Oleh: KASTALANI IDERIS
Di Jakarta Pusat, Yogyakarta, Samarinda, atau mungkin di kota lainnya,
terdapat nama Jalan A.M. Sangaji. Penamaan jalan untuk mengenang A.M.
Sangaji selaku pejuang perintis kemerdekaan Indonesia kelahiran Maluku.
Ia seangkatan dengan pejuang perintis kemerdekaan lainnya seperti
H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Oleh para pejuang kemerdekaan
sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M. Sangaji disebut
sebagai pemimpin tua. “Jago Tua”, kata beberapa surat kabar di ibukota
Republik. “Hindeburg Kalimantan”, kata s.k. Merdeka Solo.
Belanda dan
Jepang pun tahu tentang kedudukan beliau sebagai pemimpin tua itu. A.M.
Sangaji memiliki mobilitas. Ia tidak hanya di Maluku, tapi juga pernah
berkiprah di Borneo, terlebih lagi di Jawa. Di tahun 1920-an, saat
berada di Surabaya, ia melakukan korespondensi dengan Mohamad Horman,
seorang tokoh pergerakan Sarekat Islam cabang Banjarmasin. Tidak hanya itu, ia juga pernah lama tinggal di Borneo untuk
menggelorakan semangat kebangsaan di Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan
Di Samarinda Kalimantan Timur, A.M. Sangaji melalui Balai Pengadjaran
dan Pendidikan Rakjat (BPPR) yang didirikannya ia mengelola Neutrale
School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan bumiputera.Setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M.
Sangaji mengkoordinir suatu perjalanan panjang yang dilakukan oleh 3
grup/gelombang dari Samarinda ke Banjarmasin untuk bertemu dengan
pimpinan BPRI sekaligus memberitahukan proklamasi kemerdekaan,
mengibarkan bendera, dan memberikan kesadaran kepada rakyat di
daerah-daerah yang dilalui.
Rombongan A.M. Sangaji tiba di Marabahan Kalimantan Selatan, akan tetapi beberapa saat kemudian yakni pada bulan April 1946 polisi Belanda berhasil menangkap A.M. Sangaji dan memenjarakannya di penjara Banjarmasin, yakni bangunan penjara yang lokasinya sekarang ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin. Penjara Banjarmasin saat itu penuh sesak dengan tawanan. Sebagian besar adalah hasil penangkapan besar-besaran yang dilakukan Belanda pasca meletusnya pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.
Rombongan A.M. Sangaji tiba di Marabahan Kalimantan Selatan, akan tetapi beberapa saat kemudian yakni pada bulan April 1946 polisi Belanda berhasil menangkap A.M. Sangaji dan memenjarakannya di penjara Banjarmasin, yakni bangunan penjara yang lokasinya sekarang ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin. Penjara Banjarmasin saat itu penuh sesak dengan tawanan. Sebagian besar adalah hasil penangkapan besar-besaran yang dilakukan Belanda pasca meletusnya pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.
Banyaknya pejuang yang ditangkap Belanda, mengakibatkan penjara Banjarmasin penuh sesak dengan para tawanan. Mereka yang mengalami mengatakan hanya berdiri, dan sukar bebas bernapas dan bahkan kelaparan karena makanan seringkali diberikan satu kali sehari dengan porsi sepiring dibagi empat, sehingga kulit pisang yang dilempar penjaga pun menjadi santapan dan rebutan. Akan tetapi, banyaknya pejuang dan saat dijebloskannya A.M. Sangaji ke dalam penjara Banjarmasin, telah menjadikan penjara itu seolah-olah daerah kekuasaan Republik.
Pak Sangaji masuk dengan lenggang yang gagah, ayun tangan sebagai
seorang prajurit yang menang perang. Seruan merdeka bergemuruh sebagai
sambutan dari segenap bilik penjara. Dan dari bangsal D (bangsal yang
besar) bergema lagu Indonesia Raya. Polisi tak bisa bertindak apa-apa.
Di dalam Majalah Mandau yang diterbitkan oleh Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) di Yogyakarta (1948) Pak Sangaji menceritakan, “Keadaan kami ketika itu dalam penjara adalah sebagai dalam daerah merdeka, daerah Republik, di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada dokternya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit yang menjadi isi tempat tahanan itu”, kata Pak Sangaji.
Selepas keluar penjara Banjarmasin, A.M. Sangaji menyeberang ke pulau Jawa. Ia kemudian memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat di Yogyakarta dan pernah menugaskan R. Soedirman untuk membentuk Laskar untuk daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo sebagai penghubung Markas Besar Hisbullah Yogya untuk Kalimantan. Akan tetapi, ia kemudian tewas ditembak militer ketika Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta tahun 1947. Sumber: Buku “Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 (2007)”, Buku “Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik (2007)”, Buku “Sejarah Banjar (2003)”, Buku “Provinsi Kalimantan” (1950), buku “Republik Indonesia: Kalimantan” (1953), dan Majalah “Mandau” (1948).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar