Senin, 12 April 2004

Sebaiknya MK Tidak Dimonopoli Advokat

MEDIA PUBLIK-JAKARTA. Rencana AAI untuk membatasi pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentang oleh sejumlah kalangan termasuk advokat. Monopoli advokat terhadap Mahkamah Konstitusi dianggap mempersempit kesempatan masyarakat untuk memperoleh keadilan.
 
Boediman Moenadjad, salah seorang pemohon judicial review, menyatakan keberatan jika pihak yang beracara di Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya untuk para advokat berlisensi. Menurutnya, beracara di Mahkamah Konstitusi adalah hak semua masyarakat dan tidak boleh dimonopoli advokat. 

Sebab itu, Moenadjad tidak setuju dengan ide Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang yang hendak membuat nota kesepahaman dengan Mahkamah Konstitusi soal perlunya izin praktek di lembaga yang diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie tersebut. 

"Itu sama saja dengan mencari lahan pekerjaan buat mereka (advokat, red) juga," ucap Moenadjad. Saat ini, Moenadjad telah melayangkan dua permohonan hak uji undang-undang dan telah masuk pada pemeriksaan persidangan di Mahkamah Konstitusi akhir Maret lalu.

Dua undang-undang yang diajukan judical review oleh Moenadjad adalah Undang-undang No.6/1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-undang No.15/2002 tentang Pencucian Uang. Moenadjad yang pegawai pensiunan Departemen Sosial menyusun permohonan judicial review terhadap kedua undang-undang tersebut tanpa bantuan kuasa hukum atau pengacara.

Dengan dua permohonan judicial review tersebut, Moenadjad memang berhasil membuktikan bahwa ia yang bukan advokat berlisensi juga mampu beracara di Mahkamah Konstitusi. Meski, kemampuannya menyusun judicial review itu sedikit banyak karena pendidikan terakhir Moenadjad di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1966.

Sebenarnya, Moenadjad bukanlah satu-satunya pihak yang non advokat berlisensi yang sudah merasakan beracara di Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, anggota DPR dr Sukowaluyo Mintohardjo yang mewakili DPR dan Ir. Soedjarwo Soeromihardjo, kuasa dari Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (ASPPAT) adalah beberapa diantaranya.

Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing juga menyatakan tidak setuju jika pihak yang beracara di Mahkamah Konstitusi menjadi monopoli advokat. Menurutnya, tidak sedikit pemohon judicial review yang lebih menguasai materi hukum yang dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi daripada advokat.

Sekalipun Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat menggariskan bahwa advokat merupakan profesi pemberi jasa hukum di dalam maupun luar pengadilan, namun di mata Uli Mahkamah Konstitusi terbuka untuk siapapun yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena terbitnya sebuah undang-undang.

"Itu bukan argumen yang tepat dengan memakai UU Advokat. Pemohon lebih pintar dari advokat untuk hal-hal tertentu misalkan teknis perundang-undangan, materi perundang-undangannya. Kalaupun dimonopoli advokat itu justru akan mempersempit masyarakat untuk memperoleh akses keadilan," tegas Uli.

Apalagi, tambah Uli, teknik beracara di Mahkamah Konstitusi tidak sesulit beracara di pengadilan pada umumnya atau pengadilan khusus seperti Pengadilan Niaga atau Pengadilan Pajak. "Nggak perlu keahlian khusus, karena itukan sebenarnya bisa dipahami sendiri asal baca undang-undangnya. Jadi mudah dipahami," jelasnya. 

Uli yang belum lama ini memenangkan permohonan judicial review terhadap UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum dan sukses mengembalikan hak pilih para eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), mengatakan bahwa hukum acara Mahkamah Konstitusi mirip sistem juri. Sehingga, kemungkinan untuk terjadi kolusi sangatlah kecil.

Belum lagi dengan tidak adanya ongkos perkara sepeserpun yang dipungut oleh Mahkamah Konstitusi, menurut Uli, membuat sulit sekali bagi pengacara "komersil" untuk menarik profit yang banyak dari klien mereka. "Saya curiga justru rencana itu (membuka) peluang buat pengacara untuk menarik klien. Profit jadinya," tutur Uli.

Dihubungi terpisah, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin berpendapat bahwa masalah ijin praktek di Mahkamah Konstitusi lebih tepat jika diselesaikan di lingkungan organisasi advokat tanpa melibatkan Mahkamah Konstitusi. (TIM)