Kabupaten
Balangan dengan ibukota Paringin memiliki cukup banyak lokasi yang dapat
dijadikan sebagai obyek wisata, baik itu berupa Wisata Alam, Wisata Buatan,
Wisata Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup
potensial untuk dikembangkan.
WISATA ALAM
Gunung Batu Sumsum dan Goa Hantanung di
kecamatan Awayan
Gunung Batu Hantanung di Kecamatan Awayan Kabupaten Balangan, cukup populer
sebagai tujuan rekreasi bagi warga setempat. Wisata alam ini menawarkan
keindahan khas gunung batu lengkap dengan stalaktit dan stalaknitnya.
Terletak di Desa Sumsum sekitar 6 km dari ibukota kecamatan, selain Gunung Batu
Hantanung, sekitar 100 meter terdapat sebuah gunung yang bisa dinikmati dari
atas jembatan. Di bawahnya mengalir sungai dengan air bening berjeram. Panorama
alam sekitar gunung ini nampak asri, indah dan sejuk.
Namun area yang dijadikan objek wisata adalah kawasan Gunung Batu Hantanung.
Meskipun area ini sudah dilengkapi beberapa fasilitas seperti tempat istirahat
pengunjung dan taman yang dibuat depan gunung itu, namun kondisinya sudah tak
terawat dan dibiarkan rusak.
Plang identitas kawasan wisata, yang masih bertuliskan kabupaten Hulu Sungai
Utara itupun dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Gunung Batu Hantanung adalah sebuah gunung batu kapur berongga-rongga, dengan
ketinggian sekitar 100 meter. Di bagian puncaknya ditumbuhi berbagai jenis
tanaman, yang sebagian menjulur ke bawah seperti tirai.
Di depan gunung ini, pengunjung dapat menikmati hawa sejuk yang berhembus dari
rongga-rongga gunung batu itu. Dari stalaktit (batu yang menggantung) air tak
pernah berhenti menetes. Dari taman sekitar gunung, pengunjung juga bisa
menikmati beningnya air yang mengalir di bawahnya.
Desa Sumsum Kecamatan Awayan sebagai tujuan wisata sangat mudah dijangkau. Dari
ibukota kabupaten ke Awayan sekitar 13 km bisa ditempuh dengan angkutan colt
pikap atau mikrolet ke Kecamatan Awayan. Sebagian angkutan ada yang langsung ke
desa itu dengan tarif Rp5.000.
Jarak dari Awayan ke lokasi wisata sekitar 6km, bisa juga ditempuh dengan
menggunakan jasa ojek. Sesuai geografi wilayah menuju lokasi yang merupakan
pegunungan berbatu, perjalanan didominasi pemandangan alam pegunungan, dengan
jalan beraspal yang berkelok-kelok.
Menurut warga setempat, selain gunung batu di wilayah bagian atas juga terdapat
hamparan lumut luas yang hidup di bebatuan, hingga warga setempat menyebutnya
permadani lumut. "Tapi kalau mau ke sana harus jalan kaki dan
menginap," tutur warga.
Objek wisata ini juga dekat dengan perumahan penduduk. Menurut warga setempat,
dulu wisata alam ini sangat diminati wisatawan lokal maupun luar daerah.
Sekarang seiring rusaknya sejumlah fasilitas dan kotornya tempat ini,
pengunjung hanya berdatangan setiap hari libur dan hari-hari besar seperti
lebaran dan tahun baru.
Gua Berangin Gunung Belawan
Gua Berangin Gunung Belawan di kecamatan Halong, terowongan yang unik, yang
menghubungkan ke dasar gunung dengan udara yang sejuk
WISATA RELIGIUS
Makam Datuk Kandang Haji di desa Teluk Bayur
kecamatan Juai.
Salah satu tradisi warga Balangan pada saat lebaran adalah berziarah ke makam
Datuk Kandang Haji yang terdapat di Desa Teluk Bayur, Kecamatan Juai.
Datu Kandang Haji adalah salah seorang dari dua orang datu (satunya lagi Datu
Sanggul dibagian Selatan Banjarmasin, Tatakan Rantau dan sekitarnya) yang aktif
berdakwah, mengajar masyarakat mengaji Alquran dan menghidupkan pelaksanaan
shalat Jumat di bagian Utara Banjarmasin (Paringin dan sekitarnya). Beliau
wafat dengan meninggalkan Alquran tulisan tangan, sepasang terompah, dan
tongkat untuk berkhutbah. Makam beliau terletak di samping masjid yang didirikannya
di Paringin (Kabupaten Balangan sekarang)”.
Datu Kandang Haji hidup sezaman dengan Datu Sanggul (Rantau) yang wafat pada
tahun 1772 M, karena itu, besar kemungkinan Datu Kandang Haji hidup di era
tahun 1760-an dan tahun-tahun sebelumnya.
Datu Kandang Haji aktif menyebarkan Islam di Paringin dan sekitarnya, beliau
menyebarkan dan mengajarkan Islam kepada masyarakat Paringin, mengajar mereka
mengaji atau membaca Alquran, membimbing kegiatan keagamaan masyarakat
(terutama khutbah Jumat), menyalin Alquran, serta memotivasi masyarakat untuk
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan baik, beliau juga
menjadi pelopor bagi masyarakat untuk melaksanakan kewajiban shalat Jumat.
Shalat Jumat sendiri pada waktu itu tidak hanya sekadar kewajiban agama, tetapi
juga diwajibkan oleh negara, karena itu jika ada yang tidak shalat Jumat, maka
mereka akan dikenakan denda.
Datu Kandang Haji adalah ulama yang bertanggung jawab terhadap penyebaran dan
pengajaran Islam kepada masyarakat, khususnya wilayah bagian Utara Banjarmasin,
yakni Paringin dan sekitarnya ketika itu, karena untuk dakwah di Banjarmasin,
martapura, dan sekitarnya sudah diisi oleh ulama kerajaan sedangkan bagian
Selatan yakni Tatakan Rantau dan sekitarnya sudah diisi oleh Datu Sanggul.
Pelaksanaan kegiatan keagamaan yang dipelopori oleh Datu Kandang Haji pada
waktu itu tentu saja masih dalam bentuknya yang sederhana, namun walau demikian
diyakini bahwa dakwah beliau cukup berhasil, sehingga masyarakat Paringin
termasuk kelompok masyarakat yang sudah lama mengenal agama Islam.
WISATA SEJARAH / WISATA BUDAYA
Benteng Tundakan
Dari sekian banyak peninggalan sejarah perjuangan Pangeran Antasari, salah
satunya adalah benteng Tundakan. Benteng bersejarah ini berada di kawasan
terpencil, tepatnya di Desa Tundakan Kecamatan Awayan yang terletak sekitar 55
kilometer dari pusat Kota Amuntai. Benteng Tundakan merupakan salah satu
kawasan yang digunakan pejuang sekitar 1858 hingga 1861.
Selain itu, bentuk benteng Tundakan tidak sebagaimana yang dibayangkan orang.
Tetuha masyarakat di daerah biasa menyebut nama benteng itu dengan istilah
"Benteng Tundakan".
Bagi penduduk di daerah ini, cerita tentang keberadaan benteng Tundakan sudah
tidak asing lagi. Karena masih banyak tetuha masyarakat di daerah ini yang
mengetahui tentang sejarah keberadaan benteng Tundakan tersebut.
Konon, benteng Tundakan merupakan salah kawasan yang digunakan para pejuang
kemerdekaan. Bahkan benteng Tundakan pernah dijadikan kawasan pertahanan oleh
tokoh pejuang Kalsel Pangeran Antasari. Benteng tersebut sempat digunakan oleh
para pejuang kemerdekaan sekitar tahun 1858 hingga 1861. Pangeran Antasari
bersama pejuang kemerdekaan lainnya seperti Temanggung Jalil pernah menempati
benteng tersebut.
Pada waktu itu, Pangeran Antasari merupakan tokoh pejuang kemerdekaan yang
dicari-cari tentara Belanda. Dan untuk menghindari dari adanya upaya
penangkapan yang dilakukan tentara Belanda, Pangeran Antasari kemudian
bersembunyi di kawasan Benteng Tundakan.
Keberadaan Benteng Tundakan sempat diketahui tentara Belanda. Hingga akhirnya,
benteng tersebut diserang ratusan tentara Belanda sekitar. Dalam penyerangan
tersebut, Temanggung Jalil gugur, jasatnya dimakamkan tidak jauh dari kawasan
Benteng Tundakan.
Untuk mengenang tokoh pejuang kemerdekaan tersebut, Pemkab HSU mengharumkan
nama Temanggung Jalil menjadi salah satu nama ruas jalan yang ada di kota
Amuntai.
Kalau dilihat sepintas lalu, Benteng Tundakan tidak berbentuk sebagaimana
benteng pertahanan untuk perang. Karena benteng tersebut terletak di suatu
kawasan pegunungan. Selain itu, bentuk benteng Tundakan hanyalah berupa sebuah
gua di bebatuan yang berlubang. Namun di dalam goa itulah, para pejuang
berusaha untuk membebaskan rakyat dari kekuasaan penjajah kolonial Belanda.
Bukti sejarah perjuangan di benteng Tundakan tersebut hingga kini masih tetap
dikenang. Walau saat ini yang terlihat hanyalah sebuah bentuk goa yang
ditumbuhi rumput liar, namun apa yang dilakukan para pejuang kemerdekaan
tentunya akan selalu tetap dikenang.
WISATA ADAT
Pesona budaya Pesta Panen Raya
Upaya mempertahankan metode pertanian tradisional dan bibit lokal ternyata
masih ada, kendati dilakukan secara terbatas. Itulah yang tercermin dari
penyelenggaraan pesta adat syukuran panen padi Aruh Baharin yang dilaksanakan
di Desa Kapul, Kecamatan Halang, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Selama
tujuh hari, Masyarakat Adat Dayak Desa Kapul, menyelenggarakan perayaan Aruh
Baharin yang diselenggarakan setiap tiga atau lima tahun sekali.
Perayaan ini bertujuan untuk melestarikan budaya pertanian dan bercocok tanam
padi organik yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak sejak ratusan tahun yang
silam. Seperti telah diketahui bahwa secara turun-temurun masyarakat Dayak
mengembangkan pertanian organik, khususnya padi, tanpa menggunakan pupuk dan
pestisida kimiawi. Pertanian organik yang dianggap mencerminkan budaya
tradisional dan keterbelakangan, saat ini justru dinilai sebagai sistem
pertanian yang sesuai dengan kaidah-kaidah kemanusiaan dan lingkungan hidup.
"Oleh karena itu, masyarakat Dayak di Kalimantan yang memiliki adat dan
tradisi harus tetap dibela, tidak boleh dihilangkan. Pembelaan tidak dengan
kekerasan," kata Panglima Komando Pertahanan Adat Daya Kalimantan, Lukas
Kapung".
"Bagi masyarakat Dayak Kalimantan, Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah final, sehingga hak-hak masyarakat adat juga harus dihormati,"
tambahnya.
Namun kelemahan masyarakat adat selama ini umumnya tidak adanya perlindungan
dari negara, sehingga mereka menjadi termarjinalisasi akibat persaingan dan
penyingkiran. Perlindungan yang paling strategis adalah jika masyarakat adat
diberdayakan dengan menyadarkan mereka tentang hak-hak yang mereka miliki.
Dalam hal ini perayaan pesta adat Aruh Baharian merupakan salah satu usaha
untuk menggugah para pihak yang peduli dengan masyarakat adat untuk memberi
perhatian dan memberdayakan mereka.
Pesta adat tersebut dimeriahkan dengan tarian ritual yang diberi nama Batandik
untuk mengekspresikan rasa bersyukur dan keagungan penguasa alam dengan
mempersembahkan identitas kebudayaan dan kehidupan mereka berupa perahu naga
dan rumah adat Dayak Balangan. Dua miniatur perahu dan rumah adat tersebut
kemudian dihanyutkan ke Sungai Balangan. Selama tujuh hari tujuh malam
masyarakat yang ikut dalam pesta adat tersebut dapat menikmati makanan khas
adat Dayak Balangan dan memotong hewan kurban.
Aruh Adat Baharin
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual terlihat berlari kecil
sambil membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga kuningan) mengelilingi
salah satu tempat pemujaan di balai depan rumah milik Ayi, warga Desa Kapul,
Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Hampir semua warga Dayak setempat, bahkan warga dari beberapa kampung lainnya,
hadir mengikuti ritual adat tua yang masih dilestarikan dan dipertahankan di
kecamatan yang terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin, ibu kota
Kalimantan Selatan. Mereka larut menyaksikan para balian itu saat bamamang
(membaca mantra) memanggil para dewa dan leluhur.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang dilakukan
keluarga besar terdiri dari 25 keluarga tersebut karena hasil panen padi di
pahumaan (perladangan) mereka berhasil dengan baik. Pesta yang berlangsung
tujuh hari itu terasa sakral karena para balian yang seluruhnya delapan orang
itu setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh leluhur untuk ikut
hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang dibangun sekitar
10 meter x 10 meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga
hingga keenam di mana para balian melakukan proses batandik (menari)
mengelilingi tempat pemujaan. Para balian seperti kerasukan saat batandik terus
berlangsung hingga larut malam dengan diiringi bunyi gamelan dan gong.
Sebelum prosesi itu berlangsung, ibu-ibu dan remaja wanita yang secara khas
mengenakan tapih bahalai (kain batik) terlihat sibuk membersihkan beras,
membuat ketupat, memasak sayur, serta memasak lemang yang menjadi pemandangan
awal kesibukan mempersiapkan ritual ini.
Sementara para lelaki terlihat mengenakan sentara parang dan mandau di
pinggang. Mereka bukan hendak berperang, tetapi itu harus dikenakan saat mereka
mempersiapkan janur pemujaan, mengangkut kayu bakar, dan memasak nasi.
Kesibukan memasak ini berlangsung setiap hari selama ritual berlangsung.
Sedangkan kegiatan proses Aruh Baharin, kata Narang, balian yang tinggal di
Desa Kapul dipersiapkan oleh para balian. Prosesi tersebut berlangsung beberapa
hari karena ada beberapa pemanggilan roh leluhur yang harus dilakukan sesuai
jumlah tempat pemujaan.
Untuk ritual pembuka, jelasnya, prosesinya disebut Balai Tumarang di mana
pemanggilan roh sejumlah raja, termasuk beberapa raja Jawa, yang pernah
memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka.
Selanjutnya, melakukan ritual Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil
leluhur Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini Uri.
Berikutnya, Hyang Lembang, ini proses ritual terkait dengan raja- raja dari Kerajaan
Banjar masa lampau.
Para balian itu kemudian juga melakukan ritual penghormatan Ritual Dewata,
yakni mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya bertapa sehingga mampu
menembus alam dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan para raja Dayak yang mampu
memimpin sembilan benua atau pulau dilakukan dalam prosesi Hyang Dusun.
Pada ritual-ritual tersebut, prosesi yang paling ditunggu warga adalah
penyembelihan kerbau. Kali ini ada 5 kerbau. Berbeda dengan permukiman Dayak
lainnya yang biasa hewan utama kurban atau sesaji pada ritual adat adalah babi,
di desa ini justru hadangan atau kerbau.
”Hadangan dipilih warga sini sudah sejak dulu karena bisa dinikmati siapa pun
yang berbeda agama. Bahkan, di kampung ini juga tidak ada yang memelihara
babi,” kata Yusdianto, warga Desa Kapul yang menjadi guru agama Buddha di
Banjarmasin.
Namun, yang membedakan, warga dan anak-anak berebut mengambil sebagian darah
hewan itu kemudian memoleskannya ke masing-masing badan mereka karena percaya
bisa membawa keselamatan. Daging kerbau itu menjadi santapan utama dalam pesta
padi tersebut.
”Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan Aruh
Baharin. Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam,” kata
Narang.
Sedangkan sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga dan rumah
adat serta beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balian untuk disajikan
kepada dewa dan leluhur.
Menjelang akhir ritual, para balian kembali memberkati semua sesaji yang isinya
antara lain ayam, ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman, lemang, dan telur.
Ada juga penghitungan jumlah uang logam yang diberikan warga sebagai bentuk
pembayaran ”pajak” kepada leluhur yang telah memberi mereka rezeki.
Selanjutnya, semua anggota keluarga yang menyelenggarakan ritual tersebut
diminta meludahi beberapa batang tanaman yang diikat menjadi satu seraya
dilakukan pemberkatan oleh para balian. Ritual ini merupakan simbol membuang
segala yang buruk dan kesialan.
Akhirnya sesaji dihanyutkan di Sungai Balangan yang melewati kampung itu. Bagi
masyarakat Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur dan harapan agar musim
tanam berikut panen padi berhasil baik.
Tarian Gintor dan Wadian | Balian terdapat di
kecamatan Halong
Balian adalah sebutan upacara pengobatan pada Suku Dayak Balangan (bagian dari
Suku Dayak Maanyan) di Kabupaten Balangan dan Suku Dayak Bukit di Kalimantan
Selatan. Suku Dayak Balangan memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini
dibuat menjadi suatu atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian.
Bagi masyarakat Suku Dayak, khususnya di wilayah pedalaman, komunikasi dengan
roh leluhur menjadi salah satu ritual untuk menjaga keseimbangan dengan alam.
Komunikasi tersebut bisa dilakukan dengan ritual khusus yang bisa dilakukan
oleh orang-orang khusus.
Keseimbangan itu akan tercapai manakala komunikasi dengan lingkungan, tidak
terputus. Bahkan komunitas masyarakat Suku Dayak juga memercayai bahwa
keseimbangan alam akan masih sangat terjaga ketika roh leluhur ikut menjaganya.
Kearifan Suku Dayak untuk menjaga lingkungan turun temurun sebenarnya menjadi
bagian dari kehidupan yang sudah dibina sejak dahulu. Hanya, egoisme dan alasan
untuk bertahan hidup menjadikan banyak sisi lingkungan harus dikalahkan.
Berbagai masalah pun timbul. Musibah serangan penyakit, malapetaka dan bencana
alam pun terjadi. Tidak ada lagi penghormatan terhadap leluhur untuk ikut
menjaga, karena ulah manusia yang tak lagi arif menjaga komunikasi.
Balian, dipercaya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh
leluhur. Komunikasi itu bisa melalui tarian atau komunikasi verbal. Tari
dipercaya menjadi media, dengan pukulan alat musik yang disajikan dapat menjadi
penghubung untuk sebuah pola komunikasi.
Masyarakat Suku Dayak mengenal balian saat akan melakukan komunikasi dengan
roh-roh leluhur. Biasanya saat berkaitan dengan ritual penyembuhan penyakit,
ritual untuk membersihkan kampung dari berbagai kemungkinan petaka, atau
berbagai keperluan lainnya.
Balian juga menjadi perantara hubungan antara pihak yang memerlukan bantuan
untuk diobati atau keperluan lainnya dengan roh-roh leluhur yang dipanggil
dalam kaitannya dengan ritual tersebut, sehingga keperluan untuk ritual itu
bisa berjalan sesuai harapan.
Ritual yang dilakukan balian biasanya menggunakan media berupa tarian dan atau
gerakan-gerakan serta bunyi-bunyian tetabuhan dan peralatan musik pengiring
tarian yang dimainkan oleh para pemain musik dalam ritual tersebut.
Karena itu, ritual tersebut sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Suku Dayak
di wilayah pedalaman. Lebih-lebih untuk tetap menjaga keseimbangan alam dan
berbagai pola kehidupan yang berlangsung di dunia fana ini.
Balian juga menjadi bagian dari sebuah ritual dan bertindak sebagai pawang atau
basir (perantara adat, Red) yang memiliki kemampuan untuk menjaga komunikasi
dengan dunia leluhur sehingga keseimbangan dapat terus terjaga dan terbina
langgeng.
Keseimbangan antara kehidupan fana dan dunia para leluhur akan dapat terjaga
manakala dua dunia yang berlainan itu dapat saling menjaga keseimbangan. Sejauh
ini, manusia menjaga alam dan ritual leluhur dan leluhur pun akan menjaga
keseimbangan alam tempat manusia hidup.
Aruh Adat Mambatur
Warga Dayak Halong di Kabupaten Balangan menggelar acara adat untuk mengirim
doa kepada roh para leluhurnya.
Perhelatan yang termasuk langka dan jarang digelar di Provinsi Kalimantan
Selatan ini diberi nama adat Mambatur.
Upacara Adat
Mambatur Suku Dayak Halong
Biasanya, warga
Dayak mengantar roh leluhurnya dengan perantaraan hewan kerbau. Hewan berkaki
empat ini dibunuh dengan cara ditombak.
Sepintas, acara ini serupa dengan acara adat Mambuntang atau Wara Nyalimbat di
Tamiang Layang Kalteng.
Selain di Halong dayak Warukin, Tabalong ada juga upacara kematian disebut Mia
atau Mambatur, yaitu membuat tanda kubur dari kayu ulin.
Ritual tersebut memiliki beberapa tingkatan, antara lain berdasarkan lamanya
waktu dan pembiayaan.
Upacara menguburkan satu hari disebut ngatang, yaitu membuat kubur satu tingkat.
Dalam kaitan ini, ada tradisi siwah pada hari ke-40 setelah kematian. Pembuatan
batur satu tingkat ini disebut juga wara atau mambatur kecil.
Proses mambatur ada pula yang dijalankan selama lima hari disertai dengan
pengorbanan kerbau dan pendirian balontang, yakni patung si warga yang
meninggal. Prosesi itu biasanya dilaksanakan dengan mengundang semua warga.
Sebagai kelanjutan "mambatur" biasanya dilangsungkan mambuntang
sebagai upacara terakhir. Kepala Adat Desa Warukin Rumbun mengatakan, aruh
mambuntang yang sederhana disebut buntang pujamanta. Ritual ini hanya
mengorbankan kambing, babi, dan ayam.
Untuk ritual yang lebih “bergengsi”, buntang pujamea diwarnai dengan
pengorbanan kerbau. Perbedaan antara mambatur dan balontang adalah dari segi
mantra dan balian atau rohaniwan Kaharingan yang melaksanakannya.
Perbedaan lain, patung balontang diarahkan ke barat sebagai simbol arah alam
kematian, sedangkan pada mambuntang patung diarahkan ke timur sebagai simbol
kehidupan. (abau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar