Direktur Utama PLN Nur Pamudji
mengungkapkan, saat ini banyak pengusaha tambang yang tidak konsisten dalam
pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri. Tidak heran jika banyak
pembangkit yang kekurangan pasokan.
“Banyak masalah yang kita hadapi
saat ini di proyek power plant karena terjadinya perselingkuhan yang dilakukan
pemilik tambang, sehingga pasokan batubara ke pembangkit listrik berkurang,”
kata Nur di Jakarta, pagi tadi (15/7).
Menurut dia, tidak konsistennya para
pemilik tambang itu dikarenakan harga batubara untuk ekspor lebih mahal
dibanding harga jual ke domestik. Kondisi ini membuat para pemilik tambang
mengurangi pasokannya untuk pembangkit secara diam-diam.
Padahal, kata Nur, PLN dengan para
pemilik tambang sudah meneken kontrak pemenuhan pasokan. “Namun godaan harga
yang lebih tinggi ini membuat pemilik tambang sering ingkar janji,” curhatnya.
Nur dalam satu kesempatan juga
mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan aturan penjualan batubara domestik
(Domestic Market Obligation/DMO) jangka panjang untuk mengamankan pasokan
batubara domestik. “Jangan sampai tambang-tambang batubara habis diekspor,”
katanya.
Dia beranggapan, DMO jangka panjang
antara 5-10 tahun lebih penting dibanding tahunan yang dikeluarkan Kementerian
Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Bagi PLN, DMO jangka panjang itu untuk menjamin
komitmen perusahaan guna menaikkan porsi energi batubara yang saat ini baru 50
persen dan akan meningkat menjadi 65 persen pada 2020.
Berdasarkan Data Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik 2011-2020, PLN menargetkan penggunaan BBM pada 2020
hanya 0,71 persen atau hanya 0,67 juta kiloliter (KL), turun drastis dari
pemakaian BBM pada 2011 sebesar 21,12 persen atau 9,06 juta KL.
Sedangkan penggunaan batubara PLN
pada 2020 naik tajam menjadi 64 persen atau 125,76 juta kl. Padahal, penggunaan
batubara PLN pada 2011 hanya 41,8 juta ton atau 50 persen dari komposisi
produksi listrik per bahan bakar. Sedangkan kebutuhan batubara 2012 sebesar 43
juta ton. Kebutuhan untuk 2014 juga diprediksi naik menjadi 90 juta ton
menyusul beroperasinya proyek 10.000 mega watt (MW) tahap pertama.
Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldy
justru mengkritik sikap PLN. Menurutnya, perusahaan pelat merah itu lebih
banyak mengeluh dibanding kerjanya.
Dulu, kata Bobby, PLN pernah
mengeluh soal minimnya pasokan gas untuk pembangkitnya. Namun, saat permintaan
itu dipenuhi, PLN malah tidak mengambilnya. “Dulu minta banyak gas, pas sudah
ada nggak diambil,” sindir Bobby.
Hal yang sama juga untuk batubara.
Sekarang PLN mengeluh soal pasokan batubara yang minim karena lebih banyak
diekspor mengingat harganya lebih tinggi. Padahal, kalau disamakan juga
harganya masih jauh lebih rendah dari harga BBM dan gas.
“PLN yang daya serapnya rendah.
Dengan berbagai alasan teknis, PLN tetap lebih nyaman pakai BBM,” cetusnya.
Menurut politisi Partai Golkar itu,
yang diperlukan saat ini adalah koordinasi dari pemerintah dalam pemenuhan
kebutuhan batubara dalam negeri. Apalagi sudah ada kebijakan DMO, lalu kenapa
belum dieksekusi oleh pemerintah.
“Hingga kini belum jelas siapa yang
mengumpulkan batubara dari kebijakan DMO tersebut dan di mana tempat
mengumpulkannya, serta siapa yang mengangkutnya,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pemasok
Energi dan Batubara Nasional (Aspebindo) Ferry J. Juliantono mengatakan,
penyerapan batubara dalam negeri masih 30 persen dari total produksi. “Daya
serap PLN juga masih rendah. Kalau tidak diekspor kelebihannya mau buat apa,”
katanya.
Ferry juga menolak penerapan bea
keluar ekspor batubara karena akan berdampak pada kinerja perusahaan dan
penerimaan negara. Apalagi kondisi ekonomi global sedang lesu sehingga harga
juga turun. (TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar