Jumat, 25 Desember 2009

SEJARAH KALIMANTAN TENGAH

Media Publik - Kalimantan Tengah. adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).

Provinsi ini mempunyai 13 kabupaten dan 1 kotamadya, yaitu Kabupaten Barito Selatan (Ibu Kota Buntuk),  Kabupaten Barito Timur (Ibu Kota Tamiang), Kabupaten Barito Utara (Ibu Kota Muara Teweh), Kabupaten Gunung Mas (Ibu Kota Kuala Kurun), Kabupaten Kapuas (Ibu Kota Kuala Kapuas), Kabupaten Katingan (Ibu Kota Kasongan), Kabupaten Kotawaringin Barat (Ibu Kota Pangkalan Bun), Kabupeten Kotawaringin Timur (Sampit), Kabupaten Lamandau (Ibu Kota Nanga Bulik), Kabupaten Murung Raya (Ibu Kota Purukcahu), Kabupaten Pulang Pisau (Ibu Kota Pulang Pisau), Kabupaten Seruyan (Ibu Kota Kuala Pembuang) dan Kota Palangka Raya (Ibu Kota Palangka Raya). 

Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.

Pada abad ke-16 Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus Negara Dipa yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Orang Biaju (sebutan Dayak pada jaman dulu) juga membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.

Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.

Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin.

Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura sampai Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda. 

Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8. Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar. 

Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. 

Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di selatan Kalimantan. 

Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris. Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. 

Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. 

Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada. Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.

Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926.

Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray, F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Selatan berdiri LEKEM KALIMANTAN atau Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan dibawah pimpinan Aspihani Ideris dan di Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, serta masih banyak lembaga lainnya yang mengarah kedaerahan.

Di Kalimantan Tengah ini terdapat beberapa suku, yaitu Suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas Dayak Hulu dan Dayak Hilir. Dayak Hulu terdiri atas : Dayak Ot Danum, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Taboyan, Dayak Lawangan, Dayak Dusun dan Dayak Maanyan. Sedangkan Dayak Hilir terdiri atas: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Katingan, dan Dayak Sampit. Suku Dayak yang dominan di Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju, suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Suku Banjar merupakan 24,20% populasi. Disamping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan lain-lain. Gabungan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90% dengan beragam bahasa yaitu, Bahasa Banjar, Bahasa Melayu, Bahasa Dayak Ngaju, Bahasa Dayak Manyan, Bahasa Dayak Ot Danum, Bahasa Dayak Katingan, Bahasa Dayak Bakumpai, Bahasa Dayak Tamuan, Bahasa Dayak Sampit. Serta memiliki agama daerah lain di Indonesia, di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat berbagai jenis agama dan kepercayaan yang menyebar diseluruh daerah ini, antara lain : Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Bali, Budha dan Kaharingan (Kaharingan merupakan sebuah kepercayaan penduduk asli Kalimantan Tengah yang hanya terdapat di daerah Kalimantan sehingga untuk dapat diakui sebagai agama maka digabungkan dalam agama Hindu. Penganut Agama Hindu Kaharingan tersebar di daerah Kalimantan Tengah dan banyak terdapat di bagian hulu sungai, antara lain hulu sungai Kahayan, sungai Katingan dan hulu sungai lainnya.***




2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Sejarah Kalimantan, catatan mengenai Dayak Iban di Sarawak. Beberapa minggu lalu saya pergi ke Kuching, daerah Sarawak yang berada di bawah pemerintahan Malaysia. Disana saya bertemu dengan beberapa pejabat daerah setempat dan beberapa pengusaha. Setelah berbincang2 agak lama, baru saya ketahui bahwa pejabat2 tersebut mengaku seorang "Dayak Iban atau Dayak Hulu" yang beragama katolik. Saya sempat bertanya, mengenai pengertian saya sebelumnya bahwa orang2 lokal Malaysia itu saya pikir disebut "Bumi Putra". Jawaban yang menarik adalah "Bukan, kami bukan Bumi Putra tetapi kami penduduk asli Sarawak yaitu orang Dayak Iban. "Bumi Putra" itu adalah sebutan untuk penduduk lokal yang berada di semenanjung Malaysia sedangkan kami ini orang Dayak Iban" Waduh!!!

    Yang menarik adalah, penduduk lokal Sarawak yang notabene mengaku "Orang DayakIban/Hulu" itu tidak punya sultan seperti wilayah2 Malaysia lainnya. Yang lebih menarik adalah, tampaknya perekonomian daerah Sarawak dan pemerintahannya itu dikuasai oleh penduduk lokal Dayak Iban (Hulu). Sempat juga saya bertemu istri seorang pengusaha perusahaan gas yang menjadi promotor symposium yang saya dan beberapa rekan2 dari Bali hadiri. Pengusaha tersebut adalah pemuka daerah setempat, yang tadinya saya pikir seorang "Bumi Putra". Eh ternyata mereka juga "Dayak Iban" dan beragama katolik.

    Ternyata kebudayaan "Dayak Iban/Hulu" masih mereka jaga dengan baik dan dicampur dengan gaya modern saat ini. Saya dan beberapa orang lain bersama2 group dijamu oleh mereka di suatu restourant yang menyajikan khusus makanan2 Dayak Iban yang menurut kami, cita rasanya sangat luar biasa! Belum pernah kami makan ikan yang berbumbu akar rotan ditambus di dalam bambu, rasanya luar biasa. Ada pula makanan2 lain seperti "Sayur Kelakai" yang dimasak bersama2 ikan. Yang sangat berkesan adalah minuman sejenis alkohol yang dibuat dari umbi2 akar! Saya sering mencoba minuman wine (Anggur) tetapi anggur resep asli dayak Iban ini memang luar biasa enaknya. Tadinya itu hanya restourant khusus, tetapi restourant2 serupa yang menghidangkan makanan tradisional Dayak Iban juga banyak sekali, dari kelas warung sampai restourant berkelas.

    Setelah saya pikir2, saya berasumsi bahwa Dayak Iban walaupun berada di daerah kekuasaan Malaysia, ternyata sangat mandiri dan sejahtera, dimana mereka tetap menjaga adat budaya suku bangsa Iban dan tetap makan makanan tradisional mereka. Terbersit dipikiran saya, apa yang terjadi dengan suku2 bangsa Dayak yang ada di bawah pemerintahan Indonesia? Persoalan tanah air Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa ternyata memang belum selesai. Persoalannya dimana?

    BalasHapus