesuai fakta tanah
pencadangan yang termasuk lahan HGU itu tidak ada ditemukan di Desa Lamida
Bawah ataupun Desa Lok Batung sebagaimana dijamin oleh hukum seperti Surat Ukur
No. 68/PT-HGU/1993, jadi kebun inti milik perkebunan tersebut bukan dilahan HGU
tetapi di tanah milik masyarakat.
Secara hukum, surat PTPN 13 tanggal 07 Juni
2011 yang ditujukan kepada Kepala Desa Lamida Bawah Hal : Tanggapan Surat Sdr.
Muhammad yang ditanda tangani Manager Aditya Nurcahya, dianggap bagian
perbuatan mengambil paksa tanah masyarakat dengan cara memberikan keterangan
palsu dan penipuan publik terhadap masyarakat Balangan khususnya Desa Lamida
Bawah dan Lok Batung, karena terbukti alas Hak HGU yang berasal dari tanah
pencadangan tersebut tidak ada ditemukan di Desa Lamida Bawah maupun Desa Lok
Batung, lihat surat ukur.
Masyarakat berbicara fakta, yang menyatakan
tidak ada tanah pencadangan maupun tanah HGU di desa Lok Batung atau Lamida
Bawah justru adanya jaminan hukum. Seperti surat ukur yang terdapat di
sertifikat palsu (type ex), kasus mafia ini sudah dibuat dalam Media Pemburu
Fakta seperti PTP 13 PIR Paringin rambah tanah ulayat dengan HGU fiktif
edisi ke 13 dan negara hukum biarkan mafia tanah, anehnya walaupun PTPn 13
sudah 2 (dua) kali dilangsir oleh Media Publik ternyata PTPN 13 dengan HGU
palsunya berbuat pidana seolah-olah tidak ada hukum.
Saya sangat sesalkan kinerja PTPN 13, sebagai
perusahaan perkebunan milik BUMN ini mestinya wajib tunduk dan mentaaati hukum
tanpa terkecuali (sesuai UUD 1945 Pasal 27 ayat 1). Berarti good well
pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa itu
hanya testimonial biasa, dan prinsip membangun bangsa serta mencerdaskan
kehidupan bangsa serta Indonesia negara yang menjamin kepastian hukum itu hanya
slogan saja. Faktanya didesa ini terjadi pelanggaran hukum (mafia tanah),
penguasa bungkam, rakyatnya merintih dan tidak peduli padahal pemerintah adalah
abdi masyarakat yang sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi masyarakatnya
dari korban penipuan HGU palsu / fiktif serta sertifikat palsu (type ex).
Apalagi tanah merupakan sumber daya alam dan
merupakan hak masyarakat untuk menikmati kekayaan alam yang ada disekitarnya
sebagaimana dijamin pasal 33 ayat 3, pada UUD 1945. Ternyata hak-hak masyarakat
tersebut diambil / direbut / ditarik kembali oleh penguasa (BPN) dan di
pergunakan untuk pengusaha perkebunan, kalau boleh saya katakan bahwa pemberian
HGU, HPH, HTI itu adalah sebuah bentuk penghilangan hak rakyat terhadap sumber
daya alam (tanah) serta adalah alat untuk menghilangkan hak ulayat yang ada di
dalam kehidupan masyarakat hukum adat, oleh sebab itu kembalikan kedaulatan
rakyat terhadap sumber daya alam (tanah milik masyarakat dan tanah ulayat).
Saya Muhammad Sarjana Hukum, sebagai orang
hukum yang bergabung di anggota LBH Himpunan Advokat / Pengacara Indonesia
(HAPI) dan Wakil Bendahara Jaringan Nasional Lembaga Kerukunan Masyarakat
Kalimantan (LEKEM Kalimantan) sekaligus anggota Advokasi Hukum Persatuan LSM
Kalimantan berani mempertanggungjawabkan segala ucapan dan opini yang saya
sampaikan ini dimata hukum yang berlaku di Indonesia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar