Selasa, 12 Juni 2012

HGU Palsu / Fiktif Kalahkan Negara Hukum

Oleh : Muhammad, SH (Wakil Bendahara Umum LEKEM KALIMANTA)
Masyarakat Kalimantan Selatan khususnya di desa Lamida Bawah dan Desa Lok Batung Kabupaten Balangan Kec. Paringin, benar-benar tertindas dan terjalimi serta dibuat tidak mengerti oleh penguasa sebagai penyelenggara negara di Republik ini. Pasalnya adalah Desa Lamida Bawah dan Lok Batung sesuai UU jelas merupakan bagian negara hukum, ternyata HGU palsu / fiktif yang terdapat di sertifikat palsu / tipe ex yang dikantongi PTPN (PT. Perkebunan Nusantara) 13 PIR Paringin yang mencaplok tanah warga dan tanah ulayat, sampai berita ini diturunkan lagi, pelaku mafia tanah (PTPN 13) aman dan seakan pelanggaran hukum tidak ada.

Masyarakat Balangan adalah merupakan komponen bangsa  bingung alias heran… yang dinamakan negara hukum di Republik ini, negara hukum yang mana…? Apakah Balangan ini tidak termasuk negara hukum, fakta bicara kalau Republik ini adalah negara hukum kenapa dan mengapa HGU palsu / fiktif yang dilahirkan dari sertifikat palsu (type ex) tetap bercongkol di tanah milik masyarakat, saat ini tidak ada aparatur negara yang bertindak terhadap kejahatan tersebut. Padahal kejahatan tersebut berada di wilayah negara hukum sebagaimana UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3.

Apakah ini pembiaran mafia tanah atau negara hukum itu tidak ada, atau bisa disebut HGU palsu / fiktif dapat mengalahkan negara, atau negara hukum tidak berdaya serta bertekuk lutut dengan HGU palsu / fiktif,  atau yang berkuasa di Republik ini bukan hukum tetapi adalah kejahatan (sertifikat palsu dan HGU fiktif / palsu). Ini sebuah realita yang diterima serta dialami oleh bangsa Indonesia khususnya masyarakat korban, mereka tahu bahwa yang berkuasa di negara ini adalah hukum, ternyata hukum seperti UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 terbukti tidak bisa memberikan jaminan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, faktanya HGU palsu / fiktif tersebut bebas mengklaim tanah masyarakat dengan cara ilegal.

Kalau memang negara hukum itu ada, PTPN 13 sebagai Badan Usaha Korporasi Milik BUMN, pasti tidak mau beraksi dengan HGU palsu / fiktif, selanjutnya aparatur negara tanpa pandang bulu pasti melakukan penindakan terhadap pelaku kejahatan mafia tanah yang berlindung dengan surat haram tersebut, ini jelas diskriminasi hukum, bahkan alas hak dari pada HGU tersebut, berasal dari tanah pencadangan dan ketika di sisir, tanah pencadangan tersebut adalah keterangna palsu dan penipuan publik, karena sesuai fakta tanah pencadangan yang termasuk lahan HGU itu tidak ada ditemukan di Desa Lamida Bawah ataupun Desa Lok Batung sebagaimana dijamin oleh hukum seperti Surat Ukur No. 68/PT-HGU/1993, jadi kebun inti milik perkebunan tersebut bukan dilahan HGU tetapi di tanah milik masyarakat.

Secara hukum, surat PTPN 13 tanggal 07 Juni 2011 yang ditujukan kepada Kepala Desa Lamida Bawah Hal : Tanggapan Surat Sdr. Muhammad yang ditanda tangani Manager Aditya Nurcahya, dianggap bagian perbuatan mengambil paksa tanah masyarakat dengan cara memberikan keterangan palsu dan penipuan publik terhadap masyarakat Balangan khususnya Desa Lamida Bawah dan Lok Batung, karena terbukti alas Hak HGU yang berasal dari tanah pencadangan tersebut tidak ada ditemukan di Desa Lamida Bawah maupun Desa Lok Batung, lihat surat ukur.

Masyarakat berbicara fakta, yang menyatakan tidak ada tanah pencadangan maupun tanah HGU di desa Lok Batung atau Lamida Bawah justru adanya jaminan hukum. Seperti surat ukur yang terdapat di sertifikat palsu (type ex), kasus mafia ini sudah dibuat dalam Media Pemburu Fakta seperti PTP 13 PIR Paringin rambah tanah ulayat dengan HGU fiktif  edisi ke 13 dan negara hukum biarkan mafia tanah, anehnya walaupun PTPn 13 sudah 2 (dua) kali dilangsir oleh Media Publik ternyata PTPN 13 dengan HGU palsunya berbuat pidana seolah-olah tidak ada hukum.

Saya sangat sesalkan kinerja PTPN 13, sebagai perusahaan perkebunan milik BUMN ini mestinya wajib tunduk dan mentaaati hukum tanpa terkecuali (sesuai UUD 1945 Pasal 27 ayat 1). Berarti good well pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa itu hanya testimonial biasa, dan prinsip membangun bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa serta Indonesia negara yang menjamin kepastian hukum itu hanya slogan saja. Faktanya didesa ini terjadi pelanggaran hukum (mafia tanah), penguasa bungkam, rakyatnya merintih dan tidak peduli padahal pemerintah adalah abdi masyarakat yang sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi masyarakatnya dari korban penipuan HGU palsu / fiktif serta sertifikat palsu (type ex).

Apalagi tanah merupakan sumber daya alam dan merupakan hak masyarakat untuk menikmati kekayaan alam yang ada disekitarnya sebagaimana dijamin pasal 33 ayat 3, pada UUD 1945. Ternyata hak-hak masyarakat tersebut diambil / direbut / ditarik kembali oleh penguasa (BPN) dan di pergunakan untuk pengusaha perkebunan, kalau boleh saya katakan bahwa pemberian HGU, HPH, HTI itu adalah sebuah bentuk penghilangan hak rakyat terhadap sumber daya alam (tanah) serta adalah alat untuk menghilangkan hak ulayat yang ada di dalam kehidupan masyarakat hukum adat, oleh sebab itu kembalikan kedaulatan rakyat terhadap sumber daya alam (tanah milik masyarakat dan tanah ulayat).

Saya Muhammad Sarjana Hukum, sebagai orang hukum yang bergabung di anggota LBH Himpunan Advokat / Pengacara Indonesia (HAPI) dan Wakil Bendahara Jaringan Nasional Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM Kalimantan) sekaligus anggota Advokasi Hukum Persatuan LSM Kalimantan berani mempertanggungjawabkan segala ucapan dan opini yang saya sampaikan ini dimata hukum yang berlaku di Indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar