Sabtu, 31 Januari 2015

PENAMBANG BATUBARA ILEGAL GUNAKAN SKT SEBAGAI DASAR BEROPERASI















MEDIA PUBLIK - TANAH BUMBU KALSEL. Bekerja merupakan sebuah kewajiban manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna melangsungkan hidup didunia ini, namun perlu diperhatikan kaidah-kaidah dalam melakoni sebuah pekerjaan tersebut, seperti halnya para penambang batubara ilegal yang terjadi di daerah Desa Hati`if dan Desa Mangkalapi Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan “LEKEM KALIMANTAN” bersama LSM-LSM yang ada di Bumi Antasari telah melakukan pengamatan dalam melakukan  investigasi kedaerah pertambangan batubara selama tiga hari yang diawali pada hari Kamis sampai hari Sabtu, (29-31/1/2015) melihat bahwa dampak akibat para penambang batubara ilegal tersebut alam Borneo menjadi hancur carut marut.

Aspihani Ideris, S.AP, SH, MH (Derektur Eksekutif LEKEM Kalimantan “Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan”) mengatakan kepada beberapa wartawan seusai dari lapangan investigasi, lembaganya bersama beberapa LSM yang ada di Kalimantan Selatan tergugah melakukan investigasi kedaerah pertambangan batubara, karena mendengar dan menerima laporan dari masyarakat bahwa para penambang ilegal saat ini dan dari dulu sangat marak di daerah Kabupaten Tanah Bumbu dan bahkan para penambang itu sudah menjalin koordinasi yang baik terhadap para aparat serta para penambang itu tidak memperhatikan reklamasi eks pertambangan itu sendiri.

Menurutnya bahwa para LSM yang melakukan investigasi selama tiga hari pada hari Kamis-Sabtu, (29-31/1) ini tergabung di bawah coordinator LSM Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan disingkat LEKEM KALIMANTAN diantaranya LSM Jaringan Masyarakat Kalimantan “JAMAK”, Bina Lingkungan Hidup Indonesia “BLHI Kalimantan”, Kajian Alam Lingkungan Hidup “KALIH”, Aliansi Jaringan Anak Kalimantan “AJAK”, Pemerhati Lingkungan Hidup “PELIH”, Pemerhati Lingkungan dan Tambang Kalimantan “PELITA KALIMANTAN”, Pengawas Lingkungan Hidup Indonesia “PLHI”, Pemerhati Tambang dan Korupsi “PETAK”, Lembaga Pemantau Pembangunan Daerah “LPPD”, Pemberantas Untuk Korupsi dan Lingkungan “PUKOL” dan LSM Masyarakat Peduli Lingkungan “LSM Mapel”.

Hasil investigasi kelapangan selama tiga hari ini ditemukan bahwa para penambang ilegal itu menjadikan sebuah dasar dalam melakukan aktivitasnya dengan menggunakan Surat Keterangan Tanah “SKT” yang dibelinya dari masyarakat sekitar, dan diketahuipula ternyata tanah yang ditambang oleh para penambang ilegal itu merupakan masuk dalam kawasan hutan produksi yang tidak boleh ditambang oleh siapapun juga, selain itupula hal demikian terbukti dilapangan kami temukan adanya plang peringatan tentang larangan melakukan kegiatan ataupun aktivitas penambangan dan pengangkutan hasil tambang didalam Kawasan Hutan. Hal tersebutpun dipertegas dengan adanya sanksi pidana 15 tahun penjara dan denda sepuluh milyar rupiah, terkecuali mereka harus ada Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan “IPPKH” yang dikeluarkan langsung oleh Kementerian Kehutanan, ujarAspihani.

Dugaan kamipun SKT-SKT yang dikeluarkan oleh para Pambakal itu tumpang tindih dengan tanah Kawasan Hutan dan bahkan dugaan kami ada SKT yang melebihi dari ketentuan Peraturan Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, yang terdapat dalam Pasal 11 yang intinya berbunyi kepada para Camat ataupun Kepala Kecamatan telah diberikan wewenang untuk memberikan izin membuka tanah, yang luasannya tidak lebih dari 2 Hektar, kata Alumnus Magister HukumUnisma Malang ini.

Intinya kata pengacara muda ini bahwa para penambang ilegal tersebut melakukan aktivitasnya diduga kuat menggunakan bamper masyarakat dengan di lindungi dan dibentengi oleh aparat sebagai bentuk kerjasama dalam melakukan penambangan batubara serta bahkan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah peraturan perundang-undang yang berlaku di NKRI, karena didalam adanya bentuk hubungan yang terjalin dengan istilah nama koordinasi.

Senada dengan pernyataan Aspihani Ideris bahwa Haji Saleh Saberan petinggi LSM Aliansi Jaringan Anak Kalimantan “AJAK” menuturkan juga pada beberapa wartawan bahwa para penambang ilegal ini sangat jelas sudah melakukan aktivitas pertambangan tanpa memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan hidup, terbukti dilapangan banyak sekali kami temukan lobang-lobang besar menganga tanpa ada reklamasi sedikitpun dari para pengusaha emas hitam ini, ujarnya.

Hasil investigasi kamipun menemukan adanya Stock Pile tempat penumpukan batubara yang kami duga kuat hasil dari tambang ilegal di wilayah Stock Pile milik PT. Hati`if Bara Makmur “HBM”, dan disana kami menemukan ratusan ton bahkan mungkin ribuan ton emas hitam masih menumpuk di Stock Pile tersebut, ujar bang Saleh panggilan akrabnya.

Lebih lanjut bang Saleh memaparkan kepada media ini bahwa menurut dia telah mendapatkan informasi belakangan ini konflik lahan semakin marak dan berkembang, dimana masyarakat sekitar kawasan HTI menuntut kembali lahan-lahan yang mereka anggap sebagai lahan warga, selain itu pula mereka juga menuntut ganti rugi lahan dengan adanya tumbuh tanaman diatas tanah tersebut serta diperparah lagi dengan maraknya jual beli Surat Keterangan Tanah yang disingkat dengan kata SKT dalam sebuah Kawasan Hutan yang disinyalir dilakukan oleh pemodal yang dikatakan oleh mereka bos besar yang konon nantinya tanah tersebut dengan dasar SKT itu akan dilakukan aktivitas pertambangan, karena dibawahnya sangat padat dengan batubara kalori menggiurkan.

Direktur LSM Bina Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan “BLHI Kalimantan” Badrul Ain Sanusi Al Afif, MS, MH menyatakan bahwa pemantauan kami dilapangan atas aktivitas pertambangan yang dijalankan oleh PT. Borneo Indobara (BIB) di Kawasan Hutan ternyata perusahaan itu melakukan aktivitasnya sudah berdasarkan aturan yang berlaku di NKRI, yaitu adanya surat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan “IPPKH” yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan serta mengantongi izin PKP2B yang melakukan penambangan batubara di areal Kawasan Hutan. Artinya siapapun boleh menambang dan dikatakan legal selama mereka mengikuti prosudur hukum yang berlaku, tegasnya.

LSM Bina Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan “BLHI Kalimantan” juga telah memantau dilapangan bahwa aktivitas PT. Hutan Rindang Banua “PT. HRB” dan PT. Kirana Chatulistiwa “PT. KC” sudah sangat maksimal yaitu terus melakukan upaya menjaga Kawasan Hutan serta melakukan upaya penanaman tanaman dilahan yang tandus yang awalnya dikuasai oleh masyarakat ataupun pihak lain yang berkepentingan dan penguasaan itupun sangat jelas bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, ujar Badrul.

Selain itupula saya rasa, kata salah satu Direktur Persatuan LSM Kalimantan ini, bahwa pihak perusahaan sudah melakukan kewajibannya terhadap lingkungan dan masyarakat, yaitu telah menggelar program Kemitraan atau yang disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) seperti dalam bidang keagamaan, ekonomi, social, budaya, pendidikan dan lingkungan serta pengembangan masyarakat (Cummunity Develoment).

Lebih lanjut Badrul Ain Sanusi Al Afif menjelaskan bahwa pihak perusahaan itupula juga dalam pelaksanaan program bidang Kemitraan dengan masyarakat sekitar, yaitu melakukan beberapa program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat diantaranya pengadaan pupuk, peternakan sapi dan ayam, kemitraan perkebunan karet, kemitraan jasa angkutan, budidaya tanaman jagung, dan memperhatikan kelestarian lingkungan.

Selain itu juga mereka menomor satukan penyerapan tenaga kerja local dalam operasi aktivitas perusahaan. Intinya pihak perusaan menurut pengetahuan kacamata hukum yang saya ketahui sebagai seorang aktivis LSM bahwa mereka sudah bekerja dengan benar dan dengan kaidah peraturan hukum yang ada sesuai dengan izin yang dimilikinya dan keberadaan dua perusahaan pemegang HPHTI seperti PT. Hutan Rindang Banua “PT. HRB” dan PT. Kirana Chatulistiwa “PT. KC” ini kami sebagai LSM sangat mendukungnya, karena sifat kedua perusahaan itu mengelola, memanfaatkan, dan menjaga kelestarian lingkungan hutan. tegas Badrul.

Anang Tony Ketua Umum LSM Pemberantas Untuk Korupsi dan Lingkungan “PUKOL” yang juga ikut dalam investigasi tersebut menegaskan dalam wawancara kebeberapa mas media bahwa dirinya mengaku sangat prihatin dengan kehancuran alam akibat sebuah aktivitas pertambangan yang jelas-jelas bisa dikatakan ilegal itu.

Menurutnya bahwa saat ini pihak penegak hukum dan instansi terkait kurang maksimal menindak para penambang ilegal ini, padahal perbuatan mereka itu jelas-jelas sudah melanggar hukum dan wajib diberikan sanksi sesuai dengan per Undang-Undangan yang berlaku di Indonesia, bukan sampai sebaliknya dan ini perlu dikoreksi sendiri oleh para oknum-oknum penegak hukum yang ikut dalam sebuah permainan, ujar Humas Front Pembela Islam Kalimantan Selatan ini.

Ditambahkannya lagi bahwa kita sebagai seorang aktivis LSM PUKOL dan juga HUMAS FPI Kalsel meminta kepada pihak penegak hukum harus bisa melaksanakan tugas dengan benar sebagaimana mestinya, jika ternyata para penegak hukum jalan ditempat berarti hal ini bisa dipastikan ada keterlibatan mereka dalam bersama-sama melakukan tindak kejahatan yang seharusnya memberikan contoh yang baik, kata Anang Tony.

Guna maksimalnya investigasi kita ini dan supaya public secara luas mengetahuinya maka kami mengajak dan melibatkan beberapa wartawan dari beberapa media, diantaranya adalah wartawan Banjarmasin Pos, wartawan Harian KOMPAS, wartawan Mata Banua, wartawan Barito Pos, wartawan Kalimantan Pos, dan wartawan Media Publik. Hal ini kami lakukan supaya kita berbicara disini atas dasar fakta yang kami dapatkan selama tiga hari dalam sebuah kegiatan investigasi kelapangan, jika diantara media ini tidak mempublikasikannya patut diduga merekapun [wartawan] ada apa dan mengapa, serta kami akan mempertanyakan keredaksinya, karena semua ini kita lakukan demi masyarakat, dan kelestarian lingkungan alam kita serta demi penegakan hukum yang selama ini terkesan tutup mata, kata Suanang Anton panggilan akrabnya.

Aduh alam kita hancur seperti itu?, bagaimana kelak anak cucu kita kalau dibiarkan akan mendapatkan dampak negatifnya dan kita pun hanya bisa mendapatkan warisan berupa kehancuran alam akibat dari para para penambang ilegal tersebut, suguh senior aktivis LSM Kalimantan Selatan ini.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan Rahmadi Kurdi menegaskan, bahwa PT. Hutan Rindang Banua “PT. HRB” dan PT. Kirana Chatulistiwa “PT. KC” yang beroperasi di beberapa daerah di wilayah Kalimantan Selatan benar memiliki izin dari Pemerintah Pusat dan izin tersebut masih berlaku sampai sekarang.  (Hilmi / TIM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar