Oleh: Aspihani Ideris
Arti Arba Mustamir yaitu Rabu Keburukan. Arba berasal dari bahasa Arab, yang
artinya hari Rabu, Mustamir artinya membawa sial atau keburukan. Keberadaan Arba
MUSTAMIR yang terdapat dibulan Shafar keterangan nya bersumber dari para
Ulama 'Aarif dan Shalihin tidak bersumber pada hadits Nabi maupun Al-Qur`an.
Arba Musta'mir
didalam Al-Qur'an tidak ada, begitu juga didalam Al-Hadist tidak terdapat masalah
ini, namun kalau kita berpegang kepada faham Ahlussunna h wal Jama`ah,
mengenai Arba Musta'mir ini ada disebutkan, m isalnya terdapat didalam sebuah
kitab Kanzu n Najaah was Suruur, halam an 25 isinya sebagai berikut (art inya):
menye butkan sebagian orang-orang Arifin, bahw asanya diturunkan pada
tiap-tiap tahun itu 324.0 00 bala, seluru hnya bala tersebut diturunkan
pada hari Arba Musta`mir yang akhir dari bulan Safar, maka jadilah hari itu paling
sulit dari hari dalam setahun, namun Allah sendiri melebihkan hari Jum'at dari hari yang lainnya, de mikian
pula bulan dan tahun, artinya ada hari, bulan dan tahun yang terbaik
dari yang terbaik.
Ol eh karena
anggapan Arba Musta`mir merupakan hari kurang baik, maka orang-orang shalihin
mengantisi pasinya dengan disunnatkan membaca surah Yasin 1 kali, kemudian
apabila sampai kepada kalimat Salaamun Qaulan Mirrabbir Rahiim, maka diulang membacanya
sebanyak 313 kali, lalu membaca do'a Shalawat Tunjina sampai selesai, disambung
pula dengan do'a “Allahummashrif Annasy Syara Maa Yanzilu Minas Sama_i Wa Maa
Yakhruju Minal Ardhi Innaka'alaa Kulli Syai'in Qodiir”.
Hari
Rabu terakhir dibulan Safar ditengah-tengah sebagian masyarakat negeri ini
dikenal pula sebagai hari yang sial dan nahas yang disebut sebagai Rabu ( Arba
) Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam anggapan
masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Rabu
terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan sebuah referensi klasik
disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu
bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negative
(kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya
tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Orang-orang Jawa menyambut hari Rabu Wakesan ini biasanya dilakukan dengan
membuat kue apem dari beras, kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan
tetangga. Ini dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala.
Karena ada hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak bala.
Bagi
kalangan orang Banjar beranggapan bahwa anak-anak yang dilahirkan
pada hari Rabu bulan Safar, jika sudah agak besar akan menjadi anak yang nakal
dan hyperactive, sehingga untuk mencegah anak tersebut agar tidak nakal,
disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang). Seberapa berat badan
anak tersebut nantinya diganti (sebagai tebusan) dengan bahan makanan untuk
disedekahkan ataupun dibacakan doa selamat.
"Pada
dasarnya dijelaskan dalam Al-Qur`an dan Al-hadits hari dan bulan dalam satu
tahun adalah sama dan Allah SWT tidak ada menciptakan hari dan bulaan itu yang
membawa sial, hari dan bulan itu diciptakan baik semua. Tidak ada hari atau
bulan tertentu yang membahayakan atau membawa kesialan. Keselamatan dan
kesialan pada hakikatnya hanya kembali pada ketentuan takdir Ilahi."
Pada masa
jahiliyah, orang Arab beranggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang tidak
baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang Arab pada masa itu
menunda segala aktivitas pada bulan Shafar karena takut tertimpa bencana.
Begitu juga dalam tradisi kejawen, banyak hitungan-hitungan yang digunakan
untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik, hari keberuntungan dan hari
kesialan. Lalu bagaimana menurut syariah Islam?
Dalam hadits
riwayat Bukhari Muslim, Rosulullah SAW meluruskan dan menjelaskan tentang
hal-hal yang merupakan penyimpangan akidah itu. Rasulullah bersabda:
"Tidak ada
penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk, tidak
boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Shafar."
Menganggap sial
bulan Shafar termasuk kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan
(Shafar) tersebut seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan,
ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan
yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallahu
‘alaihi wa Sallam bahwa beliau telah membatalkan keyakinan sialnya bulan Shafar
tersebut. Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : لا عدوى ولا طيرة ولا هامة
ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.”
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.”
(HR. Al-Bukhari
5437, Muslim 2220, Abu Daud 3911, Ahmad (II/327)
Hadits ini telah disepakati keshahihannya.
Hadits ini telah disepakati keshahihannya.
Safar adalah
nama bulan kedua dalam kalender Islam atau kalender Hijriyah yang berdasarkan
tahun Qomariyah (perkiraan bulan mengelilingi bumi). Safar berada diurutan
kedua sesudah bulan Muharram. Asal kata Safar dari Shafar. Yang menurut bahasa
(linguistik) berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab
dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu sering
meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka sehingga kosong untuk berperang
menuntut pembalasan atas musuh-musuh mereka. Ada pula yang menyatakan, nama
Safar diambil nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh
orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit Safar yang bersarang
di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya.
Kita kenal penyakit itu sekarang dengan nama penyakit Kusta. Ada pula yang
menyatakan, Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian
perut dan mengakibatkan orang yang terkenanya menjadi sakit.
Safar adalah
salah satu nama bulan dari dua belas bulan dalam kalender Islam atau tahun
Hijriyah. Safar berada diurutan kedua sesudah bulan Muharam. Sebab dinamakan
Safar, Ada pula yang menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama suatu jenis
penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa
dulu, yakni penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya
sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap
bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan.
Di dalam bulan
ini, ada juga kalangan umat Islam mengambil kesempatan melakukan
perkara-perkara ibadah khurafat yang bertentangan dengan syariat Islam. Ini
terjadi karena menurut kepercayaan turun-temurun sesetengah orang Islam yang
jahil, bulan Safar ini merupakan bulan turunnya bala bencana dan mala petaka,
khususnya pada hari Rabu Wekasan yaitu hari rabu minggu terakhir dibulan Safar.
Sehingga ada Beberapa kepercayaan masyarakat tentang adanya mitos pada bulan
safar ini, sebagaimana yang diyakini oleh kalangan masyarakat Sunda dan Banjar
baik dari yang paling muda sampai yang paling tua.
Menurut
masyarakat Sunda
Safar adalah
bulan yang dianggap pamali untuk mengadakan pesta perayaan, seperti hajat
pernikahan atau sunatan anak. Mereka sangat mempercayai tentang mala petaka
yang akan turun pada Rabu Wekasan. Setidaknya menurut mereka ada dua musibah
yang akan terjadi pada bulan ini, yaitu:
1. Paceklik
Order
Berbeda dengan
bulan Raya Agung (hari raya Idul Adha) yang ramai dengan acara hajatan terutama
di akhir pekan, di bulan Safar janur kuning tidak lagi terlihat menghiasi gang
dan gedung-gedung serbaguna. Masyarakat Sunda enggan untuk melangsungkan pesta
perayaan pada bulan ini. Menurut Ahmad Gibson Al-Busthomi, seorang seniman
Sunda, dalam sebuah diskusinya yang menyatakan bahwa dalam masyarakat Sunda
tidak dikenal system perhitungan hari baik (astrologi) seperti dalam masyarakat
Jawa. Namun, larangan melangsungkan pesta pernikahan atau sunatan ternyata
sangat kuat tertancap dalam benak masyrakat. Mereka meyakini ikatan pernikahan
yang dilakukan di bulan Safar tidak akan abadi, dan kedepannya akan sulit untuk
mendapatkan keturunan (Zuriat).
Hal ini
kemudian diperkuat dengan pandangan bahwa bulan Safar adalah bulan kawin
anjing. Di beberapa wewengkon tatar Sunda, terutama daerah yang dekat dengan
hutan dan masih terdapat anjing liar, pada bulan ini sering terdengar
gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut sedang naik birahi dan
melakukan perkawinan. Oleh karena itu orang Sunda cadu menikah di bulan ini,
karena mereka tidak mau disamakan dengan binatang yang dianggap najis itu.
Kondisi
tersebut tentu saja membawa pengaruh ekonomis kepada orang-orang yang bergelut
di bisnis pesta hajatan. Para pengusaha perencana pernikahan, seniman, termasuk
mubaligh mengalami paceklik order, tidak ada yang mengundang. Mereka
akhirnya”berpuasa” untu manggung, bahkan beberapa diantaranya wayahna harus
banting setir pindah pekerjaan di bidang lain untuk sementara waktu. Keadaan
paceklik order ini baru berakhir tatkala bulan mulud tiba. Dalam sebuah
peribahasa Sunda disebutkan “kokoro manggih mulud” orang yang sedang sengsara
kemudian mendapat rezeki yang besar seperti bulan mulud. Para pekerja bisnis
hajatan yang di bulan Safar dalam kondisi tiseun (sepi order), memasuki bulan
mulud mereka kembali merema (banyak order).
2. Bulan Balae
Bulan Safar
juga diyakini sebagai bulan balae (bulan bencana). Keyakinan ini sudah terpatri
kuat dalam benak masyarakat Sunda. Di bulan ini turun 70.000 penyakit untuk
satu tahun ke depan. Berbagai musibah dan bencana juga banyak muncul dibulan
ini. Lihat saja berbagai bencana yang saat ini terus melanda beberapa daerah
Indonesia, menurut beberapa kalangan Sunda tradisional itu merupakan pertanda
akan mitos tersebut. Mitos bulan bencana ini juga diperkuat dengan cerita
sejarah kehancuran masyarakat zaman dahulu. Sejak zaman dahulu bencana
senantiasa diturunkan di bulan Safar. Allah telah menghukum kaum yang tidak
beriman seperti kaum ‘Aad dan Tsamud pada bulan ini.
Masyarakat
Sunda pun meyakini bala bencana akan menjauh dan terbebas darinya, apabila
menjalani ritual tolak bala dan bersedekah. Ritual tolak bala dilangsungkan
dengan cara memanjatkan do’a dan mandi di pantai, sungai atau tempat-tempat
keramat tertentu untuk membuang sial. Di masyarakat Cirebon ritual mandi Safar
dikenal dengan ngirab.
Menurut
masyarakat Banjar
Bagi orang
Banjar, bulan Safar dianggap sebagai “bulan sial, bulan panas, bulan
diturunkannya bala, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya”. Karena pada
bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki
kekuatan yang lebih dibanding pada bulan lainnya. Dalam anggapan masyarakat
kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Arba’ Musta’mir.
Karenanya menjadi semacam kebiasaan bagi orang Banjar untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari kesialan pada hari itu, misalnya; 1) Sholat sunnah mutlak disertai doa tolak bala, 2) Selamatan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum, 3) Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Mandi Safar ini menjadi atraksi wisata menarik di Kal-Teng yang dipromosikan. Mandi Safar ini merupakan tradisi masyarakat yang mendiami tepian sungai Mentaya, 4) Tidak melakukan atau bepergian jauh, 5) Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan, dan sebagainya. Bagi orang Jawa, untuk menyambut Arba’ Musta’mir (Rebo Wekasan) biasanya dilakukan dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut dibagi-bagikan kepada tetangga.
Karenanya menjadi semacam kebiasaan bagi orang Banjar untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari kesialan pada hari itu, misalnya; 1) Sholat sunnah mutlak disertai doa tolak bala, 2) Selamatan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum, 3) Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Mandi Safar ini menjadi atraksi wisata menarik di Kal-Teng yang dipromosikan. Mandi Safar ini merupakan tradisi masyarakat yang mendiami tepian sungai Mentaya, 4) Tidak melakukan atau bepergian jauh, 5) Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan, dan sebagainya. Bagi orang Jawa, untuk menyambut Arba’ Musta’mir (Rebo Wekasan) biasanya dilakukan dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut dibagi-bagikan kepada tetangga.
Hal lain yang
juga menarik untuk diamati adalah, adanya anggapan orang Banjar bahwa anak-anak
yang dilahirkan pada hari Arba’ Musta’mir jika sudah agak besar akan menjadi
anak yang nakal dan hiperaktif. Sehingga untuk mencegah anak tersebut agar
tidak nakal, disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang).
Namun seiring
dengan perkembangan zaman dan peredaran waktu, kepercayaan masyarakat Sunda
maupun masyarakat Banjar sebagaimana dijelaskan diatas, memang sudah mulai
berkurang dan mengalami perubahan, tidak seperti dulu lagi dalam memandang
bulan Safar. Dan tentu saja, masih ada beberapa orang yang menganggap Safar
sebagai bulan kesialan, penuh bencana, penyakit, panas, dilarang melangsungkan
pesta pernikahan atau sunatan, dan nahas.
Dalam kalangan
masyarakat Sunda kepercayaan atau keyakinan tersebut dipandang memiliki benang
merah dengan kearifan lokal (local wisdom). Larangan untuk melakukan aktivitas
hajatan di bulan Safar memang tepat, karena di bulan ini kondisi cuaca
seringkali tidak bersahabat. Larangan ini juga bisa diposisikan sebagai
penumbuh kesadaran tentang keseimbangan hidup. Masyarakat diajarkan ada
waktunya untuk bersuka cita, bergembira dan berpesta, serta adakalanya pula
harus beristirahat dan bersiap-siap mengahadapi cobaan, derita dan duka cita.
Dengan begitu akan tumbuh kesadaran hidup yang lebih hakiki.
Tolak bala
dengan banyak memberi sedekah mengandung makna solidaritas sosial,
“paheuyeuk-heuyeuk leungeun” atau saling membantu dan saling menolong. Tatkala
di bulan ini tidak ada pesta hajatan, orang-orang miskin yang biasa membantu
menjadi kehilangan sumber rezeki. Dengan sedekah mereka kembali mendapatkan
topangan hidup.
Sedangkan, di
kalangan masyarakat Banjar kepercayaan atau keyakinan tentang mitos bulan Safar
ini, menurut penulis, boleh jadi karena memang banyak kasus atau kejadian yang
menimpa orang Banjar dan kebetulan pas di bulan Safar. Sehingga karena
seringnya terjadi apa yang ditakuti oleh orang Banjar di atas pada bulan Safar,
lalu mereka menjustifikasi bulan Safar sebagai bulan penuh kesialan,
marabahaya, dan seterusnya. Akibatnya, dalam perspektif orang Banjar, bulan
Safar adalah bulan yang harus diwaspadai dan ditakuti. Pantang bagi mereka
untuk melakukan kegiatan-kegiatan penting di bulan Safar, misalnya perkawinan,
membangun batajak (rumah), menurunkan kapal, bepergian jauh (madam), memulai
usaha (dagang, bercocok tanam), mendulang emas atau intan, dan sebagainya.
Sebab, ujung dari semua kegiatan tersebut dalam pemahaman mereka adalah
kegagalan dan kesusahan, dan khusus bagi mereka yang mendulang sangat rentan
terkena racun atau wisa.
Nah, untuk
itulah menjadi hal yang signifikan merekonstruksi kepercayaan dan keyakinan
(pemahaman) masyarakat terhadap bulan Safar, agar tidak menjadi sebuah mitos
dan trauma yang menakutkan. Karena, dalam catatan sejarah Islam sendiri banyak peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi dibulan Safar, antara lain: 1) Berlangsungnya
perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah binti Khuwalid, 2)
Peperangan pertama yang diikuti Rasulullah Saw, yakni perang ‘Wudan’ atau
‘Abwa’ untuk menentang kekufuran, 3) Peperangan Zi-Amin dan Bi’ru
Ma’unah yang terjadi pada tahun ke-3 dan ke-4 Hijriyah, dibawah pimpinan
Al-Munzir bin ‘Amr As Sa’idiy, 4) Perang Khaibar terhadap orang-orang
Yahudi, terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah, 5) Peperangan Maraj Rahit pada
tahun ke-13 Hijriyah di pinggiran kota Damaskus (Syiria) di bawah pimpinan
Khalid bin Al-Walid, 6) Pelantikan ‘Abd. Rahman Al Ghafiqiy sebagai
Gubernur Andalusia (Spanyol) pada thun 113 H, 7) Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari (ulama besar Kalimantan) dilahirkan pada tanggal 15 Safar 1122 H,
dan lain-lain. Dengan demikian bulan Safar tidak selalu identik dengan bulan kejelekan
atau bulan kesialan.
Al-Quran dengan
tegas menyatakan: “Katakanlah (wahai Muhammad), tidak sekali-kali akan menimpa
kami sesuatu pun melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah
pelindung yang menyelamatkan kami dan kepada Allah jualah hendaknya orang-orang
yang beriman bertawakkal.” (QS. At-Taubah 51). Pada ayat yang lain: “Jika kamu
ditimpa musibah, maka katakanlah “Innaalillahi wa Inaailaihi Raaji’uun”. Inilah
sepatutnya yang menjadi pegangan umat Islam dalam memaknai bulan Safar dan
hal-hal yang terjadi di dalamnya dengan memperbanyak amal ibadah, dzikir, doa,
sedekah, guna lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Rasulullah SAW sendiri menamai
bulan Safar sebagai bulan sunnah atau Safar Al-Khair. Waallahu A’lamu Bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar