Indonesia lebih dulu
harus menegakkan hukum di negeri sendiri sebelum meminta Singapura menjadi
penegak hukum bagi Indonesia. Demikian komentar Menlu Singapura George Yeo
(Tempo, 27/2/2005).
Pernyatan ini merupakan
sindiran kepada sistem hukum kita yang mereka nilai cenderung korup. Misalnya, antara pejabat dan
pengusaha yang kemudian berdampak pada kerugian Negara.
Sindiran George Yeo itu
bukannya tidak beralasan. Sebab, kita beberapa kali mendesak Pemerintah Singapura supaya
menandatangani perjanjian ekstradisi dengan
harapan koruptor yang bersembunyi di sana dapat ditangkap berikut dana yang mereka bawa lari.
Terlepas dari benar atau
salah pernyataan tersebut, sebagai sebuah negara hokum tentu Indonesia perlu
melakukan instropeksi diri untuk memperbaiki citra hukum beserta aparat hukum
di negeri ini. Untuk itu, dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat
diatur oleh UU (hukum/peraturan) sebagai konsekuensinya.
Kini yang jadi masalah
adalah bagaimana upaya penegakan hukum (law enforcement) itu sebagai jaminan
adanya kepastian hukum. Sebagaimana kita ketahui, banyak sekali
permasalahan/pelanggaran hukum yang terjadi di negari ini tidak terselesaikan.
Seperti kasus pelanggaran HAM, korupsi, illegal logging dll.
Misalnya kasus
pelanggaran HAM Semanggi I dan II, Tanjung Priok, pembunuhan aktivis HAM Munir,
dll. Pada kasus korupsi, banyak pelaku yang lolos dari jerat atau sanksi hukum.
Bagi mereka yang terjerat hanya mendapatkan hukuman sangat minim atau ringan,
bahkan kesan tebang pilih begitu kuat aromanya.
Krisis kepercayaan telah
jauh memasuki kita semua hingga sampai pada sektor hukum. Hal ini terlihat
jelas melalui berbagai permasalahan yang ada di masyarakat diselesaikan tidak
melalui jalur hukum tapi unjuk kekuatan, main hakim sendiri yang menimbulkan
pelanggaran hukum baru.
Tidak salah Tajuk BPost
edisi 10 dan 14 Mei berjudul Era Hukum yang Konyol dan Susahnya Menegakkan Hukum
di Indonesia, sebagai ungkapan keprihatinan atas berbagai kasus pelanggaran
hukum dan penegakannya.
Misalnya pada kasus
perebutan/sengketa tanah di Meruya. Keputusan MA yang memenangkan PT Portanigra
dan memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk melakukan eksekusi,
tapi mendapat perlawanan warga. Uniknya, anggota DPR dan pejabat juga terkesan
ikut menghalangi proses hukum sebab mereka meminta eksekusi ditunda. Kita
sesalkan, ranah hukum terkesan mendapat tekanan dan intervensi dalam membuat
suatu putusan. Semestinya proses hukum berikut keputusannya harus lepas dari
segala tekanan, termasuk oleh kekuasaan/pemerintah. Hebatnya lagi, permintaan penundaan
eksekusi itu akhirnya terwujud sesuai janji mereka pada warga Meruya Selatan.
Sudah semestinya, di
negara yang mengaku sebagai negara hukum menaati dan menghormati segala
keputusan yang dikeluarkan lembaga hukum seperti pengadilan. Kalaupun tidak
terima atas putusan hukum, sebaiknya lakukanlah perlawanan melalui aturan hukum
juga. Bukan melalui jalur politik atau pameran kekuatan massa sebagai alat
penekan atas putusan hukum. Kalau ini yang terjadi, maka Hukum Rimbalah yang
berlaku.
Jika Proses hukum di
negara yang katanya negara hukum tidak bisa ditegakkan, bukannya kepastian
hukum yang diperoleh tapi kepastian menjadi bangsa dan negara yang dihukum.
Banyak sudah contoh negara/bangsa yang dihukum, karena mereka tidak patuh pada
norma hukum yang berlaku. Misalnya, kaum Nabi Nuh dan Luth, Mereka ditimpakan
bencana oleh Allah karena tidak taat pada ajaran Nya(hukum) yang disampaikan.
Negeri kita sendiri akan
cenderung tidak dihormati dan berwibawa di mata bangsa lain. Hal itu dapat
mereka lakukan melalui berbagai tindakan. Di antaranya dengan membatalkan atau
menghentikan berbagai investasi mereka yang ada. Bagi investor yang nakal,
dapat melakukan kolusi/suap dengan pejabat yang berakibat merugikan negara.
Misalnya, mereka tidak peduli pada kerusakan lingkungan
karena putusan hukum
dapat mereka beli.
Kejahatan akan terus
beraksi di negeri ini sebagai hukuman atas ketidakberdayaan kita dalam
menegakkan hukum itu sendiri. Kita semua jauh dari rasa aman dan nyaman hidup
di negeri sendiri.
Pilihan ada pada bangsa
kita sendiri, mau jadi negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum
lewat penegakkannya atau justru menjadi negara yang dihukum. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar