Sehatkan Mental dan Pikiran dengan Sunnah Nabi Sehari-hari. engan mengingat Allah seseorang akan menemukan kembali pendengarannya setelah tuli, memperoleh kembali pandangannya setelah buta....
Oleh: Hasbi Tanjung (Wakil Sekjend AWPI)MEDIA PUBLIK
DUNIA modern memang menyediakan berbagai macam perangkat teknologi, yang memudahkan segala urusan teknis manusia. Tetapi dunia modern tidak menyediakan konsep dan metode bagaimana hidup tentram dan bahagia. Apalagi standar utama kemakmuran dalam dunia modern tidak bisa diukur melainkan dengan materi belaka.
Akibatnya dunia modern tidak serta-merta hanya mengisi dunia dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi juga menyisakan problem serius yang mengancam mental dan pikiran manusia yang berujung pada terjadinya krisis moral luar biasa.
Krisis moral adalah akibat dari rusaknya mental dan nalar berpikir manusia dari yang seharusnya. Bagaimana tidak, mayoritas orang kini berpikir serba instan, pragmatis, dan hedonis. Demi kenikmatan-kenikmatan materi, manusia modern rela mengorbankan eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial. Merasa cukup bahagia dengan harta dan tidak pernah resah-gelisah dengan nasib sesama.
Manusia modern kini banyak yang mengalami apa yang disebut dengan sakit psikosomatik. Sebuah penyakit mental dan pikiran yang tentunya tidak disebabkan oleh bakteri, virus, atau pertumbuhan jaringan tubuh yang tidak normal. Melainkan karena sikap dan perilaku sehari-hari yang jauh dari pengamalan nilai-nilai agama. Apalagi secara sosial, religiusitas umat Islam Indonesia juga kian tergerus dan semakin memprihatinkan.
Seorang penulis memberikan perbandingan yang sangat tajam. Manusia primitif bahkan lebih baik dalam memuaskan dorongan hasratnya ketimbang manusia modern. Kehidupan mereka yang nomaden terbebas dari kegelisahan mental.
Manusia primitif tidak menderita sakit jiwa, hingga menghalalkan segala cara seperti sekarang marak terjadi. Justru karena kemajuan peradaban dalam bidang teknologi, industri, dan urbanisasi, manusia modern banyak yang menderita sakit mental yang sangat serius.
Serakah
Pertanyaannya kemudian mengapa justru manusia modern yang secara sains dan teknologi berada di atas manusia primitif, malah lebih buruk mentalitasnya? Jawabannya sederhana, manusia modern gagal mengendalikan diri dari sifat rakus, serakah, alias tamak.
Ilmu yang dimiliki tidak dimaksimalkan untuk membangun kemaslahatan bersama. Melainkan untuk ambisi pribadi semata. Ketika ini menjadi tabiat sebuah masyarakat, di mana materialisme menjadi sumbu sentral dalam kehidupannya, maka kemakmuran material adalah yang paling utama di atas segala-galanya, sekalipun secara lahiriah mereka masih mengaku beragama.
Kini, banyak kita saksikan, termasuk di lingkungan yang tidak jauh dari kehidupan kita, manusia berbondong-bondong mencari kepuasan materil dan mengabaikan kebutuhan jiwa yang menjadi unsur utama kemanusiaan.
Padahal, keika manusia mengabaikan kebutuhan batiniahnya, berarti ia telah mendustai eksistensi dirinya yang paling hakiki. Oleh karena itu wajar jika kemudian kehidupan manusia modern mayoritas berada dalam tekanan dan kegelisahan secara terus-menerus. Hal itu tiada lain karena ketamakan, kerakusan, dan keserakahan yang menjadikan iman dan akal sehatnya tumpul tak berguna.
Ketika manusia telah kehilangan api iman dan akal sehatnya, maka sungguh ia tidak akan pernah hidup bahagia, meskipun berilmu dan berharta. Karena orang seperti itu adalah orang yang hidup untuk hawa nafsu.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ
اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS Al-Jaatsiyah [45] : 23).
Resep Bahagia
Memiliki harta tidak haram dalam Islam, bahkan perlu dalam perjuangan. Menjadi manusia produktif juga bukan larangan, malah merupakan teladan dari Nabi dan para sahabat, serta alim ulama.
Islam hanya melarang umatnya hidup timpang, dengan mengedepankan kehidupan dunia dan mengabaikan kehidupan akhirat. Apalagi menjadikan dunia sebagai surga hingga takut mati.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashshash [28] : 77).
Ayat tersebut merupakan panduan atau boleh dikatakan resep untuk hidup bahagia. Persis seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu hidup dengan mengedepankan kebahagiaan akhirat dengan tidak mengabaikan dunia.
Mentalitas dan daya nalar seperti ini harus dibangun oleh setiap jiwa umat Islam. Karena inilah kunci hidup yang paling utama untuk bisa menjadi lebih tentram dan bahagia bahkan lebih aktif dan produktif.
Tidak berlebihan jika ada ungkapan bahwa umat Islam masa lalu berkepribadian luar biasa. Di siang hari mereka laksana singa jantan, di malam hari mereka menjadi ahli ibadah, yang bermunajat di keheningan malam mengharap pertolongan dan kemengan dari Allah SWT.
Siang dan malam mereka menjadi sangat produktif. Kesibukan niaga dan berbagai perkara keduniawian tidak menyebabkan mereka jauh apalagi ogah dengan ibadah dan Al-Qur’an. Siang mereka bekerja keras, malam mereka bangun, berdoa dan memohon ampunan. Hal inilah yang menyebabkan mentalitas dan daya nalar umat Islam dahulu tetap stabil, sekalipun hidup berlimpah harta. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf.
Dengan cara pandang akhirat lebih utama dengan tidak mengabaikan dunia menjadikan para sahabat hidup tentram dan bahagia. Baik mereka yang kaya ataupun tidak. Semua merasa bahagia, karena setiap hari mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi secara sungguh-sungguh.
Keseharian Nabi
Bagaiman Nabi mengisi hari-harinya? Tentu banyak uraian yang menjelaskan bagaiman Nabi mengisi hidupnya sehari-hari. Tetapi secara global tradisi Nabi dalam keseharian itu dapat dilihat dari kandungan Surah Al-Muzzammil ayat 1 – 10.
Di keheningan malam yang sunyi dan melelapkan, Nabi saw justru beranjak dari tempat tidur, menyibakkan selimut, tegak dan mendirikan sholat sunnah tahajjud. Kemudian membaca Al-Qur’an dengan tartil. Dalam makna filosofis tartil bisa diartikan sebagai membaca dengan penuh kesungguhan untuk benar-benar memahami kandungan bacaan Al-Qur’an untuk diamalkan.
Kemudian Nabi saw tidak pernah lepas dari menyebut nama Allah (dzikir) dan beribadah dengan penuh ketekunan (konsisten). Itulah mengapa Nabi saw tidak mudah terbawa emosi, apalagi memperturutkan ambisi pribadi.
Apapun yang terjadi, Nabi saw senantiasa mengingat Allah, sehingga setiap keputusan dan kebijakannya senantiasa mendatangkan maslahat. Bagi Nabi saw, Allah adalah satu-satunya tempat mengadu, berlindung, dan memohon pertolongan.
Sebagai orang beriman kita patut untuk bersungguh-sungguh meneladani tradisi Nabi saw dalam sehari-hari. Apapun aktivitas kita, status kita, dan problem kehidupan kita, semua akan mudah untuk diatasi jika kita benar-benar mengikuti dan meneladani sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sebab hanya dengan cara seperti itulah, kita benar-benar akan mampu menghidupkan iman dengan benar.
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’d [13] : 28).
Sayyidina Ali r.a. menjelaskan bahwa dengan mengingat Allah seseorang akan menemukan kembali pendengarannya setelah tuli, memperoleh kembali pandangannya setelah buta, dan menjadi lembut serta penuh ketaatan setelah liar dan memberontak.
Dengan kata lain, orang yang jauh dari Allah akan tetap tuli, buta, dan liar. Inilah orang yang akan rusak mental dan kesehatan berpikirnya. Jika demikian, masihkah kita enggan untuk mengikuti sunnah-sunnah Nabi?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar