Rabu, 11 Desember 2013

WASPADAI KECURANGAN PADA PEMILUKADA TABALONG !

Oleh: Syahminan (ABAU) 
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, setiap pemilik dan calon atau peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun, berdasarkan prinsip ini dihubungkan degan independensi pegawai negeri sipil dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, maka jika ada oknum pegawai negeri terlibat langsung dalam proses pemilihan tersebut dapat dikatakan melanggar asas ini karena penekanan asas ini adalah perlakuan yang sama terhadap seluruh peserta atau calon Kepala Daerah yang bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah.
 pemikirannya yang
B.     Modus – modus kecurangan dalam PILKADA
a.       Merekayasa Daftar Pemilih Tetap ( DPT )
1)      Pertama ialah mengacak dan memecah pemilih sehingga seseorang justru terdaftar di TPS yang jauh dari rumahnya. 
Harapannya, banyak orang yang malas mencoblos. Ini berarti ada banyak sisa surat suara yang tak terpakai dan bisa dicoblos sendiri sesuai dengan keinginan pemesan.
2)      Kedua, menambahkan  ghost voters  (pemilih siluman).
Ada bermacam cara yang sering dipakai. Misalnya tidak menghapus daftar orang yang sudah meninggal, pindah, atau yang masih di bawah umur dalam DPT. Ada juga cara yang paling vulgar, yakni menambahkan nama yang benar-benar fiktif. Jumlahnya bisa dibuat sesuka hati, tapi biasanya disesuaikan dulu dengan densitas (kepadatan) dan demografi penduduk. “Kasarannya, bila ada daerah yang betul-betul sepi, tentu saja tidak akan ditambahkan ghost voters yang banyak. Pasti kentara,” paparnya.
3)      Ketiga ialah menghilangkan nama dari DPT dengan memanfaatkan kacau-balaunya sistem administrasi kependudukan.
Tujuan penghilangan nama tentu saja merusak dan menggembosi basis lawan. Misalnya, yang berbuat curang adalah partai X dan ingin mencurangi partai Y. Maka, DPT di basis daerah Y bakal dikepras dan menimbulkan efek frustrasi yang dampaknya cukup kuat.
Selain mempermainkan DPT, modus kecurangan lainnya ialah merekayasa undangan coblosan. Banyak undangan coblosan yang tidak disampaikan kepada warga, tapi per TPS. Jumlahnya tidak besar. Antara lima sampai sepuluh undangan. Ini yang akan dicoblos sendiri. Jumlahnya memang terkesan kecil. Tapi, dari modus undangan saja, bisa terkumpul sekitar 50 ribu tambahan suara, dengan asumsi jumlah TPS mencapai 5 ribu titik.
b.      Tindak kecurangan saat di TPS
Titik penting dalam pemilu adalah momen saat di TPS. Di sana paling rentan terjadi main-main. Namun, bila permasalahan di TPS sudah beres, akan lebih mudah melakukan perbaikan data jika ditemukan kecurangan.
1)      Modus pertama kecurangan di TPS adalah pencoblosan sendiri yang dilakukan oknum KPPS.
Kecurangan di TPS selalu melibatkan KPPS dan tak mungkin dilakukan satu oknum saja. Minimal tiga petugas TPS yang terlibat. Tak mungkin main sendirian karena terlalu berisiko. Bila ada indikasi satu anggota KPPS curang, pasti temannya sesama KPPS di sana juga terlibat. Dengan memanfaatkan undangan yang tak disebar atau sudah mengincar sejumlah surat suara yang telah “dipesan”, KPPS pun akan mencoblosnya sendiri, pencoblosan itu dilakukan sendiri oleh KPPS saat jeda istirahat antara selesainya proses coblosan dan akan masuknya penghitungan suara. Jadi, saksi harus mengawasi semua anggota KPPS saat jeda atau makan. Karena itu sangat penting.
2)      Modus kedua biasanya terjadi saat masa penghitungan suara atau ketika anggota KPPS menuliskan perolehan suara di kertas plano besar (formulir/form C2). 
Juru tulis biasanya memanfaatkan kelengahan saksi saat pembacaan hasil. Sebab, biasanya saksi terpaku pada calon yang dia bela saja. Jadinya, mudah saja menambahkan suara ke lawan.
3)      Yang ketiga adalah penyusunan berkas acara (mengisi form C1).
Form C1 inilah yang memegang peran krusial. Sebab, kelak dalam rekapitulasi di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK) hingga KPU, berkas form C1 itulah yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung, bukan surat suara. Di form tersebut terdapat data mengenai jumlah surat suara, surat suara sah, surat suara tidak sah, hingga sisa surat suara. Sering kali sisa surat suara bisa dikurangi sehingga ada tambahan puluhan atau ratusan surat suara yang bisa di-entry untuk memenangkan salah satu calon.
c.       Rekapitulasi Suara dari TPS hingga KPU
Setelah “bermain-main” di DPT dan TPS, inilah saatnya “mendulang suara” pada saat rekapitulasi. Caranya ialah menyiasati habis-habisan mekanisme rekapitulasi yang ada.
Begini prosedurnya. Dari TPS, rekap suara langsung dilakukan di PPK (tingkat kecamatan). Namun, entry data dilakukan PPS (petugas setingkat kelurahan). Entry data itu dilakukan dengan melihat C1 dan membuka kertas plano penghitungan. Dalam pelaksanaannya, entry data tersebut dilakukan secara manual di komputer, sebelum hasil rekapitulasi per PPS dipaparkan untuk penyusunan C1 di tingkat kecamatan. Dengan mekanisme seperti itu, banyak penyiasatan yang bisa terjadi. 
1)      Modus pertama, KPPS bekerja sama dengan PPS. 
Setelah penghitungan suara di tingkat TPS kelar, anggota KPPS langsung menghubungi anggota PPS dan menyebutkan telah melakukan penambahan sisa surat suara misalnya. Maka, anggota PPS yang sudah ikut bermain langsung menyiapkan plano pengganti yang sesuai dengan form C1 akal-akalan dari TPS tersebut. Jadi, plano asli dari TPS dibuang dan sudah disiapkan kertas plano baru untuk rekap di tingkat PPK.


2)      Kedua adalah saat entry data.
Petugas entry data kadang asal memasukkan angka. Pernah terjadi, beralasan mengantuk, seorang petugas entry data memasukkan angka yang seharusnya 475, jadi 4747. Ketika dipergoki, alasan ngantuk dan angka 47-nya kepencet dua kali.
3)      Ketiga ialah langsung memasukkan data ngawur.
Misalnya, di tingkat PPK tiba-tiba jumlah surat suara yang tidak sah menurun. Misalnya 5 ribu jadi 4 ribu. Tim sukses pun pasti kelabakan mengeceknya karena harus membuka satu-satu lagi data per TPS. Belum kelar mengecek, tiba-tiba proses sudah selesai dengan alasan waktu. Pihak KPU atau PPK tinggal mempersilakan tim pemenangan yang tak puas untuk melapor ke panwas.

C.     Penyelewengan- penyelewengan dalam Pilkada
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
a.       Money Politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
b.      Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
c.       Pendahuluan Start Kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
d.      Kampanye Negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.

D.    Mencegah terjadinya Kecurangan dalam Pilkada
Beberapa hal perlu diperhatikan oleh penyelenggara, peserta dan masyarakat dalam upaya meminimalisir kecurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan Pemilu.
1)      Daftar Pemilih Tetap (DPT); Potensi kecurangan dapat diminimalisir dengan ikut berperan aktif dalam memeriksa dan melaporkan bila terdapat pemilih yang belum terdaftar, pemilih ganda atau terdaftar lebih dari satu kali, pemilih dari unsur TNI/Polri, pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Untuk dapat melakukan hal tersebut, harus pula dipahami tata cara pemutakhiran data pemilih pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan KPU Nomor 12 Tahun 2010.
2)      Money Politik; Meskipun relatif sulit ditemukan bukti-bukti kecurangan model ini, kesaksian penerima uang sangat berarti dalam mengungkapkan praktek money politik atau jual-beli suara ini. Perlu dilakukan upaya serius dan upaya membangun kesadaran politik masyarakat untuk bersedia mengungkap praktek yang menjadi cikal-bakal perbuatan korup para pejabat negara ini.
3)      Penggunaan surat suara Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu; Kecurangan model ini mudah untuk diantisipasi manakala pada saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara dilangsungkan di TPS, para saksi, pemantau dan juga masyarakat bisa langsung meminta kepada petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberi tanda silang atau men-centang surat suara yang tidak terpakai dan yang rusak dengan spidol atau pena dan memasukkannya di Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suara seperti yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2010.
4)      Terlibatnya secara masif aparat pemerintahan dalam pemenangan calon tertentu, menggiring suara pemilih dan terkadang juga mendikte pemilih untuk memilih calon tertentu. Kecurangan model ini bisa diantisipasi dengan memberi teguran langsung kepada pejabat, PNS, aparat negara lainnya atau melaporkannya kepada Pengawas Pemilu (Panwaslu). Rekam aksi para aparat pemerintah yang disinyalir melakukan kampanye bagi pemenangan calon tertentu, kumpulkan bukti-bukti dan kesaksian yang relevan untuk itu dan melaporkanya kepada Panwas Pemilu untuk diambil tindakan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan kampanye Pemilu diatur dalam Keputusan KPU Nomor 69 tahun 2009.
5)      Berubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan. Potensi kecurangan Pemilu dengan merubah perolehan suara ini sesungguhnya tidak mungkin dilakukan apabila para saksi, pemantau dan pengawas pemilu bekerja sesuai SOP-nya. Bila pun masih terjadi, berarti telah terdapat kesepakatan dari unsur-unsur yang terlibat untuk melakukan pelanggaran dimaksud. Untuk mengantisipasi kecurangan model ini, menurut hemat penulis cuma ada satu cara, amati dengan seksama perolehan suara yang terdapat dalam surat suara dan cocokkan dengan hasil rekapitulasinya sebelum Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suara di TPS ditandatangani. Untuk para saksi dan pengawas Pemilu, minta salinan Berita Acara berikut lampiranya untuk kemudian dibawa dan dicocokkan pada saat rekapitulasi dilakukan di jajaran penyelenggara selanjutnya.
Kecurangan Pemilu terjadi bukan saja karena terbukanya peluang untuk itu, tetapi juga karena kurangnya kesadaran serta pemahaman akan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
2.      Modus – modus kecurangan dalam Pilkada: Merekayasa Daftar Pemilih Tetap ( DPT ), Tindak kecurangan saat di TPS, dan Rekapitulasi Suara dari TPS hingga KPU.
3.      Penyelewengan- penyelewengan dalam Pilkada: Money Politik, Intimidasi, Pendahuluan start kampanye, dan Kampanye negatif.
4.      Mencegah terjadinya Kecurangan dalam Pilkada: Daftar Pemilih Tetap (DPT)Money Politik; Penggunaan surat suara Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu; yang
Terlibatnya secara masif aparat pemerintahan dalam pemenangan calon tertentu, menggiring suara pemilih dan terkadang juga mendikte pemilih untuk memilih calon tertentuBerubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan.
B.     Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala- kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pilkada antara lain :
Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain. Memilih dengan hati nurani.
C.     Saran
Dalam memilih calon Kepala Daerah kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pilkada dapat terlaksana dengan baik dan tidak terjadi lagi kecurangan- kecurangan dalam Pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar