Minggu, 21 November 2010

Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi wajar-wajar saja. Revisi sebuah UU, atau bahkan judicial review dalam iklim perundang-undangan Indonesia bukan sesuatu yang harus disikapi dengan apriori karena sesuai konstitusi kita. UU Migas yang efektif sepenuhnya sejak 2003 telah menunjukkan wajah implementasinya seperti apa. Kita ingin mengembalikan kedaulatan bangsa dalam pengusahaan sumber daya alam migas. Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Desember 2004 mengharuskan revisi terhadap Pasal 12 Ayat 3: Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. Frase diberi wewenang dipandang bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33.

Badan usaha (BU) atau bentuk usaha tetap (BUT) adalah perusahaan migas, baik Pertamina maupun swasta nasional dan swasta internasional. Pemberian wewenang kepada BU dan BUT jelas sebuah kemunduran bagi kedaulatan kita. Pada UU Nomor 8 Tahun 1971, kedaulatan, wewenang, itu hanya ada di tangan BUMN kita sendiri, Pertamina. Pihak swasta saat itu tidak sama kedudukan dan power-nya dengan perusahaan negeri sendiri.

Wewenang pada lembaga khusus yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah (BP Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk sektor hilir) pada kenyataan sekarang mengesankan "terlalu netral" atau bahkan nyaris tanpa keberpihakan lebih (previlege) kepada BUMN sendiri, Pertamina. Ini yang kontra produktif. Contoh ketika ada lapangan hulu migas habis masa kontraknya dari perusahaan asing atau swasta nasional, maka suara dari BP Migas selalu netral. "Bisa saja diperpanjang kontrak buat perusahaan itu, atau tak menutup kemungkinan oleh Pertamina." Sedemikian lemahnya Pertamina untuk mendapatkan hak istimewa di lapangan minyak negerinya sendiri.
Jangan lupa penerbitan UU itu untuk bangsa sendiri, untuk kita, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Riwayat sebuah perangkat UU migas sudah ada perjuangannya sejak tahun 1951 di parlemen kita yang dipelopori antara lain Mr. Moehammad Roem dan Mr. Teuku Moehammad Hasan. Mereka selama lima tahun berjuang agar kita memiliki UU Migas sendiri mengganti UU Migas Hindia Belanda, Indische Mijnwet dan 5A Contracten, yang so pasti menguntungkan mereka.

Para tokoh minyak juga berjuang mengubah dari sistem Konsesi ke sistem Kontrak Karya, dan selanjutnya pada sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Semangatnya agar bangsa kita sendiri yang memperoleh keuntungan lebih besar. Pola mengundang investasi migas telah dimainkan secara cantik oleh pendahulu kita, tanpa mengorbankan kedaulatan negara di bidang pengusahaan sumber daya alam migas.

UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 adalah hasil perjuangan patriot-patriot bangsa yang disahkan Bung Karno pada saat itu. Kita pun berdaulat. Seterusnya atas usul Letjen Suprayogi terbitlah UU yang khusus mengatur Pertamina. Itulah UU Nomor 8 Tahun 1971. Pertamina yang berwenang dalam manajemen sistem PSC. Kembalikan hak istimewa Pertamina untuk mendapatkan kesempatan pertama mendapatkan kontrak lapangan yang sudah habis. Kalau Pertamina nyata-nyata tidak sanggup, silakan berikan ke KKKS lain.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar