Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi wajar-wajar saja. Revisi sebuah UU, atau bahkan judicial review dalam
iklim perundang-undangan Indonesia bukan sesuatu yang harus disikapi dengan
apriori karena sesuai konstitusi kita. UU Migas yang efektif sepenuhnya sejak
2003 telah menunjukkan wajah implementasinya seperti apa. Kita ingin
mengembalikan kedaulatan bangsa dalam pengusahaan sumber daya alam migas.
Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Desember 2004 mengharuskan revisi terhadap
Pasal 12 Ayat 3: Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang
diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilah
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. Frase diberi wewenang dipandang
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33.
Badan usaha (BU) atau bentuk usaha tetap (BUT) adalah perusahaan
migas, baik Pertamina maupun swasta nasional dan swasta internasional.
Pemberian wewenang kepada BU dan BUT jelas sebuah kemunduran bagi kedaulatan
kita. Pada UU Nomor 8 Tahun 1971, kedaulatan, wewenang, itu hanya ada di tangan
BUMN kita sendiri, Pertamina. Pihak swasta saat itu tidak sama kedudukan dan power-nya
dengan perusahaan negeri sendiri.
Wewenang pada lembaga khusus yang merupakan kepanjangan tangan
Pemerintah (BP Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk sektor hilir) pada
kenyataan sekarang mengesankan "terlalu netral" atau bahkan nyaris tanpa
keberpihakan lebih (previlege) kepada BUMN sendiri, Pertamina. Ini yang
kontra produktif. Contoh ketika ada lapangan hulu migas habis masa kontraknya
dari perusahaan asing atau swasta nasional, maka suara dari BP Migas selalu
netral. "Bisa saja diperpanjang kontrak buat perusahaan itu, atau tak menutup
kemungkinan oleh Pertamina." Sedemikian lemahnya Pertamina untuk mendapatkan hak
istimewa di lapangan minyak negerinya sendiri.
Jangan lupa penerbitan UU itu untuk bangsa sendiri, untuk kita,
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Riwayat sebuah perangkat UU migas
sudah ada perjuangannya sejak tahun 1951 di parlemen kita yang dipelopori
antara lain Mr. Moehammad Roem dan Mr. Teuku Moehammad Hasan. Mereka selama
lima tahun berjuang agar kita memiliki UU Migas sendiri mengganti UU Migas
Hindia Belanda, Indische Mijnwet dan 5A Contracten, yang so pasti
menguntungkan mereka.
Para tokoh minyak juga berjuang mengubah dari sistem Konsesi ke
sistem Kontrak Karya, dan selanjutnya pada sistem Kontrak Bagi Hasil (Production
Sharing Contract). Semangatnya agar bangsa kita sendiri yang memperoleh
keuntungan lebih besar. Pola mengundang investasi migas telah dimainkan secara
cantik oleh pendahulu kita, tanpa mengorbankan kedaulatan negara di bidang
pengusahaan sumber daya alam migas.
UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 adalah hasil perjuangan patriot-patriot bangsa yang disahkan Bung Karno pada saat itu. Kita pun berdaulat. Seterusnya atas usul Letjen Suprayogi terbitlah UU yang khusus mengatur Pertamina. Itulah UU Nomor 8 Tahun 1971. Pertamina yang berwenang dalam manajemen sistem PSC. Kembalikan hak istimewa Pertamina untuk mendapatkan kesempatan pertama mendapatkan kontrak lapangan yang sudah habis. Kalau Pertamina nyata-nyata tidak sanggup, silakan berikan ke KKKS lain.***
UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 adalah hasil perjuangan patriot-patriot bangsa yang disahkan Bung Karno pada saat itu. Kita pun berdaulat. Seterusnya atas usul Letjen Suprayogi terbitlah UU yang khusus mengatur Pertamina. Itulah UU Nomor 8 Tahun 1971. Pertamina yang berwenang dalam manajemen sistem PSC. Kembalikan hak istimewa Pertamina untuk mendapatkan kesempatan pertama mendapatkan kontrak lapangan yang sudah habis. Kalau Pertamina nyata-nyata tidak sanggup, silakan berikan ke KKKS lain.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar