MEDIA PUBLIK-JAKARTA. Rencana AAI untuk
membatasi pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentang oleh
sejumlah kalangan termasuk advokat. Monopoli advokat terhadap Mahkamah
Konstitusi dianggap mempersempit kesempatan masyarakat untuk memperoleh
keadilan.
Boediman Moenadjad, salah seorang pemohon judicial review,
menyatakan keberatan jika pihak yang beracara di Mahkamah Konstitusi dibatasi
hanya untuk para advokat berlisensi. Menurutnya, beracara di Mahkamah
Konstitusi adalah hak semua masyarakat dan tidak boleh dimonopoli
advokat.
Sebab itu, Moenadjad tidak setuju dengan ide Ketua Asosiasi
Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang yang hendak membuat nota kesepahaman
dengan Mahkamah Konstitusi soal perlunya izin praktek di lembaga yang diketuai
Prof. Jimly Asshiddiqie tersebut.
"Itu sama saja dengan mencari lahan pekerjaan buat
mereka (advokat, red) juga," ucap Moenadjad. Saat ini, Moenadjad telah
melayangkan dua permohonan hak uji undang-undang dan telah masuk pada
pemeriksaan persidangan di Mahkamah Konstitusi akhir Maret lalu.
Dua undang-undang yang diajukan judical review
oleh Moenadjad adalah Undang-undang No.6/1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-undang No.15/2002 tentang Pencucian
Uang. Moenadjad yang pegawai pensiunan Departemen Sosial menyusun permohonan judicial review
terhadap kedua undang-undang tersebut tanpa bantuan kuasa hukum atau pengacara.
Dengan dua permohonan judicial review
tersebut, Moenadjad memang berhasil membuktikan bahwa ia yang bukan advokat
berlisensi juga mampu beracara di Mahkamah Konstitusi. Meski, kemampuannya
menyusun judicial
review itu sedikit banyak karena pendidikan terakhir Moenadjad di Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1966.
Sebenarnya, Moenadjad bukanlah satu-satunya pihak yang non
advokat berlisensi yang sudah merasakan beracara di Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, anggota DPR dr Sukowaluyo Mintohardjo yang mewakili DPR dan Ir.
Soedjarwo Soeromihardjo, kuasa dari Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah
(ASPPAT) adalah beberapa diantaranya.
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing
juga menyatakan tidak setuju jika pihak yang beracara di Mahkamah Konstitusi
menjadi monopoli advokat. Menurutnya, tidak sedikit pemohon judicial review
yang lebih menguasai materi hukum yang dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi
daripada advokat.
Sekalipun Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat
menggariskan bahwa advokat merupakan profesi pemberi jasa hukum di dalam maupun
luar pengadilan, namun di mata Uli Mahkamah Konstitusi terbuka untuk siapapun
yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena terbitnya sebuah
undang-undang.
"Itu bukan argumen yang tepat dengan memakai UU Advokat.
Pemohon lebih pintar dari advokat untuk hal-hal tertentu misalkan teknis
perundang-undangan, materi perundang-undangannya. Kalaupun dimonopoli advokat
itu justru akan mempersempit masyarakat untuk memperoleh akses keadilan,"
tegas Uli.
Apalagi, tambah Uli, teknik beracara di Mahkamah Konstitusi
tidak sesulit beracara di pengadilan pada umumnya atau pengadilan khusus
seperti Pengadilan Niaga atau Pengadilan Pajak. "Nggak perlu
keahlian khusus, karena itukan sebenarnya bisa dipahami sendiri asal baca
undang-undangnya. Jadi mudah dipahami," jelasnya.
Uli yang belum lama ini memenangkan permohonan judicial review
terhadap UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum dan sukses mengembalikan hak
pilih para eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), mengatakan bahwa hukum
acara Mahkamah Konstitusi mirip sistem juri. Sehingga, kemungkinan untuk
terjadi kolusi sangatlah kecil.
Belum lagi dengan tidak adanya ongkos perkara sepeserpun yang
dipungut oleh Mahkamah Konstitusi, menurut Uli, membuat sulit sekali bagi
pengacara "komersil" untuk menarik profit yang banyak dari klien
mereka. "Saya curiga justru rencana itu (membuka) peluang buat pengacara
untuk menarik klien. Profit jadinya," tutur Uli.
Dihubungi terpisah, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
(KRHN) Firmansyah Arifin berpendapat bahwa masalah ijin praktek di Mahkamah
Konstitusi lebih tepat jika diselesaikan di lingkungan organisasi advokat tanpa
melibatkan Mahkamah Konstitusi. (TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar