MEDIA PUBLIK - TANAH
BUMBU KALSEL. Bekerja merupakan sebuah kewajiban manusia
untuk memenuhi kebutuhannya guna melangsungkan hidup didunia ini, namun perlu
diperhatikan kaidah-kaidah dalam melakoni sebuah pekerjaan tersebut, seperti halnya
para penambang batubara ilegal yang terjadi di daerah Desa Hati`if dan Desa
Mangkalapi Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan
Selatan. Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan “LEKEM KALIMANTAN” bersama
LSM-LSM yang ada di Bumi Antasari telah melakukan pengamatan dalam melakukan investigasi kedaerah pertambangan batubara
selama tiga hari yang diawali pada hari Kamis sampai hari Sabtu, (29-31/1/2015)
melihat bahwa dampak akibat para penambang batubara ilegal tersebut alam Borneo
menjadi hancur carut marut.
Aspihani Ideris, S.AP, SH, MH (Derektur Eksekutif LEKEM Kalimantan “Lembaga
Kerukunan Masyarakat Kalimantan”) mengatakan kepada beberapa wartawan seusai
dari lapangan investigasi, lembaganya bersama beberapa LSM yang ada di
Kalimantan Selatan tergugah melakukan investigasi kedaerah pertambangan
batubara, karena mendengar dan menerima laporan dari masyarakat bahwa para
penambang ilegal saat ini dan dari dulu sangat marak di daerah Kabupaten Tanah Bumbu dan bahkan para
penambang itu sudah menjalin koordinasi yang baik terhadap para aparat serta
para penambang itu tidak memperhatikan reklamasi eks pertambangan itu sendiri.
Menurutnya
bahwa para LSM yang melakukan investigasi selama tiga hari pada hari Kamis-Sabtu, (29-31/1) ini
tergabung di bawah coordinator LSM Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan
disingkat LEKEM KALIMANTAN
diantaranya LSM Jaringan Masyarakat Kalimantan “JAMAK”, Bina Lingkungan Hidup Indonesia “BLHI Kalimantan”, Kajian Alam Lingkungan Hidup “KALIH”, Aliansi Jaringan Anak Kalimantan “AJAK”, Pemerhati Lingkungan Hidup “PELIH”, Pemerhati Lingkungan dan Tambang
Kalimantan “PELITA KALIMANTAN”,
Pengawas Lingkungan Hidup Indonesia “PLHI”, Pemerhati Tambang dan Korupsi “PETAK”, Lembaga Pemantau Pembangunan Daerah “LPPD”, Pemberantas Untuk Korupsi dan Lingkungan “PUKOL” dan LSM Masyarakat Peduli Lingkungan “LSM
Mapel”.
Hasil
investigasi kelapangan selama tiga hari ini ditemukan bahwa para penambang ilegal
itu menjadikan sebuah dasar dalam melakukan aktivitasnya dengan menggunakan
Surat Keterangan Tanah “SKT” yang dibelinya dari masyarakat sekitar, dan
diketahuipula ternyata tanah yang ditambang oleh para penambang ilegal itu
merupakan masuk dalam kawasan hutan produksi yang tidak boleh ditambang oleh siapapun juga, selain
itupula hal demikian terbukti dilapangan kami temukan adanya plang peringatan
tentang larangan melakukan kegiatan ataupun aktivitas penambangan dan pengangkutan hasil tambang
didalam Kawasan Hutan. Hal tersebutpun dipertegas dengan adanya sanksi pidana 15 tahun penjara dan denda sepuluh
milyar rupiah, terkecuali mereka harus ada Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan “IPPKH”
yang dikeluarkan langsung oleh Kementerian Kehutanan, ujarAspihani.
Dugaan
kamipun SKT-SKT yang dikeluarkan oleh para Pambakal itu tumpang tindih dengan
tanah Kawasan Hutan dan bahkan dugaan kami ada SKT yang melebihi dari ketentuan
Peraturan Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian
Hak atas Tanah, yang terdapat dalam Pasal 11 yang intinya berbunyi kepada para
Camat ataupun Kepala Kecamatan telah diberikan wewenang untuk memberikan izin
membuka tanah, yang luasannya tidak lebih dari 2 Hektar, kata Alumnus Magister
HukumUnisma Malang ini.
Intinya
kata pengacara muda ini bahwa para penambang ilegal tersebut melakukan aktivitasnya diduga kuat menggunakan
bamper masyarakat dengan di lindungi dan dibentengi oleh aparat sebagai bentuk
kerjasama dalam melakukan penambangan batubara serta bahkan tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah peraturan perundang-undang yang berlaku di NKRI, karena didalam
adanya bentuk hubungan yang terjalin dengan istilah nama koordinasi.
Senada
dengan pernyataan Aspihani Ideris bahwa Haji Saleh Saberan petinggi
LSM Aliansi Jaringan Anak Kalimantan “AJAK” menuturkan juga pada beberapa wartawan bahwa para penambang ilegal
ini sangat jelas sudah melakukan aktivitas pertambangan tanpa memperhatikan
kelestarian alam dan lingkungan hidup, terbukti dilapangan banyak sekali kami
temukan lobang-lobang besar menganga tanpa ada reklamasi
sedikitpun dari para pengusaha emas hitam ini, ujarnya.
Hasil
investigasi kamipun menemukan adanya Stock Pile tempat penumpukan batubara yang
kami duga kuat hasil dari tambang ilegal di wilayah Stock Pile milik PT.
Hati`if Bara Makmur “HBM”, dan disana kami menemukan ratusan ton bahkan mungkin
ribuan ton emas hitam masih menumpuk di Stock Pile tersebut, ujar bang Saleh
panggilan akrabnya.
Lebih
lanjut bang Saleh memaparkan kepada media ini bahwa menurut dia telah
mendapatkan informasi belakangan ini konflik lahan semakin marak dan
berkembang, dimana masyarakat sekitar kawasan HTI menuntut kembali lahan-lahan
yang mereka anggap sebagai lahan warga, selain itu pula mereka juga menuntut
ganti rugi lahan dengan adanya tumbuh tanaman diatas tanah tersebut serta diperparah
lagi dengan maraknya jual beli Surat Keterangan Tanah yang disingkat dengan kata SKT
dalam sebuah Kawasan Hutan yang disinyalir dilakukan oleh pemodal yang
dikatakan oleh mereka bos besar yang konon nantinya tanah tersebut dengan dasar
SKT itu akan dilakukan aktivitas pertambangan, karena dibawahnya sangat padat
dengan batubara kalori menggiurkan.
Direktur
LSM Bina Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan “BLHI Kalimantan” Badrul Ain Sanusi Al Afif, MS, MH menyatakan
bahwa pemantauan kami dilapangan atas aktivitas pertambangan yang dijalankan
oleh PT. Borneo Indobara (BIB) di Kawasan Hutan ternyata perusahaan itu
melakukan aktivitasnya sudah berdasarkan aturan yang berlaku di NKRI, yaitu
adanya surat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan “IPPKH” yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan serta mengantongi izin PKP2B yang melakukan penambangan
batubara di areal Kawasan Hutan. Artinya siapapun boleh menambang dan dikatakan legal selama mereka mengikuti prosudur hukum yang berlaku, tegasnya.
LSM
Bina Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan “BLHI Kalimantan” juga telah
memantau dilapangan bahwa aktivitas PT. Hutan Rindang Banua “PT. HRB” dan PT.
Kirana Chatulistiwa “PT. KC” sudah sangat maksimal yaitu terus melakukan upaya
menjaga Kawasan Hutan serta melakukan upaya penanaman tanaman dilahan yang
tandus yang awalnya dikuasai oleh masyarakat ataupun pihak lain yang
berkepentingan dan penguasaan itupun sangat jelas bertentangan dengan peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia, ujar Badrul.
Selain
itupula saya rasa, kata salah satu Direktur Persatuan LSM Kalimantan ini, bahwa pihak perusahaan sudah melakukan
kewajibannya terhadap lingkungan dan masyarakat, yaitu telah menggelar program
Kemitraan atau yang disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) seperti dalam bidang keagamaan, ekonomi,
social, budaya, pendidikan dan lingkungan serta pengembangan masyarakat (Cummunity
Develoment).
Lebih
lanjut Badrul Ain Sanusi Al Afif menjelaskan bahwa pihak perusahaan itupula
juga dalam pelaksanaan program bidang Kemitraan dengan masyarakat sekitar,
yaitu melakukan beberapa program-program yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat diantaranya pengadaan pupuk, peternakan sapi dan ayam, kemitraan
perkebunan karet, kemitraan jasa angkutan, budidaya tanaman jagung, dan memperhatikan
kelestarian lingkungan.
Selain
itu juga mereka menomor satukan penyerapan tenaga kerja local dalam operasi
aktivitas perusahaan. Intinya pihak perusaan menurut pengetahuan kacamata hukum yang saya ketahui sebagai
seorang aktivis LSM bahwa mereka sudah bekerja dengan benar dan dengan kaidah
peraturan hukum yang ada sesuai dengan izin yang dimilikinya dan keberadaan dua
perusahaan pemegang HPHTI seperti PT. Hutan Rindang Banua “PT. HRB” dan PT.
Kirana Chatulistiwa “PT. KC” ini kami sebagai LSM sangat mendukungnya, karena sifat
kedua perusahaan itu mengelola, memanfaatkan, dan menjaga kelestarian
lingkungan hutan. tegas Badrul.
Anang Tony
Ketua Umum LSM Pemberantas Untuk Korupsi dan Lingkungan “PUKOL” yang juga ikut
dalam investigasi tersebut menegaskan dalam wawancara kebeberapa mas media bahwa dirinya mengaku
sangat prihatin dengan kehancuran alam akibat sebuah aktivitas pertambangan yang
jelas-jelas bisa dikatakan ilegal itu.
Menurutnya
bahwa saat ini pihak penegak hukum dan instansi terkait kurang maksimal menindak
para penambang ilegal ini, padahal perbuatan mereka itu jelas-jelas sudah
melanggar hukum dan wajib diberikan sanksi sesuai dengan per Undang-Undangan
yang berlaku di Indonesia, bukan sampai sebaliknya dan ini perlu dikoreksi
sendiri oleh para oknum-oknum penegak hukum yang ikut dalam sebuah permainan,
ujar Humas Front Pembela Islam Kalimantan Selatan ini.
Ditambahkannya
lagi bahwa kita sebagai seorang aktivis LSM PUKOL dan juga HUMAS FPI Kalsel meminta kepada pihak penegak hukum harus bisa melaksanakan
tugas dengan benar sebagaimana mestinya, jika ternyata para penegak hukum jalan ditempat
berarti hal ini bisa dipastikan ada keterlibatan mereka dalam bersama-sama
melakukan tindak kejahatan yang seharusnya memberikan contoh yang baik, kata
Anang Tony.
Guna
maksimalnya investigasi kita ini dan supaya public secara luas mengetahuinya
maka kami mengajak dan melibatkan beberapa wartawan dari beberapa media, diantaranya adalah wartawan Banjarmasin Pos,
wartawan Harian KOMPAS, wartawan Mata Banua, wartawan Barito Pos, wartawan
Kalimantan Pos, dan wartawan Media Publik. Hal ini kami lakukan supaya kita berbicara disini atas
dasar fakta yang kami dapatkan selama tiga hari dalam sebuah kegiatan investigasi
kelapangan, jika diantara media ini tidak mempublikasikannya patut diduga
merekapun [wartawan] ada apa dan mengapa, serta kami akan mempertanyakan
keredaksinya, karena semua ini kita lakukan demi masyarakat, dan kelestarian
lingkungan alam kita serta demi penegakan hukum yang selama ini terkesan tutup mata, kata Suanang Anton panggilan akrabnya.
Aduh
alam kita hancur seperti itu?, bagaimana kelak anak cucu kita kalau dibiarkan
akan mendapatkan dampak negatifnya dan kita pun hanya bisa mendapatkan warisan
berupa kehancuran alam akibat dari para para penambang ilegal tersebut, suguh
senior aktivis LSM Kalimantan Selatan ini.
Menurut
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan Rahmadi Kurdi menegaskan, bahwa PT. Hutan Rindang Banua “PT. HRB” dan PT.
Kirana Chatulistiwa “PT. KC” yang beroperasi di beberapa daerah di wilayah
Kalimantan Selatan benar memiliki izin dari Pemerintah Pusat dan izin tersebut
masih berlaku sampai sekarang. (Hilmi / TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar