Minggu, 26 Mei 2013

SISTEM PEMILU DALAM MEREBUT SUARA DI ERA REFORMASI




Gambar : ASPIHANI IDERIS

Tumbangnya masa orde baru 1998 dan di era reformasi ini telah melahirkan secercah harapan untuk menata Indonesia yang lebih demokratis dalam memilih seorang wakil rakyat. Boleh dibilang trauma masyarakat akan sistem otoritarian membledak sehingga mengawali evaluasi sistem politik yang lebih demokratis. Kendati demikian, fakta dan realita yang kerap terjadi bertolak belakang dengan harapan dan tuntutan reformasi.

Mengapa demikian? fenomena sistem politik Indonesia semakin hari semakin menunjukan kegalauan. Sampai saat ini, persiapan arena demokrasi 2014 pun masih menuai kritik terhadap sistem pemilihan anggota legislatif yang kerap bernuansa dengan besaran nilai rupiah dan tidak mementingkan kepentingan masyarakat pemilihnya, untuk apa dan siapa yang pantas untuk bisa menduduki kursi legeslatif sebagai penyambung aspirasi dari pemilih itu sendiri.

Dalam sejarah sistem demokrasi, di Indonesia telah terjadi ragam rekonstruksi sistem. Sejak pemilu 1955-1999 pesta demokrasi digelar dengan sistem proporsional tertutup dimana para calon legislatif ditentukan oleh partai. Dan para pemilihpun tidak secara terbuka mengetahui siapa-siapa yang bakal menjadi wakil mereka, karena dalam surat suara tidak ada nama-nama caleg, yang ada hanya gambar partai saja. Sistem ini dianggap tidak responsif akan perubahan-perubahan yang terjadi pada caleg-celegnya.

Kemudian pada pemilu 2004, sistem tersebut mengalami rekonstruksi yakni dengan menerapkan sistem semi proporsional terbuka. Pada sistem ini, suara tidak sah membeludak dari 3,7 juta sampai 10,96 juta. Hal tersebut terjadi lantaran sistem semi terbuka tidak terstruktur dengan definisi suara sah dan tidak sah. Saat itu, nama caleg dan partai terpampang dalam surat suara. Namun,  suara sah jika pemilih mencoblos partai saja atau mencoblos partai dan caleg. Tidak sah jika pemilih hanya memilih caleg saja. Kejadian itu pun berujung pada perubahan sistem, yakni sistem proposional terbuka.

Pemilu tahun 2009 tersistem dengan proposional terbuka yaitu selain memilih tanda gambar, pemilih juga berhak memilih langsung caleg. Sistem ini berdampak pada pertentangan antar sesama caleg maupun partai. Sistem yang “katanya” menerapkan sistem proposional terbuka masih menunjukan sikap otoritarian partai dimana daftar calon tidak berdasarkan suara terbanyak tapi berdasarkan urutan atau rangking. Jelas bahwa ketimpangan ini lah yang melangkahkan pada rekonstruksi sistem pemilihan umum tahun 2014.

Sistem pemilu legislatif tahun 2014 sepertinya tidak jauh-jauh dengan masa sebelumnya. Bedanya, mau Caleg diurutan berapa pun jika mempunyai suara terbanyak maka dialah yang akan menang. Pada sistem ini, aktor utamanya adalah caleg, bukan partai. Namun suara caleg bisa dipermainkan oleh petugas pemilu itu sendiri. Dengan uang segalanya bisa dicapai. Ada kelebihan dengan sistem ini. Jadi semua memiliki peluang yang sama sehingga alat yang cepat untuk memenangkan kompetisi ini adalah uang dan uang.

Saya pernah menegaskan di saat saya menjadi salah satu nara sumber dalam seminar yang diadakan LEKEM Kalimantan dengan bertemakan “Memahami Sistem Pemilu Dalam Menghadapi Era Globalisasi, bahwa katanya “Jika seseorang yang berkeinginan menjadi Wakil Rakyat (Anggota Legeslatif atau DPD RI) tentunya dizaman reformasi ini harus memiliki 2 (dua) krateria, yaitu popularitas dan uang. Jadi kedua kreteria itu saling berkaitan dan ibarat sebatang pohon hal demikian antara akar, batang dan daun, jika salah satunya mati maka pohon tersebut akan mati juga”.

Fakta yang terjadi bahwa sistem ini menyurutkan kualitas wakil rakyat nantinya. Mengapa? Karena untuk mendongkrak suara pemilih dibutuhkanbudget kampanye yang tidak sedikit. Hal tersebut menyegarkan si pemilik modal untuk bisa masuk dalam rentetatan calon legislatif. Siapa yang melakukan kampanye jelas harus bermodal.

Selain itu, keeksistan artis adalah peluru tajam bagi suara partai. Artis yang dikenal masyarakat menjadi daya tarik bagi pemilih karena mereka-mereka lebih jauh dikenal daripada segelintir politisi yang tak terkenal. Parahnya, artis yang diusung partai sungguh berjumlah fantastis.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kredibilitas si pemilik modal dan si artis untuk mewakilkan rakyat Indonesia?

Melihat realita yang terjadi, nampaknya Indonesia mulai mengalami krisis pemimpin. Sistem tersebut secara terang-terangan menggeser orang-orang yang memiliki kredibiltas tinggi namun tersingkir karena tidak memiliki modal dan kepopuleran di kalangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa partai tidak serius dalam menerapkan sistem demokrasi yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, dana kampanye yang jelas tidak sedikit, butuh milyaran rupiah. Bahkan kabar yang terus berkembang sampai 6 Milyar Rupiah. Lalu buat apa orang-orang secara susah payah mengeluarkan dana yang tidak sebanding dengan gaji mereka jika menjabat menjadi anggota DPR? Secara logis, jika mereka sudah masuk ke dalam bangku DPR, yang terjadi bukan memikirkan rakyat akan tetapi berfikir keras untuk mengembalikan modal kampanye. Ujungnya jelas, yakni korupsi akan menjadi praktek masal.

Sama hal nya dengan jual-beli undang-undang, si pemilik modal berpotensi melindungi perusahaan-perusahaanya dengan mengutak-atik perundang-undangan. Jika perusahaan mereka melanggar undang-undang, toh mereka punya hak untuk mengubah undang-undang tersebut. Lebih dari itu, undang-undang menjadi sarana bagi kemslahatan golongan-golongan tertentu.

Bagaimana dengan artis? Ditakutkan mereka hanyalah boneka dari para elit politik untuk menaikan suara partai. Mudahnya begini, jika suatu elemen partai akan membuat undang-undang yang secara emplisit menguntungkan pihak-pihak tertentu, artis tidak dapat berkutik selain mengiyakan kemauan tersebut. Karena jelas hal itu adalah simbiosis mutualisme antara partai yang mensaranakan mereka masuk ke DPR dan artis yang juga memiliki suara untuk mensahkan undang-undang.

Memang tidak ada satu pun yang dapat diklaim paling baik dibanding sistem-sistem lainya. Akan tetapi, diantara sistem-sistem tersebut seyogyanya pemerintah mengambil langkah cerdas dengan menerapkan sistem yang paling sesuai dengan kondisi negara Indonesia.

Menurut saya, sistem proposional terbuka yang diterapkan pada pemilu 2014 bukan tidak memiliki relevansi, akan tetapi lebih kepada rendahnya pengawasan dan perundang-undangan dalam melaksanakan sistem ini.

Keluesan caleg yang terbuka tidak dibarengi dengan pengawasan. Jika sistem ini diterapkan seharusnya KPU (Komisi Pemilihan Umum) berperan untuk meminta laporan dana kampanye. Karena ditakutkan dana kampanye yang banyak akan  mengindikasikan tindakan korupsi. Namun, lagi-lagi ketakutan akan terus terbayang-bayang antara permainan caleg dan KPU. Runyamlah negeri ini jika budaya konsolidasi korupsi sudah menjalar dimana-mana.

Selain itu, undang-undang seharusnya mengatur tentang prasyarat agar melaporkan dana kampanye nya. Karena, jika ingin menerapkan sistem proposional terbuka maka kita bicara tentang bagaimana agar uang tidak menjadi alat untuk berkompetisi sehingga korupsi politik dapat ditekan sebagaimna mestinya.

Jadi, jika saya menarik kesimpulan bahwa: Siapapun anda yang ingin masuk ke kursi DPR dan DPRD, maka pandanglah diri anda sendiri, sudahkah anda memiliki dana yang cukup ataukah anda punya popularitas? Karena saat ini 70% mata hati masyarakat sudah tertutup, ada duit ada suara, dan mereka sudah dibutakan, yang ada hanya materi serta tidak melihat lagi apakah Caleg tersebut berkualitas atau tidak, mampukah Caleg tersebut nantinya jika terpilih memperjuangan aspirasi masyarakat atau kenalkah kita atau tidak, hal demikian itu sudah tidak diperhatikan lagi oleh mereka.

Secara kritis boleh jadi wakil-wakilnya rakyat berafilasi menjadi wakil-wakilnya pemilik modal dan pengartisan Caleg melegalkan citra dan suara. Oleh karena itu masyarakatpun akan siap-siap tidak dipedulikan oleh para legeslator yang terpilih nantinya, karena suara mereka sudah dibeli. Nah kita lihatlah nanti di pemilu 2014, apakah predeksi ini salah apa benar.

Jadi untuk pemilu mendatang ini di tahun 2014 kita harus benar cermat dan teliti dalam menentukan pilihan, pengalaman terdahulu di pemilu 2009 dapat dijadikan sebuah pelajaran berharga bagi kita. Dikarenakan caleg yang kita pilih disaat ia duduk di parlemen tidak bisa berjuang dan memperjuangkan aspirasi dari rakyat yang memilih nya. Ini banyak terjadi di parlemen, mereka hanya bisa 4D, yakni datang, duduk, diam dan duit. Apakah caleg seperti ini pantas dipilih kembali? Mudah-mudahan para pemilih sadar dengan fenomena seperti ini, sehingga harus kehati-hatian dan teliti dalam menentukan pilihan. Jangan sampai anda-anda mendorong mobil mogok.

Semoga tulisan saya ini bermaaf untuk kita semua. Aamiin Yaa Rabbal'alamin... *****

Oleh: ASPIHANI bin IDERIS bin SYEKH ABDURRASYID bin KUMAU bin TUKUS bin ABDULLAH ASSEGAF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar