Selasa, 22 Maret 2005

Negara Hukum atau yang Dihukum

Indonesia lebih dulu harus menegakkan hukum di negeri sendiri sebelum meminta Singapura menjadi penegak hukum bagi Indonesia. Demikian komentar Menlu Singapura George Yeo (Tempo, 27/2/2005).

Pernyatan ini merupakan sindiran kepada sistem hukum kita yang mereka nilai  cenderung korup. Misalnya, antara pejabat dan pengusaha yang kemudian berdampak pada kerugian Negara.

Sindiran George Yeo itu bukannya tidak beralasan. Sebab, kita beberapa kali  mendesak Pemerintah Singapura supaya menandatangani perjanjian ekstradisi  dengan harapan koruptor yang bersembunyi di sana dapat ditangkap berikut dana  yang mereka bawa lari.

Terlepas dari benar atau salah pernyataan tersebut, sebagai sebuah negara hokum tentu Indonesia perlu melakukan instropeksi diri untuk memperbaiki citra hukum beserta aparat hukum di negeri ini. Untuk itu, dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat diatur oleh UU (hukum/peraturan) sebagai konsekuensinya.

Kini yang jadi masalah adalah bagaimana upaya penegakan hukum (law enforcement) itu sebagai jaminan adanya kepastian hukum. Sebagaimana kita ketahui, banyak sekali permasalahan/pelanggaran hukum yang terjadi di negari ini tidak terselesaikan. Seperti kasus pelanggaran HAM, korupsi, illegal logging dll.

Misalnya kasus pelanggaran HAM Semanggi I dan II, Tanjung Priok, pembunuhan aktivis HAM Munir, dll. Pada kasus korupsi, banyak pelaku yang lolos dari jerat atau sanksi hukum. Bagi mereka yang terjerat hanya mendapatkan hukuman sangat minim atau ringan, bahkan kesan tebang pilih begitu kuat aromanya.

Krisis kepercayaan telah jauh memasuki kita semua hingga sampai pada sektor hukum. Hal ini terlihat jelas melalui berbagai permasalahan yang ada di masyarakat diselesaikan tidak melalui jalur hukum tapi unjuk kekuatan, main hakim sendiri yang menimbulkan pelanggaran hukum baru.

Tidak salah Tajuk BPost edisi 10 dan 14 Mei berjudul Era Hukum yang Konyol dan Susahnya Menegakkan Hukum di Indonesia, sebagai ungkapan keprihatinan atas berbagai kasus pelanggaran hukum dan penegakannya.

Misalnya pada kasus perebutan/sengketa tanah di Meruya. Keputusan MA yang memenangkan PT Portanigra dan memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk melakukan eksekusi, tapi mendapat perlawanan warga. Uniknya, anggota DPR dan pejabat juga terkesan ikut menghalangi proses hukum sebab mereka meminta eksekusi ditunda. Kita sesalkan, ranah hukum terkesan mendapat tekanan dan intervensi dalam membuat suatu putusan. Semestinya proses hukum berikut keputusannya harus lepas dari segala tekanan, termasuk oleh kekuasaan/pemerintah. Hebatnya lagi, permintaan penundaan eksekusi itu akhirnya terwujud sesuai janji mereka pada warga Meruya Selatan.

Sudah semestinya, di negara yang mengaku sebagai negara hukum menaati dan menghormati segala keputusan yang dikeluarkan lembaga hukum seperti pengadilan. Kalaupun tidak terima atas putusan hukum, sebaiknya lakukanlah perlawanan melalui aturan hukum juga. Bukan melalui jalur politik atau pameran kekuatan massa sebagai alat penekan atas putusan hukum. Kalau ini yang terjadi, maka Hukum Rimbalah yang berlaku.

Jika Proses hukum di negara yang katanya negara hukum tidak bisa ditegakkan, bukannya kepastian hukum yang diperoleh tapi kepastian menjadi bangsa dan negara yang dihukum. Banyak sudah contoh negara/bangsa yang dihukum, karena mereka tidak patuh pada norma hukum yang berlaku. Misalnya, kaum Nabi Nuh dan Luth, Mereka ditimpakan bencana oleh Allah karena tidak taat pada ajaran Nya(hukum) yang disampaikan.

Negeri kita sendiri akan cenderung tidak dihormati dan berwibawa di mata bangsa lain. Hal itu dapat mereka lakukan melalui berbagai tindakan. Di antaranya dengan membatalkan atau menghentikan berbagai investasi mereka yang ada. Bagi investor yang nakal, dapat melakukan kolusi/suap dengan pejabat yang berakibat merugikan negara. Misalnya, mereka tidak peduli pada kerusakan lingkungan
karena putusan hukum dapat mereka beli.

Kejahatan akan terus beraksi di negeri ini sebagai hukuman atas ketidakberdayaan kita dalam menegakkan hukum itu sendiri. Kita semua jauh dari rasa aman dan nyaman hidup di negeri sendiri.

Pilihan ada pada bangsa kita sendiri, mau jadi negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum lewat penegakkannya atau justru menjadi negara yang dihukum. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar