Rabu, 01 November 2006

Antara Wakil Rakyat, Pemilih, dan Partai Politik

BERITA MEDIA PUBLIK. MAHKAMAH AGUNG. Recalling selalu menjadi isu hangat dalam pentas politik nasional. Recalling adalah tindakan partai politik menarik atau mengganti seorang anggota parlemen yang berasal dari partai tersebut. Recalling pernah menjadi instrumen menjaga kekuasaan pada masa orde baru sehingga ditiadakan pada awal reformasi. Namun mekanisme recalling kembali dianut dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Ketentuan inilah yang menjadi dasa recalling terhadap Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman dari keanggotaannya sebagai wakil rakyat di DPR RI.

Menganggap ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf C UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol sebagai dasar recalling terhadap dirinya bertentangan dengan UUD 1945, Djoko Edhi Soetjipto, Abdurahman pun mengajukan permohon pengujian ketentuan tersebut kepada MK. Permohonan tersebut diputus pada siding pleno terbuka tanggal 28 September 2006 yang menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya. Dalam putusan ini terdapat empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda.

Masalah mendasar dalam perkara ini adalah hubungan hukum antara wakil rakyat, pemilih, dan partai politik serta DPR dalam negara demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut UUD. Salah satu pelaksana kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945 adalah DPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 22E UUD 1945 menentukan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR adalah partai politik. Dengan demikian seorang anggota DPR memiliki hubungan hokum dengan partai politiknya, dengan pemilih, dan dengan institusi DPR itu sendiri. Untuk menentukan apakah anggota DPR dapat di-recall dan siapa yang melakukannya, yang harus dilihat adalah konstruksi hubungan hukum antara wakil rakyat, pemilih, partai politik, dan DPR. Manakah hubungan hukum yang paling mencerminkan demokrasi sehingga harus dijaga?

Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 008/PUU-IV/2006 dinyatakan bahwa karena anggota parlemen dikonstruksikan sebagai wakil rakyat, maka demi akuntabilitas terhadap yang diwakili, mekanisme recall sangatlah relevan.

Dengan adanya mekanisme tersebut, rakyat dipandang tetap masih dapat mengontrol wakilnya. Sedangkan masalah siapa yang melaksanakan recall dinilai sebagai persoalan teknis yang berkaitan dengan sistem pemilihan umum. Dalam system pemilihan di mana pemilih langsung memilih nama seseorang sebagai wakil, maka adalah logis jika recall dilakukan oleh pemilih, misalnya melalui mekanisme petisi. Sedangkan dalam system pemilihan dengan memilih partai politik sebagaimana diatur dalam UUD 1945, dalam hal pemilihan anggota DPR danDPRD, maka logis pula apabila recall dilakukan oleh partai yang mencalonkan.

Berhentinya Pemohon dari keanggotaan DPR yang diusulkan oleh partai politik yang diwakilinya karena diberhentikannya Pemohon dari partai politik tersebut, dinilai bukan berarti hak konstitusional Pemohon dilanggar. Pemohon sebagai anggota partai politik telah setuju dengan AD/ART partai politik tersebut. Lahirnya hak partai politik untuk melakukan hal tersebut adalah konsekuensi dari adanya persyaratan “menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai” bagi setiap orang yang hendak menjadi anggotanya.

Oleh karena itu, dalam pertimbangan hukum putusan ini dinyatakan bahwa yang sesungguhnya menjadi persoalan dalamkasus recalling Pemohon adalah apakah proses pengusulan berhenti antarwaktu atas diri Pemohon tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud Pasal 8 huruf f atau Pasal 8 huruf g UU Parpol, sehingga merupakan masalah pelaksanaan undang-undang, bukan konstitusionalitas undang-undang.

Sementara itu, empat hakim konstitusi memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Terdapat beberapa Hakim Prof. Muktie Fadjar, SH. MS. menyatakan bahwa hak recall lazimnya dianut dalam sistem parlementer. Sedangkan dalam system presidensiil, hak recall tidaklah lazim. Pemberhentian anggota DPR seharusnya semata-mata karena anggota tersebut melakukan pelanggaran hukum atau kode etik. Recalling oleh partai politik tidak menjamin berjalannya prinsip due process of law karena bersifat subyektif dan sulit dikontrol oleh publik.

Hakim Prof. Dr. Laica Marzuki, SH. dalam dissenting opinion-nya juga menyatakan bahwa dalam system presidensiil tidak dikenal hak recall. Selain itu, juga dinyatakan banyak para anggota DPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004, seyogianya tidak dapat di-recall oleh partai politik yang mencalonkannya, mengingat para anggota dewan dipilih berdasarkan system proporsional dengan daftar calon terbuka. Anggota partai politik yang dipilih berdasarkan sistem itu secara konstitusional tidak dapat di-recall oleh partainya karena akan mengingkari hasil pemilihan rakyat selaku pemegang kedaulatan.

Sedangkan dissenting opinion yang dikemukakan oleh hakim Maruarar Siahaan, SH. dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie pada prinsipnya menyatakan bahwa pengaturan pemilu dan partai politik terkait dengan anggotanya yang menjabat sebagai anggota DPR tidak dapat mengesampingkan hubungan hukum antaraanggota DPR dengan rakyat pemilih dan negara yang tunduk pada hukum publik (konstitusi). Hubungan hukum calon anggota DPR dengan partai politik yang bersifat privat (privaatrechtelijk), telah bergeser titik beratnya menjadi hubungan hukum yang bersifat hukum publik. 

Pemberhentian anggota DPR sematamata karena pemberhentian sebagai anggota partai politik tidakdapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui satu due process of law karena hal tersebut merupakan pengingkaran atas hubungan hukum anggota DPR dengan konstituen dan (lembaga) Negara yang tunduk pada hukum publik (konstitusi) sebagaimana juga disinggung oleh hakim Prof. Laica Marzuki.

Walaupun telah ada putusan ini yang berarti partai politik memiliki hak untuk me-recall anggotanya yang duduk sebagai anggota DPR, perdebatan tentang hubungan antara wakil rakyat, rakyat, dan partai politik masih tetap diperlukan. Selain pertimbangan-pertimbangan yuridis dan teoritis, masalah tersebut juga ditentukan oleh system kepartaian dan system pemilu yang diterapkan. Dengan demikian, akan selalu terjadi pergeseran-pergeseran yang harus senantiasa dikawal demi terlaksananya demokrasi yang lebih berkualitas.*** Aspihani Ideris