Minggu, 29 Juni 2008

KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh : Muhammad Rafiq, S.H.I  (Sekretaris Jenderal LAN Kalimantan)

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah,bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkutupaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampumengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang ataumenjadi (on becoming ), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untukmencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masihkurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, jugapengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatukeniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secaramulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidakselalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupunsosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terja didalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat.Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinyastagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku.

Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dankesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah pendudukyang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat,revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahanstruktur masyarakat dari agraris ke industri.Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografidi televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obatterlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga;dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gayahidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah,tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika,Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy,  putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuaidengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalamtujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwaterhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan danketerampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yangmantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dankebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagisemua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannyasecara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan sepertidisebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secarasistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secaraproaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yangmengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidangadministratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidangbimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akanmenghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurangmemiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling,yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat padakonselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif.Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling ), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidanceand Counseling).

Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepadaupaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasanmasalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingandan konseling berbasis standar  (standard based guidance and  counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor denganpara personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, danstaf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansipemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasidengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upayamembantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinyasecara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasahdiorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputias-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadikonseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual  (biologis, psikis, sosial,dan spiritual). ***

Jumat, 13 Juni 2008

STANDAR BIAYA HIDUP DI BALIKPAPAN

BERITA MEDIA PUBLIK - BALIKPAPAN. Dengan laju inflasi Mei sebesar 0,45 persen, berdasarkan rata-rata tertimbang (jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangga : 250 jumlah komoditi) standar biaya hidup Balikpapan mencapai Rp 3,22 juta, atau tertinggi secara regional Kalimantan.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Balikpapan Basiran Suwandi mengatakan, rata-rata biaya hidup yang harus ditanggung oleh rumah tangga di Balikpapan sebesar Rp 3,22 juta, dengan nilai indeks biaya hidup sebesar 1,20.

“Untuk tingkat regional, Balikpapan menempati urutan teratas berdasarkan survei biaya hidup yang dilaksanakan di 4 ibukota provinsi dan 2 kota se Kalimantan. Sedangkan secara nasional, Balikpapan menempati urutan ke-8,” katanya saat ditemui di kantornya pagi tadi, Jumat (13/6) kemarin.

Berdasarkan skala regional, rata-rata biaya hidup di Kalimantan sebesar Rp 2,82 juta atau 4,42 persen lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu Rp 2,7 juta. Kota-kota yang biaya hidupnya lebih tinggi dari rata-rata biaya hidup regional, yaitu Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda dengan indeks masing-masing sebesar 1,14; 1,07; dan 1,07. Sementara untuk Sampit, Palangkaraya, dan Banjarmasin biaya hidupnya lebih rendah dari rata-rata dengan indeks tiap kota sebesar 0,94; 0,93, dan 0,84.

Secara nasional, dari 45 kota yang menjadi lokasi survei, rata-rata biaya hidup yang mencapai lebih dari Rp 3 juta terdapat di Jakarta, Banda, Aceh, Jayapura, Batam, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Balikpapan, Ternate, Bandar Lampung, Kendari, Pontianak, Samarinda, dan Denpasar.

Sedangkan rata-rata tertimbang standar biaya hidup secara nasional sebesar Rp 3,07 juta, dan rata-rata hitung tidak tertimbang maka biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya sebesar Rp 2,7 juta. (TIM)

Minggu, 01 Juni 2008

KOLONISASI BBM BERLANJUT?

Berita Media Publik. Kenaikan harga BBM Sabtu, 24 Mei 2008 lalu belum akan menyurutkan gerakan penolakannya. Hal ini mengingat kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri. Kebijakan yang telah memicu naiknya harga sembako, tarif angkutan umum, dan PHK tersebut lebih merupakan refleksi struktur ekonomi kolonialistik dan implikasi jalan ekonomi neoliberal pemerintah. Bagaimana bisa?

Kolonisasi BBM?
Lihatlah struktur produksi minyak Indonesia. Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia.

Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).

Penguasaan minyak oleh korporasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery, dan tingkat harga minyak. Akibatnya pemenuhan kebutuhan domestik yang sekiranya dapat menstabilkan harga domestik tidak lagi menjadi utama. Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada tahun 2007. Tetapi pada saat yang sama minyak kita pun dijual ke luar negeri sebanyak 348.314 barel/hari (ESDM, 2008).

Sementara itu, biaya produksi minyak di Indonesia membengkak hingga 9 dollar AS per barrel. Padahal di Malaysia hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel dan di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel. Di samping itu, cost recovery menjadi kian meningkat dan hampir mencapai 30% pada tahun 2007.

Kontrol minyak oleh pasar (korporasi?) pada akhirnya diwujudkan melalui “pemaksaan” penentuan harga minyak internasional di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia (Kwik, 2007).

Akibatnya harga minyak tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara yang berdaulat. Harga diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga kini keuntungannya telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 Trilyun (3 April 2008).

Kolonisasi ini kian dikukuhkan melalui kepatuhan (keterpaksaan?) menteri-menteri ekonom neoliberal rezim pemerintahan SBY-JK dalam menjalankan agenda-agenda Konsensus Washington. Naiknya harga BBM merupakan implikasi dilakukannya liberalisasi, privatisasi, pengahapusan subsidi, dan deregulasi migas yang menjadi pilar agenda tersebut. Jalan ekonomi neoliberal inilah yang memaksa diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar (penghapusan subsidi), dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir.

Menyusul kenaikan harga BBM pada 2005 lalu, beberapa pemodal asing mulai menancapkan kukunya dalam bisnis eceran BBM di Indonesia. Sejauh ini, jaringan SPBU mereka masih terbatas dalam wilayah Jabodetabek. Tetapi dalam jangka panjang, mereka jelas ingin mengepakkan sayapnya ke seluruh penjuru Indonesia.

Bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008).

Kebohongan Publik?
Tanpa melakukan koreksi struktur dan jalan ekonomi tersebut, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah akan cenderung tidak pro-rakyat. Hal inilah yang rupanya tidak diakui oleh rezim pemerintahan SBY-JK yang dalam upayanya meyakinkan tiadanya pilihan selain menaikkan harga BBM menyampaikan alasan-alasan yang tidak disertai dengan data dan fakta yang lengkap (terbuka). Mengapa?

Pertama, alasan bahwa tanpa menaikkan BBM maka APBN akan “jebol” terkesan mengada-ada. Kenaikan harga minyak internasional selain menambah pengeluaran untuk pembelian impor BBM sebenarnya juga menambah penerimaan negara dari ekspor dan pajak dari minyak.

Data APBN-P 2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selain menambah besaran “subsidi” BBM dari Rp. 45,8 T menjadi Rp. 126,8 T (naik Rp. 81 T) juga menambah PPH migas dari Rp. 41.6 T menjadi Rp. 53,6 T, pajak ekspor dari Rp. 4,0 T menjadi Rp. 11,1 T, dan Penerimaan Minyak Bumi dari Rp. 84,3T menjadi sebesar Rp. 149 T. Total perkiraan kenaikan penerimaan negara adalah sebesar Rp. 84 T. Ini yang tidak pernah dijelaskan pemerintah.

Kedua, alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya sehingga perlu dihapus cenderung dicari-cari. Pelaku usaha transportasi rakyat, industri kecil, dan nelayan juga merupakan konsumen terbesar BBM. Dalam struktur ekonomi yang timpang dan kolonialistik seperti di atas memang hampir semua layanan publik sepertihalnya jalan tol, jasa kepolisian, dan belanja publik lainnya akan lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan termasuk keberadaan pemerintah itu sendiri. Apakah pemerintah dengan begitu perlu dihapuskan?

Dalam logika barang publik maka akses didapat dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Lagi pula, mengapa pemerintah tidak menghapus subsidi ke bank-bank yang jelas-jelas milik orang kaya yang dibayar sebesar Rp.40 T/tahun melalui oblikasi rekap?

Ketiga, alasan bahwa harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita.

Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008).

Keempat, alasan bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid).

Kelima, alasan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain dalam “menyelamatkan APBN” selain menaikkan harga BBM pun terlalu lemah. Tersedia berbagai opsi untuk itu sepertihalnya penghapusan utang haram rezim korup dan diktator (odious debt) yang telah menguras seperempat APBN, pencabutan pembayaran bunga obligasi rekap, penetapan pajak progresif, dan penyelamatan aset-aset (SDA) negara yang dicuri.

Keenam, alasan bahwa dampak negatif kenaikan harga BBM dapat dieliminasi dan melalui penyaluran BLT sungguh terlalu naif. Belajar dari tahun 2005, BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah.

Dekolonisasi Migas?
Berpijak pada pemikiran di atas maka tidak pada tempatnya mengakhiri perlawanan kebijakan BBM ketika melihat bahwa hakekat dari kebijakan tersebut adalah kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) akibat paksaan struktur, jalan, dan pemikiran ekonomi kolonialistik di Indonesia.

Oleh karenanya, segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan jalan ekonomi nasional ke jalan konstitusi, di mana kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.

Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Di samping itu, tingkat harga migas dapat ditentukan oleh pemerintah secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini.

Kita perlu mendesak pemerintah untuk menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing.

Pemerintah harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan Pertamina dan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumber-sumber energi nasional.

Saatnya mengakhiri sindrom kompradorisme dan mental inlander bangsa dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama bangkit. Bangkit tidak lain adalah memperjuangkan tegaknya konstitusi dan mengakhiri neokolonialisme ekonomi Indonesia.***