Sabtu, 10 Oktober 2009

Panja Perpajakan DPR Segera Revisi UU Pajak

BERITA MEDIA PUBLIK - JAKARTA. Belum genap tiga tahun disahkan, UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) segera direvisi. Penyebabnya, kewenangan Ditjen Pajak yang terlalu luas dinilai sering merugikan wajib pajak (WP).

Ketua Panja Perpajakan Komisi XI DPR Melchias Mekeng mengatakan, pihaknya mendapatkan masukan dari beberapa wajib pajak yang mengeluh karena diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat pajak. ''Salah satu rekomendasi dari panja ini adalah revisi undang-undang perpajakan,'' ujarnya di Komisi XI DPR kemarin. Menurut Mekeng, salah satu poin penting yang akan direvisi adalah kewenangan menteri keuangan dan Dirjen Pajak untuk mengeluarkan peraturan-peraturan perpajakan. ''Selama ini, kewenangan itu berlebihan,'' katanya.

Padahal, sesuai UUD 1945, seluruh aturan mengenai pemungutan pajak, mulai objek yang dipungut hingga tata cara pemungutannya, harus dilakukan berdasar undang-undang. Bukan hanya peraturan menteri atau surat edaran Dirjen Pajak. ''Praktik selama ini bisa dikatakan tidak sesuai undang-undang sehingga harus segeradirevisi,terangnya.

Poin lain yang akan direvisi adalah pasal penjelasan dalam UU KUP. Menurut dia, terlalu banyak pasal penjelasan yang hanya menyebut ''cukup jelas''. ''Pasal penjelasan ini harus diperjelas. Kata-kata 'cukup jelas' harus dihilangkan dan diberi deskripsi yang benar-benar jelas. Dengan begitu, saat berhadapan dengan aparat, wajib pajak paham maksud aturannya seperti apa. Jangan sampai ketidakjelasan itu justru dimanipulasi oleh oknum,'' ujarnya. 

Item lain yang akan direvisi adalah pengusutan perkara pajak. Menurut dia, saat ini penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Ditjen Pajak tidak diatur secara jelas. ''Akibatnya, kasus perpajakan bisa terkatung-katung. Pengumpulan bukti permulaan saja bisa sampai bertahun-tahun,'' katanya. 

Padahal, sudah ada prosedur untuk pengusutan kasus perpajakan. Misalnya, bukti permulaan bisa dilihat dari identifikasi data dan laporan pengaduan. ''Kalau sudah sampai periode tertentu Ditjen Pajak tidak bisa menemukan bukti kuat pelanggaran pajak, ya harus dilepas. Jangan dibuat terkatung-katung,'' paparnya. 

Mekeng mencontohkan kasus sengketa pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS), perusahaan trader minyak sawit di Medan yang dituduh mengemplang pajak Rp 300 miliar dengan modus faktur fiktif. Kasusnya berlangsung sejak 2007 dan tidak kunjung tuntas. ''Kalau berlarut-larut seperti ini, kasihan wajib pajaknya,'' ujarnya. 

Kemarin manajemen PT PHS dipanggil Panja Perpajakan Komisi XI DPR untuk dimintai keterangan. Direktur PT PHS Johnny Virgo mengklaim, dalam kasus tersebut, justru pihaknya yang menjadi korban. Sebab, yang bersalah adalah supplier-nya.

Bahkan, Johnny menyebut, pihaknya justru dirugikan karena hak restitusi pajak Rp 530 miliar hingga kini masih ditahan Ditjen Pajak. ''Ini mengganggu likuiditas perusahaan,'' katanya.

Mekeng menilai, revisi UU perpajakan tidak akan mengganggu target penerimaan. Justru sebaliknya, jika wajib pajak diperlakukan dengan semestinya, kepatuhan membayar akan meningkat. ''Dengan demikian, penerimaan pajak justru meningkat,'' ujarnya. 

Revisi UU Perpajakan juga ditanggapi positif pengamat perpajakan Darussalam. Menurut dia, kewenangan Ditjen Pajak yang diatur dalam UU KUP memang terlalu luas. ''Akibatnya, banyak aturan pajak yang mendapat resistensi oleh wajib pajak. Karena itu, memang semestinya diperbaiki,'' tegasnya. (TIM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar