Jumat, 09 Februari 2007

GURU SEKUMPUL ISLAMKAN PASTUR

Di tengah berkecamuknya pikiran apakah akan pindah agama atau tetap dalam kepercayaan lama, bahkan sempat terlibat perang Sampit, saya (Hendra) kebetulan punya kenalan yang masih keluarga dari Guru Rosyad. Dari sini saya punya keinginan untuk mempelajari Islam sedikit demi sedikit. Namun, oleh karena Guru Rosyad sakit-sakitan, beliau menyarankan agar saya masuk Islam dengan bimbingan Abah Guru Sekumpul. Diantar Guru Rosyad dan menantunya, saya menghadap Abah Guru Sekumpul, di rumah beliau di Sekumpul, sekitar tahun 2001. 
Begitu melihat saya, Abah Guru Sekumpul berkata, "Masih saja kah mencium secara tajam?" Saya kaget karena beliau langsung tahu kalau saya bisa mencium bau suku tertentu. "Inggih," kata saya. "Ibarat kebun binatang, perut kamu berkumpul banyak binatang," lanjut Abah Guru Sekumpul. Dan memang, karena saya bersuku Dayak, dan masih bercampur dengan kepercayaan Kaharingan, ajian atau untalan apa saja sudah pernah masuk ke dalam perut saya.

"Kalau ingin berislam, kamu mesti dibersihkan dahulu," kata Abah Guru Sekumpul. Saya manut saja, ketika beliau menyuruh saya mengambil air minum di dapur. Beliau menyuruh saya meminum air tersebut dan beliau lalu menepuk pundak saya. Seketika saya merasa mulas dan muntah-muntah. Ada banyak kotoran hitam yang keluar dari mulut saya, sekira-kira satu mangkok ukuran sedang.

Setelah beliau merasa sudah habis semua yang jelek-jelek dalam perut saya, kemudian beliau menyuruh saya berwudhu dan kemudian diislamkan dengan cara dituntun oleh beliau dua kalimat syahadat yang saya ikuti dengan pelan. "Asyhaduan laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan rasulullaah," ucap saya mengikuti. Begitu selesai pengucapan dan disahkan oleh hadirin, plong lah sudah rasa di hati.

Selesai acara pengislaman saya, saya kembali bercengkrama dengan Abah Guru Sekumpul. Kemudian saya memaparkan kisah lama saya di Pantai Takisung. Beliau sepertinya sudah mafhum. "Tahu kah kamu Nak, yang menemui kamu di Pantai Takisung itu ialah Nabi Khidr AS. Beliau itulah yang menguasai lautan maupun perairan. Apakah kamu ingin berjumpa kembali dengan beliau?" terang sekaligus tawar Abah Guru Sekumpul. "Inggih," jawab saya singkat.

Beliau lalu menyuruh saya mengambil air dalam baskom dari dapur. Beliau kemudian menyuruh saya bertawasul ke Nabi Khidr AS , bershalawat serta menepuk air di baskom itu tiga kali. Ajaib, sekonyong-konyong keluarlah kakek seperti yang pernah saya lihat di Pantai Takisung. Kakek yang adalah Nabi Khidr itu muncul sepinggang dari permukaan air baskom. Saya cuma kagum tak bisa bicara. Abah Guru Sekumpul saya lihat menunduk dan mengangguk tiga kali. Sekejap kemudian, Nabi Khidr sudah menghilang. "Nak, tadi beliau berpesan agar kamu benar-benar dalam beragama (Islam). Ibarat sekarang sudah diberi lembaran kertas putih, jangan sampai dibikin kotor lagi," kata Abah Guru Sekumpul.


Saya (Hendra) mengingat betul pesan Nabi Khidr AS yang disampaikan melalui Abah Guru Sekumpul. Abah juga menyampaikan nasihat tambahan. "Nak, bila kamu sudah Islam kemudian menjadi kaya raya, berarti Islam kamu tidak lah benar-benar. Namun, jika nanti kehidupanmu sulit dan susah, maka berarti kamu sudah beragama dengan benar. Sebab Allah berkehendak menguji keikhlasan kamu mengikut agama yang hak ini," papar Abah Guru Sekumpul.

Saya hanya bisa menganggukkan kepala seraya berkata, "Inggih Abah." Beliau kemudian berdoa memohon kepada Allah semoga saya ditetapkan iman dan selamat dunia wal akhirat untuk bisa berkumpul dengan beliau kembali di akhirat. Saya merinding jika mengingat peristiwa itu.

Perlu diketahui bahwa selama saya menjadi pastur di gereja di Banjarbaru itu, kehidupan saya begitu menyenangkan, tak ada kesusahan. Tiap kali mau belanja atau apa saja, tinggal ambil duit di kas gereja. Pokoknya, sumbangan dari gereja yang lebih tinggi, dari Vatikan dan sumbangan jemaat begitu banyak, saya tak pernah kekurangan uang, bahkan berlebih.

Setelah saya masuk Islam, kehidupan yang susah pun langsung saya temui. Namun, untunglah, keluarga Guru Rosyad terkadang memanfaatkan jasa saya menyetirkan mobil keluarga mereka, misal pergi ke undangan acara maulidan dan pengajian.

Pernah ada pengalaman aneh atau yang bisa disebut karamah Abah Guru Sekumpul. Kami rombongan malam-malam baru saja pulang dari Madurejo di salah satu kecamatan di Kabupaten Banjar. Pada tengah malam saya menyetir mobil membawa rombongan keluarga Guru Rosyad, sementara Abah Guru dan rombongan lainnya di mobil lain di belakang kami.

Begitu tiba di kawasan Astambul, mobil yang saya setir tiba-tiba mogok. Sadarlah saya kalau mobil sudah kehabisan bensin. Tengah malam itu sudah tidak ada lagi kios bensin yang buka. tak berapa lama, tiba lah mobil di belakang yang membawa Abah Guru Sekumpul. Beliau keluar mobil, "Ada apa Nak," tanya beliau. "Kehabisan bensin Abah," ujar saya.

"Coba cari ember," perintah beliau. Saya pun mencoba mencari ember. Kebetulan di sisi jalan lain ada truk terparkir dan ada sopirnya. Saya tanya apakah punya ember dan syukurlah si sopir truk punya ember. Saya pinjam dan saya bawa ke hadapan Abah Guru Sekumpul. "Ambil air ke sungai," saran beliau. Saya pun turun ke sungai di bawah jembatan Astambul mengambil air. "Masukkan air itu ke tangki bensin," perintah beliau lagi. Meski agak bingung saya turuti saja perintah beliau. "Masih kurang." tanya beliau. Saya cuma mengangguk. "Tambahi lagi dua ember," tendas beliau. Setelah semua air dimasukkan, saya diperintah menstarter mobil dan ajaib, mesin mobil hidup, dan penunjuk (indikator) bensin menunjukkan tanda full.

Rombongan pun melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, Abah Guru Sekumpul berpesan, jika sudah sampai ke rumah, buang kembali air dari tangki.

Kelebihan Abah Guru Sekumpul lainnya yang saya temui langsung, pernah saya lagi sakit dan mesti berobat ke dokter, namun tak punya duit. Saya lantas melapor ke kediaman Abah Guru Sekumpul. Saya ditemani seorang teman. Setelah dipersilakan penjaga regol saya masuk. Abah Guru Sekumpul dari dalam rumah terlihat tergesa sambil memakai sarung. "Kenapa Nak, ada masalah apa," tanya beliau penuh kasih sayang. Saya pun mengisahkan kesulitan akibat sakit namun tak punya duit.

Beliau dengan sigap merogoh buntalan sarung dan mengambil sesuatu. "Nah ini Nak, untuk berobat," ucap beliau. Saya mengucap terima kasih, mengecup tangan beliau dan permisi. Namun, berjalan keluar rumah beliau itu dengan hati bertanya-tanya. Teman saya bilang ada yang aneh, karena waktu masuk rumah, tampak sekali Abah Guru Sekumpul memakai sarung dan mustahil sempat memasukkan uang ke buntalan sarung.

Ketika sampai ke dokter saya berobat, periksa dan menebus obat. Sekali lagi ajaib. uang yang diminta dokter maupun apoteker, totalnya pas Rp250 ribu, sejumlah uang yang dikasih Abah Guru Sekumpul.

Pernah saya meminta uang ke paman saya yang adalah pendeta terhormat di gereja Banjarmasin, namun karena dia tahu kalau saya sudah Muslim, saya malah dihardik. Bahkan bukan uang yang saya terima, melainkan hantaman gelas ke pelipis kanan, hingga sobek dan mengucurkan darah.

Saya pulang dan mengadu ke Abah Guru Sekumpul. Beliau mengingatkan agar saya tak usah dendam. "Rasulullah sering dianiaya, dihina dan dicaci oleh umatnya yang belum beriman, namun Rasulullah tetap sabar, tak dendam bahkan beliau mendoakan agar orang tadi mendapat hidayah dari Allah," nasihat beliau.

Itulah kenangan saya (Hendra si mantan pastur) bersama Abah Guru Sekumpul. *** Adi Permana