BERITA MEDIA PUBLIK - JAKARTA. Belum genap
tiga tahun disahkan, UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) segera direvisi. Penyebabnya, kewenangan Ditjen Pajak yang
terlalu luas dinilai sering merugikan wajib pajak (WP).
Ketua Panja
Perpajakan Komisi XI DPR Melchias Mekeng mengatakan, pihaknya mendapatkan
masukan dari beberapa wajib pajak yang mengeluh karena diperlakukan
sewenang-wenang oleh aparat pajak. ''Salah satu rekomendasi dari panja ini
adalah revisi undang-undang perpajakan,'' ujarnya di Komisi XI DPR kemarin.
Menurut Mekeng, salah satu poin penting yang akan direvisi adalah kewenangan
menteri keuangan dan Dirjen Pajak untuk mengeluarkan peraturan-peraturan
perpajakan. ''Selama ini, kewenangan itu berlebihan,'' katanya.
Padahal, sesuai
UUD 1945, seluruh aturan mengenai pemungutan pajak, mulai objek yang dipungut
hingga tata cara pemungutannya, harus dilakukan berdasar undang-undang. Bukan
hanya peraturan menteri atau surat edaran Dirjen Pajak. ''Praktik selama ini
bisa dikatakan tidak sesuai undang-undang sehingga harus segeradirevisi,terangnya.
Poin lain yang
akan direvisi adalah pasal penjelasan dalam UU KUP. Menurut dia, terlalu banyak
pasal penjelasan yang hanya menyebut ''cukup jelas''. ''Pasal penjelasan ini
harus diperjelas. Kata-kata 'cukup jelas' harus dihilangkan dan diberi
deskripsi yang benar-benar jelas. Dengan begitu, saat berhadapan dengan aparat,
wajib pajak paham maksud aturannya seperti apa. Jangan sampai ketidakjelasan
itu justru dimanipulasi oleh oknum,'' ujarnya.
Item lain yang
akan direvisi adalah pengusutan perkara pajak. Menurut dia, saat ini penyidikan
oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Ditjen Pajak tidak diatur secara
jelas. ''Akibatnya, kasus perpajakan bisa terkatung-katung. Pengumpulan bukti
permulaan saja bisa sampai bertahun-tahun,'' katanya.
Padahal, sudah
ada prosedur untuk pengusutan kasus perpajakan. Misalnya, bukti permulaan bisa
dilihat dari identifikasi data dan laporan pengaduan. ''Kalau sudah sampai
periode tertentu Ditjen Pajak tidak bisa menemukan bukti kuat pelanggaran
pajak, ya harus dilepas. Jangan dibuat terkatung-katung,'' paparnya.
Mekeng
mencontohkan kasus sengketa pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS), perusahaan trader
minyak sawit di Medan yang dituduh mengemplang pajak Rp 300 miliar dengan modus
faktur fiktif. Kasusnya berlangsung sejak 2007 dan tidak kunjung tuntas.
''Kalau berlarut-larut seperti ini, kasihan wajib pajaknya,'' ujarnya.
Kemarin
manajemen PT PHS dipanggil Panja Perpajakan Komisi XI DPR untuk dimintai
keterangan. Direktur PT PHS Johnny Virgo mengklaim, dalam kasus tersebut,
justru pihaknya yang menjadi korban. Sebab, yang bersalah adalah supplier-nya.
Bahkan, Johnny
menyebut, pihaknya justru dirugikan karena hak restitusi pajak Rp 530 miliar
hingga kini masih ditahan Ditjen Pajak. ''Ini mengganggu likuiditas perusahaan,''
katanya.
Mekeng menilai,
revisi UU perpajakan tidak akan mengganggu target penerimaan. Justru
sebaliknya, jika wajib pajak diperlakukan dengan semestinya, kepatuhan membayar
akan meningkat. ''Dengan demikian, penerimaan pajak justru meningkat,'' ujarnya.
Revisi UU
Perpajakan juga ditanggapi positif pengamat perpajakan Darussalam. Menurut dia,
kewenangan Ditjen Pajak yang diatur dalam UU KUP memang terlalu luas.
''Akibatnya, banyak aturan pajak yang mendapat resistensi oleh wajib pajak.
Karena itu, memang semestinya diperbaiki,'' tegasnya.
(TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar