Rabu, 23 Maret 2005

IPKMA UNGKAP ALIRAN DANA RP.75 MILIAR DI REKENING MENHUT

MEDIA PUBLIK – JAYAPURA. Terungkapnya dana setoran Rp. 57 Miliar hasil IPKMA
selama dua tahun terakhir ini ke rekening Menteri Kehutanan (Menhut), sebagaimana 
yang dilaporkan Kedishut Provinsi Papua Ir Mathen Kayoi, siap ditindaklanjuti Pansus 
DPDP Papua. Terkait dengan itu, Tim Pansus Illegal Loging DPRP Papua segera meminta 
penjelasan Menteri Kehutanan di Jakarta yang menurut rencana akhir bulan ini mereka
segera bertolak ke Jakarta untuk mengadakan pertemuan khusus dengan Menteri Kehutanan
untuk menayakan setoran hasil IPKMA sebesar Rp 57 Miliar itu. 
 
Wakil Ketua Tim Pansus DPRP Papua Ir. Weynand B Watori yang ditemui wartawan Media Publik tadi 
pagi, Kamis (23/3) mengatakan, berdasarkan keterangan Kepala Dinas Kehutanan Ir Marthen Kayoi 
pada pertemuan terakhir dengan pihaknya menunjukkan terdapat abivalensi. Artinya, menurut Watori 
di satu sisi dengan kasus illegal logging yang dipersalahkan adalah IPKMA, tetapi dana kewajiban yang 
di terima negera itu berupa dana PSDH dan Dana Reboisasi disetor ke rekening Menhut. "Ini menjadi hal 
yang patut di pertanyakan kepada pejabat-pejabat itu bahwa pemerintah menerima dana yang tidak sedikit 
selama dua tahun, belum lagi sebelumnya namun disatu sisi IPKMA dianggap illegal," ujarnya. 
 
Dikatakan, jika Menhut bersikeras itu melanggar aturan berarti penerimaan anggaran tersebut juga 
melanggar aturan. Pihak-pihak yang terkait dengan dana tersebut dikatakannya harus juga dipersoalkan.
"Kalau itu illegal ya dana tersebut dikembalikan saja mengapa mau diterima. Jangan ijinnya saja yang 
dipermasalahkan, tetapi uangnya digunakan negara untuk kepentingan semua daerah di Indonesia," katanya. 
 
Sekedar diketahui kedatangan Menhut MS Ka'ban ke Papua hari ini akhirnya dibatalkan. Informasi yang 
di peroleh Cenderawasih Pos, tim Pansus Illegal logging langsung akan mengadakan pertemuan di Jakarta 
bersama Menhut. " Percuma kalau Menhut datang untuk berdiskusi, lebih baik kami ke sana sehingga bisa 
di terbitkan kebijakan di Papua agar stock opname kayu bisa dihentikan untuk memenuhi kebutuhan 
pengusaha lokal," jelas Watori kepada wartawan Media Publik.
 
Saat disinggung soal inti pertemuan dengan Presiden dan Kapolri, Watori mengaku sejumlah agenda akan 
mereka bawakan. Selain hasil pertemuan dengan instansi terkait, LSM dan pengusaha lokal, mereka juga 
akan menanyakan hasil dan penjelasan operasi illegal logging sebelumnya. "Sebelumnya sudah ada operasi 
Wana Laga, Wana Bahari yang katanya untuk mencegah illegal logging tetapi sekarang malah illegal logging 
itu begitu hebat," ungkapnya.
 
Soal pemanggilan Gubernur , Watori mengaku rencana tersebut tetap ada, namun pihaknya hingga kini merasa 
belum perlu karena telah mendapat input dari bawahannya Kepala Dinas Kehutanan yang juga telah mengaku 
ada surat edaran Gubernur. " Kami akan lakukan diskusi dahulu, jika perlu akan kami panggil," katanya. 
 
Sementara itu, jika Gubernur Papua Drs. JP Solossa, M.Si memilih bungkam saat ditanya tentang kewengan 
Pemprov Papua dalam mengeluarkan Izin Pemunggutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA) yang memicu 
terjadinya illegal logging, maka berbeda dengan Wakil Gubernur Papua Drh. Constan Karma.
 
Saat ditemui beberapa wartawan di ruang kerja kemarin, dengan gamblang wagub mengatakan bahwa soal 
IPK-MA itu adalah menjadi bagian kewenangan pemerintah daerah seiring adanya kebijakan otonomi yang 
diberikan kepada daerah-daerah. “ Jadi kalau pemerintah pusat dalam hal ini departemen kehutanan 
mengatakan dengan tegas bahwa IPK-MA yang diterbitkan dinas kehutanan provinsi itu illegal atau tidak sah,
bagi kami itu tidak benar. Sebab di era pemerintahan otonomi daerah (Otda), pemerintah daerah diberikan 
hak dan kewenangan untuk mengurus rumah tangga sendiri, kecuali lima hal," tandasnya.
 
Lima hal itu menurut Wagub Karma adalah, kekuasaan pemerintahan dibidang Hankam, Finansial, Luar 
Negeri, Agama dan Kehakiman. Sedangkan di luar kekuasaan atau kewenangan lima bidang itu, maka 
Pemda mempunyai kewenangan membuat kebijakan termasuk masalah urusan kehutanan.
 
"Kewenangan yang dimiliki Pemda itu adalah konsekwensi dari sistem pemerintahan desentralisasi yang 
artinya pelimpahan sebagian kewenangan pusat yang diberikan kepada daerah-daerah. Karena itu 
seharusnya pemerintah pusat itu harus mendukung kebijakan Pemda diera otonomi itu," jelasnya.
 
Bagi mantan Kepala Dinas Peternakan Provinsi itu, makna otonomi itu ada dua kata penting yakni otonomi 
itu sendiri dan desentralisasi ibarat dua mata uang yang tidak muangkin bisa dipisahkan. Dan otonomi itu 
sendiri adalah political will pemerintah pusat termasuk Departemen Kehutanan yang merupakan pergeseran 
kekuasaan atau kewenangan yang sentralistik (terpusat) kepada pemerintah daerah.
 
Lebih lanjut Wagub Papua ini menututurkan, "Bagi saya desentralisasi itu titik beratnya adalah administrasi 
negara. Artinya bahwa dari sudut ketatanegaraan, pemerintah pusat harus mendukung adanya pergeseran 
kekuasaan yang awalnya sentralistik menjadi desentralisasi seperti yang terjadi di era otonomi sekarang ini. 
Karena itu legal tidaknya IPK-MA itu sangat tergantung pandangan Menteri Kehutanan dalam melihat 
makna otonomi," jelasnya.
 
Di dalam pemerintah daerah lanjut Wagub Karma, Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut adalah sebagai 
penyelenggara pemerintah daerah, terlebih lagi di era otonomi ini memiliki kewenangan untuk mengurus 
rumah tangga sendiri terlebih lagi diperkuat dengan UU 32 Tahun 1999 maupun Undang-undang lainnya, 
tegas Karma. (TIM)


IPKMA UNGKAP ALIRAN DANA RP.75 MILIAR DI REKENING MENHUT

IPKMA UNGKAP ALIRAN DANA RP.75 MILIAR DI REKENING MENHUT

Selasa, 22 Maret 2005

Negara Hukum atau yang Dihukum

Indonesia lebih dulu harus menegakkan hukum di negeri sendiri sebelum meminta Singapura menjadi penegak hukum bagi Indonesia. Demikian komentar Menlu Singapura George Yeo (Tempo, 27/2/2005).

Pernyatan ini merupakan sindiran kepada sistem hukum kita yang mereka nilai  cenderung korup. Misalnya, antara pejabat dan pengusaha yang kemudian berdampak pada kerugian Negara.

Sindiran George Yeo itu bukannya tidak beralasan. Sebab, kita beberapa kali  mendesak Pemerintah Singapura supaya menandatangani perjanjian ekstradisi  dengan harapan koruptor yang bersembunyi di sana dapat ditangkap berikut dana  yang mereka bawa lari.

Terlepas dari benar atau salah pernyataan tersebut, sebagai sebuah negara hokum tentu Indonesia perlu melakukan instropeksi diri untuk memperbaiki citra hukum beserta aparat hukum di negeri ini. Untuk itu, dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat diatur oleh UU (hukum/peraturan) sebagai konsekuensinya.

Kini yang jadi masalah adalah bagaimana upaya penegakan hukum (law enforcement) itu sebagai jaminan adanya kepastian hukum. Sebagaimana kita ketahui, banyak sekali permasalahan/pelanggaran hukum yang terjadi di negari ini tidak terselesaikan. Seperti kasus pelanggaran HAM, korupsi, illegal logging dll.

Misalnya kasus pelanggaran HAM Semanggi I dan II, Tanjung Priok, pembunuhan aktivis HAM Munir, dll. Pada kasus korupsi, banyak pelaku yang lolos dari jerat atau sanksi hukum. Bagi mereka yang terjerat hanya mendapatkan hukuman sangat minim atau ringan, bahkan kesan tebang pilih begitu kuat aromanya.

Krisis kepercayaan telah jauh memasuki kita semua hingga sampai pada sektor hukum. Hal ini terlihat jelas melalui berbagai permasalahan yang ada di masyarakat diselesaikan tidak melalui jalur hukum tapi unjuk kekuatan, main hakim sendiri yang menimbulkan pelanggaran hukum baru.

Tidak salah Tajuk BPost edisi 10 dan 14 Mei berjudul Era Hukum yang Konyol dan Susahnya Menegakkan Hukum di Indonesia, sebagai ungkapan keprihatinan atas berbagai kasus pelanggaran hukum dan penegakannya.

Misalnya pada kasus perebutan/sengketa tanah di Meruya. Keputusan MA yang memenangkan PT Portanigra dan memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk melakukan eksekusi, tapi mendapat perlawanan warga. Uniknya, anggota DPR dan pejabat juga terkesan ikut menghalangi proses hukum sebab mereka meminta eksekusi ditunda. Kita sesalkan, ranah hukum terkesan mendapat tekanan dan intervensi dalam membuat suatu putusan. Semestinya proses hukum berikut keputusannya harus lepas dari segala tekanan, termasuk oleh kekuasaan/pemerintah. Hebatnya lagi, permintaan penundaan eksekusi itu akhirnya terwujud sesuai janji mereka pada warga Meruya Selatan.

Sudah semestinya, di negara yang mengaku sebagai negara hukum menaati dan menghormati segala keputusan yang dikeluarkan lembaga hukum seperti pengadilan. Kalaupun tidak terima atas putusan hukum, sebaiknya lakukanlah perlawanan melalui aturan hukum juga. Bukan melalui jalur politik atau pameran kekuatan massa sebagai alat penekan atas putusan hukum. Kalau ini yang terjadi, maka Hukum Rimbalah yang berlaku.

Jika Proses hukum di negara yang katanya negara hukum tidak bisa ditegakkan, bukannya kepastian hukum yang diperoleh tapi kepastian menjadi bangsa dan negara yang dihukum. Banyak sudah contoh negara/bangsa yang dihukum, karena mereka tidak patuh pada norma hukum yang berlaku. Misalnya, kaum Nabi Nuh dan Luth, Mereka ditimpakan bencana oleh Allah karena tidak taat pada ajaran Nya(hukum) yang disampaikan.

Negeri kita sendiri akan cenderung tidak dihormati dan berwibawa di mata bangsa lain. Hal itu dapat mereka lakukan melalui berbagai tindakan. Di antaranya dengan membatalkan atau menghentikan berbagai investasi mereka yang ada. Bagi investor yang nakal, dapat melakukan kolusi/suap dengan pejabat yang berakibat merugikan negara. Misalnya, mereka tidak peduli pada kerusakan lingkungan
karena putusan hukum dapat mereka beli.

Kejahatan akan terus beraksi di negeri ini sebagai hukuman atas ketidakberdayaan kita dalam menegakkan hukum itu sendiri. Kita semua jauh dari rasa aman dan nyaman hidup di negeri sendiri.

Pilihan ada pada bangsa kita sendiri, mau jadi negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum lewat penegakkannya atau justru menjadi negara yang dihukum. ***