Oleh: Syahminan (ABAU)
Penyelenggaraan
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, setiap
pemilik dan calon atau peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama,
serta bebas dari kecurangan pihak manapun, berdasarkan prinsip ini
dihubungkan degan independensi pegawai negeri sipil dalam pelaksanaan
pemilihan Kepala Daerah, maka jika ada oknum pegawai negeri terlibat
langsung dalam proses pemilihan tersebut dapat dikatakan melanggar asas
ini karena penekanan asas ini adalah perlakuan yang sama terhadap
seluruh peserta atau calon Kepala Daerah yang bersaing dalam pemilihan
Kepala Daerah.
pemikirannya yang
B. Modus – modus kecurangan dalam PILKADA
a. Merekayasa Daftar Pemilih Tetap ( DPT )
1) Pertama ialah mengacak dan memecah pemilih sehingga seseorang justru terdaftar di TPS yang jauh dari rumahnya.
Harapannya,
banyak orang yang malas mencoblos. Ini berarti ada banyak sisa surat
suara yang tak terpakai dan bisa dicoblos sendiri sesuai dengan
keinginan pemesan.
2) Kedua, menambahkan ghost voters (pemilih siluman).
Ada
bermacam cara yang sering dipakai. Misalnya tidak menghapus daftar
orang yang sudah meninggal, pindah, atau yang masih di bawah umur dalam
DPT. Ada juga cara yang paling vulgar, yakni menambahkan nama yang
benar-benar fiktif. Jumlahnya bisa dibuat sesuka hati, tapi biasanya
disesuaikan dulu dengan densitas (kepadatan) dan demografi penduduk.
“Kasarannya, bila ada daerah yang betul-betul sepi, tentu saja tidak
akan ditambahkan ghost voters yang banyak. Pasti kentara,” paparnya.
3) Ketiga ialah menghilangkan nama dari DPT dengan memanfaatkan kacau-balaunya sistem administrasi kependudukan.
Tujuan
penghilangan nama tentu saja merusak dan menggembosi basis lawan.
Misalnya, yang berbuat curang adalah partai X dan ingin mencurangi
partai Y. Maka, DPT di basis daerah Y bakal dikepras dan menimbulkan
efek frustrasi yang dampaknya cukup kuat.
Selain mempermainkan DPT, modus kecurangan lainnya ialah merekayasa undangan coblosan. Banyak
undangan coblosan yang tidak disampaikan kepada warga, tapi per TPS.
Jumlahnya tidak besar. Antara lima sampai sepuluh undangan. Ini yang
akan dicoblos sendiri. Jumlahnya memang terkesan kecil. Tapi, dari modus
undangan saja, bisa terkumpul sekitar 50 ribu tambahan suara, dengan
asumsi jumlah TPS mencapai 5 ribu titik.
b. Tindak kecurangan saat di TPS
Titik
penting dalam pemilu adalah momen saat di TPS. Di sana paling rentan
terjadi main-main. Namun, bila permasalahan di TPS sudah beres, akan
lebih mudah melakukan perbaikan data jika ditemukan kecurangan.
1) Modus pertama kecurangan di TPS adalah pencoblosan sendiri yang dilakukan oknum KPPS.
Kecurangan
di TPS selalu melibatkan KPPS dan tak mungkin dilakukan satu oknum
saja. Minimal tiga petugas TPS yang terlibat. Tak mungkin main sendirian
karena terlalu berisiko. Bila ada indikasi satu anggota KPPS curang,
pasti temannya sesama KPPS di sana juga terlibat. Dengan memanfaatkan
undangan yang tak disebar atau sudah mengincar sejumlah surat suara yang
telah “dipesan”, KPPS pun akan mencoblosnya sendiri, pencoblosan itu
dilakukan sendiri oleh KPPS saat jeda istirahat antara selesainya proses
coblosan dan akan masuknya penghitungan suara. Jadi, saksi harus
mengawasi semua anggota KPPS saat jeda atau makan. Karena itu sangat
penting.
2) Modus
kedua biasanya terjadi saat masa penghitungan suara atau ketika anggota
KPPS menuliskan perolehan suara di kertas plano besar (formulir/form
C2).
Juru
tulis biasanya memanfaatkan kelengahan saksi saat pembacaan hasil.
Sebab, biasanya saksi terpaku pada calon yang dia bela saja. Jadinya,
mudah saja menambahkan suara ke lawan.
3) Yang ketiga adalah penyusunan berkas acara (mengisi form C1).
Form
C1 inilah yang memegang peran krusial. Sebab, kelak dalam rekapitulasi
di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK) hingga KPU, berkas form C1
itulah yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung, bukan surat suara.
Di form tersebut terdapat data mengenai jumlah surat suara, surat suara
sah, surat suara tidak sah, hingga sisa surat suara. Sering kali sisa
surat suara bisa dikurangi sehingga ada tambahan puluhan atau ratusan
surat suara yang bisa di-entry untuk memenangkan salah satu calon.
c. Rekapitulasi Suara dari TPS hingga KPU
Setelah
“bermain-main” di DPT dan TPS, inilah saatnya “mendulang suara” pada
saat rekapitulasi. Caranya ialah menyiasati habis-habisan mekanisme
rekapitulasi yang ada.
Begini
prosedurnya. Dari TPS, rekap suara langsung dilakukan di PPK (tingkat
kecamatan). Namun, entry data dilakukan PPS (petugas setingkat
kelurahan). Entry data itu dilakukan dengan melihat C1 dan membuka
kertas plano penghitungan. Dalam pelaksanaannya, entry data tersebut
dilakukan secara manual di komputer, sebelum hasil rekapitulasi per PPS
dipaparkan untuk penyusunan C1 di tingkat kecamatan. Dengan mekanisme
seperti itu, banyak penyiasatan yang bisa terjadi.
1) Modus pertama, KPPS bekerja sama dengan PPS.
Setelah
penghitungan suara di tingkat TPS kelar, anggota KPPS langsung
menghubungi anggota PPS dan menyebutkan telah melakukan penambahan sisa
surat suara misalnya. Maka, anggota PPS yang sudah ikut bermain langsung
menyiapkan plano pengganti yang sesuai dengan form C1 akal-akalan dari
TPS tersebut. Jadi, plano asli dari TPS dibuang dan sudah disiapkan
kertas plano baru untuk rekap di tingkat PPK.
2) Kedua adalah saat entry data.
Petugas
entry data kadang asal memasukkan angka. Pernah terjadi, beralasan
mengantuk, seorang petugas entry data memasukkan angka yang seharusnya
475, jadi 4747. Ketika dipergoki, alasan ngantuk dan angka 47-nya
kepencet dua kali.
3) Ketiga ialah langsung memasukkan data ngawur.
Misalnya,
di tingkat PPK tiba-tiba jumlah surat suara yang tidak sah menurun.
Misalnya 5 ribu jadi 4 ribu. Tim sukses pun pasti kelabakan mengeceknya
karena harus membuka satu-satu lagi data per TPS. Belum kelar mengecek,
tiba-tiba proses sudah selesai dengan alasan waktu. Pihak KPU atau PPK
tinggal mempersilakan tim pemenangan yang tak puas untuk melapor ke
panwas.
C. Penyelewengan- penyelewengan dalam Pilkada
Dalam
pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
a. Money Politik
Sepertinya
money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan
pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung
masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah.
Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa
Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut.
Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada
masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat
pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan
diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi
sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus
mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
b. Intimidasi
Intimidasi
ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis
oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar
mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari
aturan pelaksanaan pemilu.
c. Pendahuluan Start Kampanye
Tindakan
ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan
aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan
seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal
calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika
mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin
dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye.
Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
d. Kampanye Negatif
Kampanye
negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon
kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih
sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut”
dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak
integritas daerah tersebut.
D. Mencegah terjadinya Kecurangan dalam Pilkada
Beberapa
hal perlu diperhatikan oleh penyelenggara, peserta dan masyarakat dalam
upaya meminimalisir kecurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan
Pemilu.
1) Daftar Pemilih Tetap (DPT);
Potensi kecurangan dapat diminimalisir dengan ikut berperan aktif dalam
memeriksa dan melaporkan bila terdapat pemilih yang belum terdaftar,
pemilih ganda atau terdaftar lebih dari satu kali, pemilih dari unsur
TNI/Polri, pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Untuk dapat melakukan hal tersebut, harus
pula dipahami tata cara pemutakhiran data pemilih pemilu sebagaimana
yang telah diatur dalam Keputusan KPU Nomor 12 Tahun 2010.
2) Money Politik; Meskipun
relatif sulit ditemukan bukti-bukti kecurangan model ini, kesaksian
penerima uang sangat berarti dalam mengungkapkan praktek money politik
atau jual-beli suara ini. Perlu dilakukan upaya serius dan upaya
membangun kesadaran politik masyarakat untuk bersedia mengungkap praktek
yang menjadi cikal-bakal perbuatan korup para pejabat negara ini.
3) Penggunaan surat suara Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu; Kecurangan
model ini mudah untuk diantisipasi manakala pada saat rapat pleno
rekapitulasi penghitungan suara dilangsungkan di TPS, para saksi,
pemantau dan juga masyarakat bisa langsung meminta kepada petugas
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberi tanda silang atau
men-centang surat suara yang tidak terpakai dan yang rusak dengan
spidol atau pena dan memasukkannya di Berita Acara Rekapitulasi
Penghitungan Suara seperti yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2010.
4) Terlibatnya
secara masif aparat pemerintahan dalam pemenangan calon tertentu,
menggiring suara pemilih dan terkadang juga mendikte pemilih untuk
memilih calon tertentu.
Kecurangan model ini bisa diantisipasi dengan memberi teguran langsung
kepada pejabat, PNS, aparat negara lainnya atau melaporkannya kepada
Pengawas Pemilu (Panwaslu). Rekam aksi para aparat pemerintah yang
disinyalir melakukan kampanye bagi pemenangan calon tertentu, kumpulkan
bukti-bukti dan kesaksian yang relevan untuk itu dan melaporkanya kepada
Panwas Pemilu untuk diambil tindakan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan
kampanye Pemilu diatur dalam Keputusan KPU Nomor 69 tahun 2009.
5) Berubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan. Potensi
kecurangan Pemilu dengan merubah perolehan suara ini sesungguhnya tidak
mungkin dilakukan apabila para saksi, pemantau dan pengawas pemilu
bekerja sesuai SOP-nya. Bila pun masih terjadi, berarti telah terdapat
kesepakatan dari unsur-unsur yang terlibat untuk melakukan pelanggaran
dimaksud. Untuk mengantisipasi kecurangan model ini, menurut hemat
penulis cuma ada satu cara, amati dengan seksama perolehan suara yang
terdapat dalam surat suara dan cocokkan dengan hasil rekapitulasinya
sebelum Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suara di TPS
ditandatangani. Untuk para saksi dan pengawas Pemilu, minta salinan
Berita Acara berikut lampiranya untuk kemudian dibawa dan dicocokkan
pada saat rekapitulasi dilakukan di jajaran penyelenggara selanjutnya.
Kecurangan
Pemilu terjadi bukan saja karena terbukanya peluang untuk itu, tetapi
juga karena kurangnya kesadaran serta pemahaman akan peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilihan
umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut
pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh
penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
2. Modus – modus kecurangan dalam Pilkada: Merekayasa Daftar Pemilih Tetap ( DPT ), Tindak kecurangan saat di TPS, dan Rekapitulasi Suara dari TPS hingga KPU.
3. Penyelewengan- penyelewengan dalam Pilkada: Money Politik, Intimidasi, Pendahuluan start kampanye, dan Kampanye negatif.
4. Mencegah terjadinya Kecurangan dalam Pilkada: Daftar Pemilih Tetap (DPT); Money Politik; Penggunaan surat suara Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu; yang
Terlibatnya
secara masif aparat pemerintahan dalam pemenangan calon tertentu,
menggiring suara pemilih dan terkadang juga mendikte pemilih untuk
memilih calon tertentu. Berubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan.
B. Solusi
Dalam
melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi
bagaimana kita dapat meminimalkan kendala- kendala itu. Untuk itu
diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab
pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pilkada
antara lain :
Seluruh
pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga
ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh
masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi
masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
Semua
warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul
perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan
kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada
dapat berjalan dengan lancar.
Sosialisasi
kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan
masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari
kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain. Memilih dengan hati nurani.
C. Saran
Dalam
memilih calon Kepala Daerah kita harus memilih dengan hati nurani
sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari
pilkada dapat terlaksana dengan baik dan tidak terjadi lagi kecurangan-
kecurangan dalam Pilkada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar