Berita Media Publik – Balangan. Permasalah tanah kerap menjadi polimik di perusahaan-perusahaan pertambangan, seperti yang terjadi di perusahaan yang cukup besar di Kalimantan Selatan yaitu PT Adaro Indonesia (Dahai Office) daerah Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan, membuat LSM LEMPEMA, BLHI Kalimantan dan LEKEM Kalimantan melakukan aksi demo di kantor tersebut Senin 29/10.
Koordinator aksi Badrul Ain Sanusi
Al Afif MS MH dalam orasi pihaknya menyesalkan adanya hak-hak sebagian warga
Kalsel, khususnya warga di Balangan yang belum dipenuhi oleh PT Adaro, hal ini
sama saja Adaro telah merampok tanah warga. paparnya.
Menurutnya selaku pemegang PKP2B, PT
Adaro Indonesia yang memiliki izin konsesi terluas di Kalimantan Selatan telah
mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) warga banua dalam jutaan metric ton dan
menghasilkan keuntungan terliunan rupiah atas batubara yang dikeruknya, namun
sangat ironis hak-hak warga Banua mereka pakai tanpa ganti rugi sama sekali,
tegas Ketua LEMPEMA (Lembaga Pemerhati Masyarakat) dan BLHI Kalimantan (Bina
Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan).
Walaupun aksi tersebut diguyur
hujan, puluhan pendemo sangat bersemangat menyampaikan aspirasinya sampai ada
kesediaan petinggi-petinggi PT Adaro Indonesia (Dahai Office) yang bisa memberikan
keputusan mau berdealog dengan mereka.
Walaupun pihak PT Adaro Indonesia
(Dahai Office) beberapa kali mengajak berdealog selalu ditolak oleh para
pendemo, akhirnya sekitar jam 15:00 Wita negosiasi dealog dapat dilaksanakan
diruang musyawarah perusahaan tersebut yang dihadiri oleh sejumlah petinggi PT
Adaro Indonesia (Dahai Office), Kapolres Balangan, perwakilan ketiga LSM
LEMPEMA, BLHI Kalimantan dan LEKEM Kalimantan serta para masyarakat pemilik
lahan.
Dalam musyawarah tersebut Badrul Ain
menuturkan bahwa data terbaru dari beberapa kasus ternyata tanah yang telah
berdiri bangunan kantor PT Adaro Indonesia (Dahai Office) puluhan tahun silam
(tahun 1987-1988) adalah milik salah seorang warga Desa Dahai RT III Kecamatan
Paringin Kabupaten Balangan Kalsel yang tidak pernah diperjualbelikan,
disewakan ataupun dipinjamkan kepada pihak PT Adaro Indonesia untuk
dibangun sebuah kantor yang saat ini
berdiri dan ditempati oleh ratusan karyawan Adaro, ujarnya.
Lanjut Badrul bahwa pemilik tanah
telah beberapa kali mempertanyakan hal ini kepada pihak Adaro, namun tidak ada
sedikit pun upaya pihak managemen Adaro berkenan menyelesaikan masalah
tersebut. Saat warga melakukan aksi blokade kantor di lahan milik warga
tersebut dan terjadi musyawarah, bukannya kepastian hukum yang didapatkan,
namun upaya “pembodohan” yang selalu terjadi, tegas aktivis dan juga seorang
pengacara muda ini.
Dari beberapa kali aksi yang
dilakukan warga seharusnya musyawarah itu antara manajemen PT Adaro Indonesia
dengan warga pemilik lahan, namun yang terjadi adalah antara warga dengan Wakapolres
Balangan sebagai Jubir PT Adaro dengan kesimpulan akhir masing-masing pihak
sama-sama memiliki lahan tersebut dan dipersilakan warga menempuh jalur hukum
karena tanah yang sekarang dibangun perkantoran Adaro (Dahai Office) itu adalah
tanah Negara, dialog tersebut terjadi pada bulan Agustus 2012 yang lalu dan
hanya dihadiri oleh salah satu staf perusahaan yang tidak bisa memberikan alasan
dam keputusan apapun, termasuk menunjukkan dasar kepemilikan tanah tersebut,
jelas Badrul
Menurut Badrul, beberapa waktu yang
lalu, lima orang saksi yang mengetahui terhadap keadaan tanah tersebut telah
dipanggil oleh pihak Polres Balangan untuk dimintai keterangan terhadap kasus
tersebut, dan kesemua saksi dalam pernyataannya menyampaikan jika memang benar
tanah tersebut milik warga Desa Dahai dan belum pernah diperjualbelikan, disewakan
atau dipinjamkan kepada pihak PT Adaro Indonesia, namun keterangan saksi
hanyalah sekedar diminta keterangan tetapi tidak ada follow up atas kesaksian
mereka atas kepemilikan tanah tersebut, pungkasnya.
Selanjutnya Badrul menjelaskan dalam
musyawarah itu bahwa atas adanya pengambilan lahan masyarakat tersebut yang
dilakukan oleh PT Adaro Indonesia, warga meminta bantuan kami selaku Lembaga
Swadaya Masyarakat dan praktisi hukum agar
dapat menjembatani permasalahan warga dengan perusahaan karena warga sudah
tidak percaya dengan aparat kepolisian karena terindikasi kuat berpihak kepada
pihak perusahaan, bukan sebagai pengayom warga, malahan membela pihak
perusahaan. “Semua data yang disampaikan oleh warga kepada saya cukup kuat
untuk dijadikan alasan kepemilikan, termasuk adanya pernyataan mayoritas warga
desa yang membenarkan hal tersebut, dan didukung pula oleh aparat desa
setempat, baik RT, Kepala Padang Maupun Pembakal Desa Dahai, termasuk para mantan
Pembakal di desa tersebut”, paparnya.
Upaya itikad baik kami lakukan
mendatangi manajemen PT Adaro Indonesia bersama warga dan mantan pembakal untuk
duduk bersama menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, ternyata tidak satupun
pihak manajemen Adaro yang berani meladeni kami, hanya seorang staf Humas
disertai jawaban ketus dan tidak beretika yang menunjukkan bahwa manajemen
Adaro tidak dapat melatih karyawannya dengan baik, lanjut Badrul.
Senada dengan Aspihani Ideris MH (Koordinator
lapangan aksi demo) dalam musyawarah tersebut menuturkan bahwa seyogyanya pihak
perusahaan PT. Adaro Indonesia bisa menyelesaikan permasalahan tanah ini dengan
hati dingin secara kekeluargaan, dan saya yakin pihak managemen bisa memahaminya
dengan bijak permasalah ini, ujarnya.
Saya meyakini pihak perusahaan bisa bersikap
bijak untuk menyelesaikan permasalah polimik yang dihadapi antara masyarakat
pemilik tanah dan pihak PT Adaro itu sendiri, “inikan saya rasa bagi Adaro
hanya permasalahan kecil, tetapi bagi masyarakat ini sangat besar nilainya,
saya rasa janganlah permasalahan ini dibawa kepengadilan, karena saya yakin walaupun
kebenaran dipihak masyarakat tidak bakalan menang melawan si tangan baja”,
papar Aspihani Ideris Direktur Eksekutif LEKEM Kalimantan.
Pihak managent PT Adaro Indonesia (Dahai
Office) melalu juru bicaranya Rizki menuturkan bahwa Adaro "Bukan Tangan Baja" seperti
yang di sampaikan oleh Direktur Eksekutif LEKEM Kalimantan tadi, kami
menyetujui permasalahan ini di bicarakan secara kekeluargaan, namun saya terlebih
dahulu meminta waktu untuk membicarakannya ketingkat lebih tinggi manajemen PT
Adaro di Jakarta, katanya.
Dari hasil musyawarah sekitar 2 jam ini yang dipimpin oleh Bapak Kapolres
Balangan ini disimpulkan dan disepakati akan dibicarakan nanti kelanjutannya
untuk mendapatkan hasil kejelasan dari permasalahan status tanah yang diatasnya
sejak tahun 1992 telah didirikan bangunan perkantoran PT Adaro Indonesia (Dahai
Office) ini tanggal 21 November 2012 dengan meminjam tempat di Mapolres
Balangan. (TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar