Senin, 07 Februari 2011

DAMPAK DARI PELABUHAN BATUBARA DI TANAH BUMBU

MEDIA PUBLIK – BATULICIN. Kerusakan lingkungan hidup akibat dari tambang batubara di Tanah Bumbu semakin parah dan memprihatinkan. Dari dampak pola pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tak bertanggung jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan dan tentunya juga perairan laut sekitarnya sudah mulai tercemar bahkan terumbu karang di sekitar pelabuhannya sudah rusak akibat menambatan kapal-kapal pengangkut emas hitam tersebut, ungkap Aspihani Ideris (Pemerhati Lingkungan Hidup) Senin (26/12) ketika dihuungi via telpon oleh wartawan Media Publik.

“Hampir setiap tahun berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup mewarnai ditempat tersebut, seperti bencana banjir, limbah sawit, limbah tambang dan lain-lain, yang semua itu di akibatkan oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab dengan lingkungan”. Kata Aspihani.

Lebih rinci Aspihani Ideris mengungkapkan, “Adanya kapal-kapal yang melakukan muatan batubara dan pencucian di daerah tersebut menjadi salah satu dampak musnahnya terumbu karang maupun biota laut lainnya, kondisi perairan di daerah tersebut yang semakin hari semakin memburuk akibat aktivitas lalulintas pertambangan, yang mengakibatkan pencemaran di dasar laut.”

”Debu-debu batubara bekas pencucian, akan larut dan menutup terumbu karang hingga menyebabkan tanaman laut tersebut tidak bisa bernafas. Matinya terumbu kuga membuat ikan-ikan atau eko system yang hidup di sekitarnya menjadi terganggu”.

“Menurut UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang kawasan pesisir dan UU 1945 Pasal 33 Ayat 3 Sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. jelas Aspihani.

“Permasalahan penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup saat ini sangat lemah. Hukum Lingkungan Hidup nyaris tumpul dan tak berdaya menghadapi berbagai perkara kejahatan lingkungan, artinya, perbuatan pelaku hanya dapat dipidana bila akibatnya sudah muncul, yaitu terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan”.

Perumusan materil ini dinilai sangat membahayakan lingkungan hidup dan dianggap bahwa instrumen hukum pidana terlalu terlambat diterapkan bila baru bergerak setelah timbul akibat yang berupa perusakan atau pencemaran lingkungan”. katanya.

Lebih rinci Aspihani Ideris yang juga Direktur Eksekutif  LEKEM Kalimantan, mengungkapkan bahwa, “Dalam RUU dirumuskan secara formil, yaitu merumuskan perbuatannya saja tanpa merumuskan akibatnya. Artinya seseorang sudah dapat dipidana sepanjang perbuatannya sudah melanggar larangan yang dirumuskan tanpa harus ada akibat dari perbuatannya”.

Saya lihat saat ini penegak hukum yang berkomponten dalam penanganan dampak lingkungan ini hanya menunggu laporannya saja tanpa ada keinginan untuk meninjau dan meneliti lebih rinci dari dampak yang ditimbulkan oleh para pengusaha-pengusaha itu dan bahkan seakan-akan tidak ada keinginan untuk menindaknya sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Kalau pihak penegak hukum mau mengungkap kebenaran betapa hancurnya terumbu karang di hampir setiap pelabuhan pertambangan batubara ini, anda bisa langsung menyelam kedaerah sekitar pelabuhan itu sendiri, pasti anda akan terkejut dan menyaksikan kehancuran alam dibawah laut kita, tegas Aspihani Ideris seraya menutup pembicaraan kepada kro Media Publik. (Tim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar